KOMPAS/RETNO BINTARTI

Niken Maharani, Peserta Ekspedisi Kapal Borobudur

Pelayaran Kapal Borobudur

Niken Maharani, Gagah Berani Mengarungi Samudra

·sekitar 5 menit baca

NIKEN MAHARANI, GAGAH BERANI MENGARUNGI SAMUDRA

TUBUH perempuan itu sangat gemulai menari jaipong dalam acara resepsi menyambut kedatangan kapal Samuderaraksa, Rabu malam (25/2) waktu Accra. Siapa sangka penari itu adalah perempuan perkasa yang baru dua hari mendarat dari pelayaran Jakarta-Accra.

KALAU otot yang menjadi ukuran kegagahan orang, kalau berat badan yang menjadi patokan, orang pantas menyangsikan Niken Maharani. Dengan berat tubuh hanya 40 kilogram, siapa berani menjamin perempuan kurus itu bisa tahan ikut ekspedisi kapal sejauh lebih 11.000 mil selama lebih enam bulan? Malah hampir delapan bulan jika keberangkatannya sejak dari Surabaya ikut dihitung.

“Aduh, kecil sekali anak itu. Ditiup angin saja bisa terbang dia,” komentar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan gadis kelahiran 23 Juli 1977 ini di Accra, Ghana.

Malah, sempat terjadi perdebatan antara pihak British Council yang akan menjadi sponsornya dan ketua panitia ekspedisi Sapta Nirwandar soal keiikutsertaan perempuan dalam ekspedisi berisiko tinggi itu. Satu pihak minta supaya masalah perempuan dipertimbangkan, yang lainnya lagi berpegang pada persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. “Niken akan diikutkan, namun tidak untuk keseluruhan leg,” begitu perdebatan semula.

Leg adalah istilah pembagian rute perjalanan. Leg pertama dari Jakarta ke Seychelles, leg kedua (Seychelles-Madagaskar), leg ketiga (Madagaskar-Cape Town), dan leg terakhir atau leg keempat (Cape Town- Ghana).

Namun, akhirnya disepakati jalan tengah yang dianggap terbaik, yakni Niken boleh terus ikut sampai selesai asal dengan kemauan sendiri, tanpa paksaan. Ujian pertama, berlayar dari Surabaya ke Jakarta, dilalui Niken dengan meyakinkan. Keyakinan bahwa Niken bisa mengimbangi rekan-rekannya di kapal, yang kebanyakan adalah pria, mulai tumbuh.

Akhirnya, memang segalanya tergantung kepada Niken. Kapal boleh diombang-ambing ombak yang tinggi, namun perempuan ini sedikit pun tak pernah ragu di perjalanan. Dia tak pernah merepotkan rekan lainnya.

Jangankan minta pulang. Ketika badai datang, sedikit pun tak keluar teriak ketakutan dari mulut Niken, apalagi menangis. “Dia biasa-biasa saja, malah dia keluar mau kencing,” tutur sailing master Muhamad Abduh.

Sementara orang kagum dengan keberaniannya, Niken tampak biasa- biasa saja. “Ya, yakin saja. Ada juga sih takutnya, tetapi enggak yang banget begitu,” kata Niken soal perasaannya mengalami berkali- kali badai.

Mengobrol dengan perempuan berjilbab ini seperti tak terasa bahwa dialah satu dari 20 orang yang ikut dalam ekspedisi Kapal Borobudur dari Jakarta-Seychelles-Madagaskar-Cape Town-Ghana. Dari mereka yang ikut, enam orang Indonesia dan dua warga negara lain mengikuti perjalanan penuh, sedang lainnya bergiliran di tiap leg. Ada yang sampai di Seychelles, lalu digantikan lainnya, dan seterusnya.

Niken Maharani adalah satu-satunya awak perempuan yang ikut perjalanan tersebut sampai tuntas. Dia terpilih di antara sekitar 800 orang yang mendaftar untuk ikut misi Jakarta-Afrika 2003.

***

SIAPA Niken Maharani, perempuan yang gagah berani mengikuti ekspedisi, bahkan sampai melewati keganasan ombak melewati Tanjung Harapan yang banyak ditakuti pelaut ulung sekalipun?

Niken kuliah di Institut Pertanian Bogor, Jurusan Kelautan. Kegiatan luar sekolah sebelumnya, menurut dia, biasa-biasa saja. “Ya, sekali-sekali menyelam atau naik gunung kalau ada yang mengajak. Tetapi enggak ikut klub apa-apa,” katanya.

Dia juga mengaku bukan orang yang aktif semasa sekolah menengah. Kalaupun dia luwes menari, itu sudah dipelajarinya sejak balita. Tarian yang dikuasai terutama Sunda klasik dan jaipongan bangau putih.

Darah pelaut secara tak langsung mengalir dalam tubuh Niken. Kakeknya yang sangat dia cintai adalah seorang nakhoda kapal yang sering berkeliling dunia, termasuk sampai Afrika.

“Saya sedih sekali waktu kakek meninggal pada Februari 2003. Saya sangat dekat dengan kakek,” ucap Niken.

Meski begitu sedih, Niken tidak menangis. “Begitu juga nenek saya. Mungkin saya seperti Nenek, menangisnya ditunda,” ucap gadis murah senyum ini.

Benar saja, dalam pelayaran, tiba-tiba Niken didatangi kakeknya lewat mimpi. “Bahkan sampai tiga kali saya mimpi ketemu kakek,” tutur Niken. Saat mimpi pertama itulah Niken menangis. “Seolah-olah kakek hidup kembali, dan kami bertemu di tempat yang jauh di Afrika. Aneh juga, sebelumnya saya enggak pernah mimpi kakek,” sambung Niken, anak ketiga dari lima bersaudara dan satu-satunya perempuan di keluarga Atris Prihatna.

Orangtuanya cukup enteng melepas anak gadisnya ini ikut ekspedisi penuh risiko. Dan Niken sendiri, karena sibuk memindahkan barang dari tempat kosnya di Bogor ke rumahnya di Bandung, membuat dia bisa bertemu orangtua dan saudara-saudaranya sebentar saja sebelum berangkat lagi ke Jakarta untuk kemudian memulai ekspedisi panjangnya. “Kapal sudah harus berangkat 15 Agustus, saya pulang ke Bandung tanggal 14 Agustus beberapa jam, terus pergi,” begitu katanya.

Seperti keluarga lainnya, keluarga Niken juga memantau pelayaran ini. Menurut ketua panitia ekspedisi Sapta Nirwandar, ibu Niken malah menyayangkan kalau anaknya tak sampai selesai mengikuti pelayaran. “Tanggung kalau cuma sampai Seychelles atau Madagaskar,” kata ibu Niken seperti dikutip Sapta.

Ternyata, Niken menikmati perjalanan yang penuh pengalaman menegangkan itu. Bobotnya malah bertambah. Bulan Desember, ketika mendarat di St Helena, Niken iseng menimbang badan. Tak disangka badannya naik 12 kilogram.

Niken Maharani tampaknya mudah menyesuaikan diri dengan suasana dan keadaan. Soal buang air selama di kapal, dia menjawab enteng, “Ya biasa-biasa saja. Namanya naik kapal begitu, ya udah, seperti orang buang air, terus bilas-bilas sesudahnya.”

Harap maklum, tidak ada toilet atau wc yang dengan nyaman bisa digunakan. Mereka yang mau buang hajat besar atau kecil tinggal cari posisi di pinggir, kotoran langsung ditelan laut.

Kebetulan pengalaman seperti ini-buang air di laut-bukan yang pertama buat Niken. Beberapa kali dia pernah ikut pelayaran untuk keperluan studi lapangan atau riset. Namun, biasanya jaraknya tak jauh, masih sekitar Jawa. Lagi pula pelayaran hanya beberapa hari saja.

***

DI mata awak kapal, keberadaan Niken mengikuti pelayaran ini memberi andil tersendiri. Ketegangan yang beberapa kali terjadi di antara tim menjadi reda dengan adanya orang seperti Niken yang mudah bergaul.

Niken pula yang mencatat keperluan logistik, belanja bila sampai darat, serta mencatat peristiwa hari ke hari selama perjalanan. “Dia juga pintar memijat lho,” tambah seorang awak kapal.

Diam-diam Niken memang menjadi bintang yang memberi warna tersendiri dalam sebuah perjalanan yang penuh risiko. Niken sendiri cenderung enggan dibanding-bandingkan dengan rekan-rekan lainnya.

Rencana pendeknya adalah menyelesaikan laporan menyeluruh sebagai pertanggungjawabannya kepada sponsor. Yang lain, “Saya ingin ambil S2.” (Retno Bintarti)

Artikel Lainnya