Perjalanan Perahu Borobudur

Pelayaran Kapal Borobudur

Kisah Perjalanan Awak Perahu Borobudur Perahu Zig-zag Melawan Angin

·sekitar 9 menit baca

Kisah Perjalanan Awak Perahu Borobudur

PERAHU ZIG-ZAG MELAWAN ANGIN

UPACARA pelepasan itu hampir menjadi pangkal musibah. Seusai Presiden Megawati meninjau perahu, lalu melepasnya ke laut lepas, perahu yang semula diikat tali di kiri dan kanan harus dilepas. Begitu bersemangatnya penarikan tali itu, Nick Burningham tak sempat mengelak saat tali menjerat kakinya dan ia pun terseret hampir jatuh ke laut. Hari itu, Jumat 15 Agustus 2003 pukul 16.10, masih di Marina Ancol, Jakarta Utara.

EKSPEDISI Samudraraksa Borobudur hari itu dimulai, namun sebenarnya belum siap berlayar. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak dan antena. Mujoko, anak lulusan IPB jurusan ilmu kelautan, selama dua hari berkeliling Kota Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator perahu bisa “hilang” sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

Pukul 06.00 tanggal 17 Agustus, perahu itu akhirnya angkat jangkar. Baru beberapa meter menjelang keluar Pondok Duyung, sebuah kapal besar masuk, awak perahu panik dan segera memutar arah. Pemutaran arah bagi perahu layar bukanlah masalah sederhana karena harus tahu dari mana arah datangnya angin. Ketika cobaan itu lepas, perahu pun melenggang menuju Selat Sunda. Pantai masih jelas walau makin lama makin tersamar.

Panjang perahu itu 18,29 meter, lebar 4,25 meter, terbuat dari tujuh jenis kayu dengan tiang layar dari bambu, layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex, serta bercadik bambu di kiri dan kanannya. Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK menempel di kiri dan kanan perahu, fungsinya untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat “kamar mandi”, beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan. Di setiap pemberhentian akan dilakukan penggantian awak perahu, terkecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles-Madagaskar relatif dekat. Apakah benar-benar bisa ditempuh dalam empat bulan, semua tergantung kecepatan dan arah angin.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia yang mengikuti pelayaran Jakarta-Madagaskar, tiga di antaranya berasal dari Pulau Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (IPB), dan IG Putu Ngurah Sedana kapten TNI-AL yang bertindak sebagai nakhodanya.

***

PUKUL 23.15 hujan deras mengguyur perahu, para awak perahu segera berhambur keluar untuk berhujan-hujan. Maklum sudah beberapa hari mereka tidak sempat mandi segar. Mereka bagai anak kecil berjingkrak- jingkrak sambil berteriak-teriak, begitu tulis Niken dalam catatannya. Pontus Krook dan Paul Bayly yang terlambat bergabung kebingungan ketika sedang bersabun ternyata hujan berhenti.

Keesokan harinya, 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Namun, angin tiba-tiba mati. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan, mereka mendayung di kiri-kanan perahu. Sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak. Dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.

Dalam perjalanan menuju Seychelles ini awak perahu dibagi dalam dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan, dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak. Awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut.

Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah. Maklum komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan, Bajo, Sulawesi Selatan, yang tidak tahu bahasa Inggris. Kedua gadis ini ketika tugas jaga harus berlari ke depan dan belakang serta berteriak-teriak menerjemahkan perintah komandannya.

***

TANGGAL 21 Agustus angin Samudra Hindia begitu kencang, perahu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 knot per jam. Rasanya, enggak ada kerjaan membuat “Qta” (maksudnya: kita-Red) boring. Nick minta saya belajar mengemudi dan panjat tiang layar. Gila! Begitu tulis Niken di buku catatannya.

Menurut Niken ia memang lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat, namun setelah itu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.

Begitu jenuhnya, akhirnya Nick mengadakan sayembara: siapa yang pancingnya dapat ikan duluan akan diberi 25 dolar AS. Semua mencoba dan baru tanggal 27 Agustus Kapten Putu memenangkan pertandingan. Namun, itu pun setelah perahu diombang-ambingkan ombak setinggi sekitar 9 meter. Ombak besar itu datang tanggal 24 Agustus, terus- menerus membuat awak perahu kelelahan. Di sini kelihaian pemegang kemudi diuji. Ia harus bisa membuat perahu berada di atas ombak, jangan sampai menerjangnya. “Pada saat itu kami hanya bisa berdoa, bayangkan ombak setinggi perahu di depan kita,” kenang Niken.

Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya. “Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya,” begitu aku Mujoko ketika ditanya. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi.

Buleleng, begitu istilah Niken untuk awak non-Indonesia, berpesta memeriahkan perjalanan itu. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa walau tinggal separuh, namun semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Blowing in the Wind yang dipelesetkan: à the answer my friend is depend on the wind, the answer is depend on the wind. Lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, di samping lagu Krisdayanti, Menghitung Hari.

Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus. Tali itu menjorok di luar perahu sehingga sangat sukar memperbaikinya. Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.

Hujan tiada henti turun, padahal tak seorang pun yang membawa jas hujan. Menurut Niken, pada saat hujan begitu, air menembus pakaian dalam sehingga membuat orang masuk angin.

***

PADA tanggal 8 September Putu ulang tahun. Awak perahu sibuk menyiapkan pesta walau seadanya, namun tetap mengharukan. Apalagi Allan Cambell, shipÆs master, menyatakan bahwa pelabuhan tujuan tinggal 735 mil atau sekitar tiga hari lagi. Semua bergembira. Dan, benar, pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.

Niken menggambarkan pelabuhan tersebut sebagai berikut: “Qta” lego jangkar di depan gunung, cahaya Port Victoria tampak jelas dan indah. Semakin terang kota itu semakin cantik karena terletak di atas bukit, sementara air laut hijau jernih mengundang “Qta” untuk berenang.

Tujuh belas hari mereka berada di Seychelles. Selain untuk mengisi perbekalan, mereka menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.

***

PELAYARAN dari Seychelles menuju Madagaskar sangat berat. Angin sering mati. Kalaupun ada, angin pun bertiup dari arah depan, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Selama dua hari angin mati, artinya tidak ada tiupan angin yang bisa menggerakkan perahu tersebut. Motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera “berbicara” dengan angin.

Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu Muhammad memberitahukan sikapnya di atas geladak perahu ketika berlabuh di Mahajanga, Madagaskar. Ditegaskan sebagai manusia harus bersikap wajar, “Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah,” katanya menambahkan. Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan. Doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.

Jika ia “berbicara” kepada angin, sebenarnya ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia berbicara dalam bahasa Bajo, intinya minta agar angin datang dan menolongnya. Awak yang lain selalu tersenyum kecut mendengar ia “berbicara” kepada angin. Apalagi bagi buleleng yang tentunya tak masuk di akal mereka walau akhirnya angin pun datang.

Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi buleleng, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut ini berpegang pada letak bintang-bintang di langit.

Pelayaran Seychelles-Madagaskar merupakan ujian untuk membuktikan mana yang benar. Angin yang datang dari depan tak bisa ditahan dengan layar perahu walau menggunakan motor tempel. Akhirnya awak perahu asing menyerah dan Muhammad beserta rekan-rekannya berhasil melakukan perjalanan zig-zag dengan memindah-mindahkan arah layarnya. Layar dipasang dalam sudut tertentu agar angin “menyenggol” dan membawa perahu ke kiri atau ke kanan.

Pekerjaan ini melelahkan karena memindahkan layar untuk mendapatkan embusan angin dengan arah yang kita inginkan bukanlah sederhana. Pertama, layar diturunkan kemudian digeser, baru dinaikkan lagi dan dicari sudut yang pas. Itu dilakukan berulang-ulang sehingga salah satu layar robek dan tali pengikat layar putus.

Semua pekerjaan itu menjadi tanggung jawab awak Pagerungan karena hanya merekalah yang mampu dan mengerti. Awak yang lain hanya membantu sebagaimana diminta oleh pelaut asli tersebut melalui penerjemah.

Semua ini membuat perjalanan menjadi lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Jarak yang hanya sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta- Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.

***

WALI Kota Mahajanga, PageÆs, hari Selasa 14 Oktober 2003 naik perahu bersama para petugas imigrasi. Perahu sehari sebelumnya memang sudah masuk pelabuhan, namun karena sudah sore mereka lego jangkar sekitar 300 meter dari dermaga. Di mana pun mereka berlabuh (kecuali di Marina Ancol) tidak akan merapat ke dermaga untuk menjaga agar cadik di kiri-kanan perahu tidak rusak terbentur dermaga. Maklum terbuat dari bambu.

Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia- Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudra Hindia dengan Samudra Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini mereka tinggal bertiga belas.

“Niken insya Allah akan ikut sampai pelabuhan terakhir,” kata gadis berjilbab itu mantap. (Mamak Sutamat)

Artikel Lainnya