KOMPAS/MAMAK SUTAMAT

Niken Maharani, peserta Ekspedisi Samuderaraksa Borobudur.

·sekitar 3 menit baca

NIKEN MAHARANI

GADIS itu mengaku baru pada hari terakhir mendaftarkan diri ikut Ekspedisi Samuderaraksa Borobudur. Itu pun karena sehari sebelumnya sang ibu menyodorkan Kompas yang memuat iklan pendaftaran tersebut. “Ini barangkali cocok buat kamu,” kata maminya yang prihatin melihat anak ketiganya selalu murung. Maklum, Niken sebelumnya termasuk gadis yang tak bisa diam. Walaupun tidak mengikuti perkumpulan resmi, namun selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) ia selalu mengikuti kegiatan pencinta alam.

Lulus pada tahun 2002, Niken yang mengambil jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan belum tergerak mencari pekerjaan. Satu musibah membuatnya merana, kakek yang juga berfungsi ayah baginya, meninggal hampir setahun lalu. Ini yang membuatnya murung hingga akhirnya ia mendaftarkan diri ikut pelayaran menuju Afrika, dan kini dalam perjalanan menuju Cape Town, Afrika Selatan.

Niken yang kelahiran Bandung itu tidak menyangka bahwa “kapal” yang hendak diikutinya itu hanya sebuah perahu kayu kecil dan digerakkan layar, sebab iklan tersebut tidak menyebutkan bagaimana bentuk perahunya. Ia mengetahui bentuk perahu tersebut justru dari ibunya yang kemudian memperlihatkan gambar perahu tersebut yang dimuat di koran. Ia terkejut, semua anggota keluarga terkejut sehingga dilakukanlah sidang mendadak.

“Tapi semua menyerahkan kepada saya dan saya tetap berangkat karena takdir itu kan di tangan Yang Kuasa,” kata Niken dalam pembicaraan di KBRI Madagaskar minggu lalu. Akhirnya ia benar-benar berangkat pada tanggal 15 Agustus diantar kedua orangtuanya hingga Pantai Marina, Ancol. Ia kini merupakan satu-satunya wanita Indonesia yang ikut berlayar dengan perahu kayu mengikuti rute perdagangan kayu manis, Jakarta-Seychelles -Madagaskar-Cape Town, dan akan berakhir di Ghana pada akhir tahun 2003 ini.

Gadis yang tak pernah melepaskan jilbabnya walau sedang berkutat di atas perahu yang berlayar di Samudera Hindia ini, punya fungsi inti. Ia memang tidak harus memanjat layar, tetapi tugas pokoknya menjadi penerjemah yang dilakukan dalam hempasan gelombang setinggi delapan meter. Ini bukanlah tugas yang ringan, Niken harus pontang- panting menyampaikan perintah Nick Burningham, pimpinan operasi kepada para pelaut asal Bajo atau sebaliknya. Perintah harus segera disampaikan karena keterlambatan bisa berakibat fatal. Sesekali jika sedang bertugas, ia juga mengemudikan perahu.

Niken merasa, persiapan pelayaran ekspedisi tersebut sangat singkat. Setelah beberapa tahapan tes, dari 700 pelamar terpilih sepuluh orang, termasuk Niken. Mereka diajak ke Bali untuk melihat dan meresmikan perahunya. Saat itu perahu belum sempurna. Kesepuluh calon tersebut diperingkat dan diputuskan untuk peringkat 1-5 dites pelayaran dari Bali ke Surabaya, 6-10 diikutkan trayek Surabaya- Semarang, dan mereka yang terpilih langsung ikut dari Semarang ke Jakarta. Dalam perjalanan mereka dilatih bagaimana mengendalikan perahu tersebut.

Niken masuk kelompok yang berangkat dari Surabaya dan begitu sampai di Jakarta, ia diminta ikut pelatihan dasar keselamatan selama tiga hari. Itu saja bekal yang diberikan. Dan pada tanggal 14 Agustus, Niken ke Bandung untuk berpamitan dengan kedua orangtuanya. Esok harinya Presiden Megawati melepaskan perahu tersebut di Pantai Marina.

“Setiap orang toh akan mati, jadi bagaimana kita mempersiapkan diri aja!”, kata Niken ringan. Dan saat ini Niken berjuang dalam pelayaran paling berat menempuh Tanjung Harapan yang ombaknya terkenal ganas. (ms)

Artikel Lainnya