KOMPAS/MAMAK SUTAMAK

pacara penyambutan awak perahu Borobudur dilakukan di pinggir pantai tanpa tenda, Rabu (15/10). Bahkan, upacara kenegaraan di Madagaskar umumnya juga dilakukan di tanah lapang tanpa tenda. Padahal, panas pada bulan Oktober mencapai 36 derajat.

Pelayaran Kapal Borobudur

Kapal Kayu Borobudur Capai Madagaskar

·sekitar 2 menit baca

KAPAL KAYU BOROBUDUR CAPAI MADAGASKAR

Mahajanga, Kompas

Kapal kayu Borobudur, yang bertolak dari Jakarta 15 Agustus lalu, hari Selasa (14/10) sore waktu Madagaskar atau Selasa malam WIB tiba di Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer dari ibu kota Madagaskar, Tananarivo. Rabu pagi Wali Kota Mahajanga Pages bersama para petugas imigrasi naik ke kapal yang berlabuh sekitar 300 meter dari dermaga untuk mengucapkan selamat datang.

Rencananya, Kamis pagi kemarin awak kapal tersebut disambut resmi oleh Menteri Kebudayaan Madagaskar Ny Rahaingosoa Louise Odette yang didampingi Sekretaris Menteri Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar serta Kepala Perwakilan/Kuasa Usaha Tetap RI di Madagaskar Richard Simbolon di dermaga Pelabuhan Mahajanga. Demikian laporan wartawan Kompas Mamak Sutamat dari Madagaskar, semalam

Kapal berawak 15 orang itu, delapan orang di antaranya adalah warga Indonesia (dua wanita), telah mengarungi Samudera India sejauh 4.300 mil (sekitar 6.918,7 kilometer). Semua awak tampak sehat dan mereka siap melanjutkan perjalanan ke Cape Town, Afrika Selatan, tanggal 24 Oktober mendatang. Menurut nakhoda kapal tersebut, I G Putu Nengah Sedana, selama perjalanan tidak ada masalah.

Perjalanan dari Seychelles ke Mahajanga lebih berat dibandingkan dengan perjalanan dari Jakarta ke Seychelles. Sebab, angin datang lurus dari depan sehingga mereka harus berlayar zig-zag. Sebuah bambu penggiling (penggulung layar) patah dan salah satu motor cadangan rusak. Kedua perangkat itu akan diperbaiki selama berada di Mahajanga.

Kedatangan kapal Borobudur di Madagaskar sekaligus akan dijadikan ajang promosi pengenalan tentang Indonesia. Upacara penyambutan kapal ini akan dilanjutkan dengan seminar tentang hubungan kebudayaan bangsa Indonesia dengan Madagaskar. Untuk itu, panitia menghadirkan Prof Dr Timbul Haryono MSc, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menurut rencana, seminar yang diadakan tanggal 21 Oktober itu akan diikuti kalangan akademisi. Para ilmuwan dan masyarakat Madagaskar selama ini memang berusaha mencari akar nenek moyangnya, salah satu di antaranya adalah Indonesia.

Kapal yang bergerak berdasarkan laju angin tersebut sebelum mencapai Mahajanga singgah di Seychelles dan mengganti dua awaknya. Walaupun jarak Mahajanga dengan Seychelles hanya sekitar 1.000 mil (sekitar 1.600 kilometer), arah angin yang berlawanan arah membuat jadwal kedatangan kapal tersebut tidak jelas. Jika angin bertiup keras dari depan, maka kapal pun berputar dan melakukan zig zag sehingga jarak kapal dengan Mahajanga kadang dekat terkadang menjauh. Dalam keadaan seperti itu kecepatan kapal hanya 2-3 knot, padahal sebelumnya kecepatan bisa sampai 13 knot.

Hal semacam ini bisa terjadi karena kecepatan kapal sangat bergantung pada kecepatan angin. Dalam perjalanan dari Seychelles, kapal sempat mati angin selama dua hari sehingga mereka menggunakan motor tempel. Selama perjalanan, untuk menjaga kemungkinan angin mati atau kepentingan bermanuver, kapal dilengkapi dua motor tempel, masing-masing berkekuatan 22 PK.

Artikel Lainnya