KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

LATIHAN DARURAT - Para awak Kapal Borobudur sedang berlatih mengenakan jaket pelampung penyelamat dalam sebuah latihan bahaya darurat.

Persiapan Peluncuran Ekspedisi Kapal Borobudur

Mencoba Merasakan Jadi “Nenek Moyang”

·sekitar 5 menit baca

MENCOBA MERASAKAN JADI “NENEK MOYANG”

AKHIR Juli lalu, Kompas mendapatkan kesempatan ikut menaiki Kapal Borobudur, replika kapal tradisional asli Indonesia yang diduga kuat digunakan nenek moyang kita dulu untuk menyeberangi Samudera Hindia hingga ke pesisir barat Afrika pada abad ke-9. Rute yang diikuti adalah mengarungi Laut Jawa dari Surabaya menuju Semarang yang berjarak 175 mil laut (sekitar 315 kilometer).

Kapal Borobudur berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, tanggal 28 Juli 2003 pukul 07.25 untuk memulai perjalanan yang dijadwalkan akan memakan waktu dua hari dua malam. Kapal yang dipimpin kapten kapal Kapten (L) I Gusti Putu Ngurah Sedana itu membawa 18 awak dan penumpang, yang terdiri atas 13 warga negara Indonesia, tiga warga negara Inggris, dan dua warga negara Australia.

Di antara awak orang Indonesia, lima di antaranya adalah para pembuat kapal tradisional yang berasal dari Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Sementara, lima orang lagi adalah para peserta seleksi awak kapal yang akan menjadi duta budaya bangsa dan mengikuti perjalanan ekspedisi Kapal Borobudur melintasi Samudera Hindia menuju Ghana di Afrika.

KAPAL seharusnya menggunakan layar sebagai satu-satunya penggerak selama perjalanan, tetapi karena Senin pagi itu angin di Selat Madura sangat kecil dan arus laut justru mengalir ke arah timur (berlawanan dengan arah perjalanan kapal), maka diputuskan menyalakan dua mesin motor tempel berkekuatan 22 PK untuk membawa kami keluar dari kawasan Pelabuhan Tanjung Perak yang sangat sibuk dan padat dengan kapal- kapal besar.

Perjalanan di hari pertama ini terasa sangat mudah dan menyenangkan. Empat jam pertama perjalanan, langit sangat cerah, laut juga sangat tenang karena belum memasuki kawasan laut lepas. Kapal berjalan dengan mulus.

Layar baru dipasang setelah kapal berada di lintasan pelayaran Laut Jawa selama hampir dua jam, karena meskipun sudah di laut lepas angin masih belum begitu besar. Begitu layar terkembang dan mesin motor tempel yang berisik dimatikan, seketika itu juga hanya terdengar suara embusan angin dan percikan ombak yang menghantam dinding kapal.

Kapal justru melaju lebih cepat dengan menggunakan layar, yaitu mencapai empat-lima knot dibanding saat masih menggunakan mesin yang hanya sekitar tiga knot. Sampai di sini, perjalanan masih dapat dinikmati.

Sempat muncul rasa heran karena sudah berlayar hampir tujuh jam, siaran radio dari Surabaya masih terdengar jelas. Itu berarti, kami belum beranjak terlalu jauh dari titik keberangkatan dan baru sadar bahwa perjalanan menggunakan kapal layar ternyata sangatlah lamban.

BERSAMAAN dengan datangnya gelap, angin mulai terasa bertiup lebih kencang. Laju kapal juga semakin bertambah hingga mencapai enam- tujuh knot. Konsekuensinya, gelombang laut juga bertambah besar dan tinggi. Jika pada siang hari alunan ombak laut hanya setinggi 0,5-1 meter, menjelang malam ombak sudah mencapai 1,5-2 meter. Semakin malam, angin dan ombak semakin bertambah besar dan udara bertambah dingin.

Berada di tengah laut pada malam hari ternyata sangat gelap gulita dan kita nyaris tidak bisa melihat apa pun yang berada di depan. Benda-benda yang dapat membahayakan bagi kapal, seperti perahu lain, jaring nelayan, atau sampah yang hanyut di laut, sama sekali tidak terlihat.

Konsentrasi mengawasi laut di depan kapal harus diimbangi dengan konsentrasi menahan mabuk laut yang mulai datang karena ombak makin mengganas. Sekitar pukul 21.00-22.00, ketinggian ombak sudah mencapai dua-tiga meter dan datang dari arah samping kapal (ombak lambung). Dengan ukuran kapal sekecil dan seringan itu (Kapal Borobudur hanya berbobot mati 30 gros ton), ombak seukuran dua meteran sudah membuat kapal terombang-ambing dan terempas-empas.

Namun dalam kondisi laut seperti itu, kapal yang hampir seluruhnya dibuat dengan teknologi tahun 800-an itu justru terbukti ketangguhannya. Kapal tetap melaju tanpa gangguan yang berarti dan tetap stabil meskipun diempas ombak dari arah kanan kapal. Keseluruhan badan kapal juga terasa kokoh, tidak terdengar suara derit sambungan antarbagian struktur kapal pada saat kapal terombang- ambing.

Struktur kapal yang seluruhnya terbuat dari kayu dan digerakkan oleh layar juga menguntungkan untuk mengarungi gelombang laut karena kapal menjadi ringan dan mengikuti alunan ombak laut. Berbeda dengan kapal besi bermesin yang cenderung menerjang dan memecah ombak, yang justru membuat para penumpangnya mudah pusing dan mabuk laut.

DI tengah konsentrasi untuk menahan pusing dan gejolak di dalam perut sambil menguatkan hati melihat pemandangan gelora laut yang mengerikan, tiba-tiba terdengar seorang pelaut dari Kangean berkata, “Untunglah udara cerah dan laut malam ini bagus.” Astaga, kalau laut seperti ini dibilang bagus, seperti apakah kondisinya kalau dibilang buruk? Dan ini baru di Laut Jawa, bagaimana rasanya kalau sudah di tengah Samudera Hindia?

Kondisi di dalam kabin kapal jauh lebih buruk. Selain terguncang- guncang oleh ombak, udara di kabin juga terasa pengap dan kita tidak bisa melihat pemandangan di luar. Kompas akhirnya mengurungkan niat untuk makan malam, karena berada di kabin kurang dari lima menit sudah membuat perut mual tidak karuan, dan akhirnya memilih kembali ke dek atas dan memakan cokelat batangan sekadar cukup untuk mengganjal perut sebagai ganti makan malam.

Hari Selasa, 24 Juli pukul 08.00, kapal sudah sampai di sebelah utara Tanjung Muria, Jawa Tengah. Bayangan Gunung Muria yang tertutup kabut tampak samar-samar di sebelah selatan.

Beranjak siang, laju kapal terasa semakin menurun, padahal ombak masih menggelora keras. Menurut Kapten Putu Sedana, hal itu disebabkan karena ada pertemuan dua angin, yaitu angin dari arah timur laut yang mendorong kapal dengan angin pantulan dari arah daratan yang menahan laju kapal. “Karena ada gunung, angin kemudian terpantul dan berbelok kembali ke laut sehingga arus angin saling bertabrakan,” paparnya.

Perjalanan menjadi jauh lebih lambat lagi ketika kapal berbelok ke arah barat daya, menyusuri sisi barat Tanjung Muria. Angin dari laut lepas sudah terhalang tanjung tersebut sehingga daya dorongnya terhadap kapal berkurang jauh. Hingga Matahari terbenam, daratan pesisir utara Pulau Jawa belum juga kelihatan.

Di situlah kembali mental diuji. Jika pada malam sebelumnya kami diuji dengan kondisi laut yang serba bergelora dan mengguncang, maka pada malam kedua kesabaran kamilah yang diuji dengan kondisi laut yang sangat tenang, angin yang bertiup sepoi-sepoi, dan kapal yang tidak terasa bergerak.

Kapten Putu mengatakan, kondisi seperti ini juga perlu dibiasakan dan dilatih oleh para peserta seleksi awak kapal tersebut, karena tidak jarang di tengah samudera nanti akan ada kondisi angin mati dan kapal tidak dapat bergerak hingga berhari-hari.

Pada saat lampu-lampu Pelabuhan Tanjung Emas mulai terlihat di kejauhan, kecepatan kapal sudah turun menjadi dua knot dan akhirnya diputuskan untuk menggulung layar dan menyalakan mesin motor tempel untuk bermanuver memasuki pelabuhan. Sekitar pukul 22.30, Kapal Borobudur baru bisa memasuki kolam pelabuhan dan tidak bisa langsung merapat karena menunggu izin dari administrator pelabuhan.

Pengalaman dua hari dan satu setengah malam menumpang Kapal Borobudur sudah cukup menyadarkan, betapa tangguhnya para nenek moyang dulu. Mereka dulu tidak ragu menempuh keganasan laut dan samudera karena menyadari bahwa mereka hidup di sebuah negeri maritim. (DAHONO FITRIANTO)

 

Artikel Lainnya