Ekspedisi Borobudur

Pelayaran Kapal Borobudur

Perjalanan Kapal Borobudur : Sebelum Lewat Tanjung Harapan, Hati Masih Ciut

·sekitar 7 menit baca

Perjalanan Kapal Borobudur

SEBELUM LEWAT TANJUNG HARAPAN, HATI MASIH CIUT

JUMAT, 15 Agustus 2003. Sebuah kapal kayu mulai bergerak dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebuah rencana raksasa hari itu mulai dilaksanakan, kapal berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter akan berlayar jauh menyeberangi samudra dengan tujuan utama Seychelles, Madagaskar, Cape Town, lalu rencananya kapal akan berhenti di pelabuhan terakhir di Accra, Gana.

SEJAK rencana digulirkan sampai akhirnya saat keberangkatan, banyak orang menyangsikan kapal itu bakal mencapai tujuan. Bahkan, pelaut berpengalaman pun tak yakin dengan kemampuan kapal itu mengarungi medan samudra yang begitu dahsyat. Ombak besar bisa menggulung kapal itu dengan mudah. Dan kalau ini terjadi, selesai.

Bahwa akhirnya kapal itu bisa sampai di Gana, memang campuran dari macam-macam unsur. Tekad baja, keberanian, kemampuan, kerja sama para awak, dan boleh dibilang keajaiban. Hitung-hitungan akal, mestinya kapal itu terpelanting ditelan ombak yang diperkirakan setinggi enam-tujuh meter. Atau kapal itu bakal terbalik disapu badai.

Namun, itulah, ternyata pada hari Senin, 23 Februari, kapal dengan kapten I Gusti Putu Ngurah Sedana tiba dengan selamat di Pelabuhan Tema, Accra, Gana. Kapal tiba dua bulan mundur dari rencana awal. Ketika berangkat, ekspedisi yang dibagi dalam empat leg itu- Jakarta-Seychelles-Madagaskar- Cape Town-Gana-dijadwalkan bisa menyelesaikan perjalanan pada akhir Desember 2003.

Semua yang terlibat dalam ekspedisi ini lega. Kerja keras selama lebih dari setahun sejak disetujuinya ekspedisi ini tak sia-sia. Philip Beale, penggagas sekaligus ketua tim, yang berasal dari Inggris, akhirnya bisa mewujudkan impiannya. Kapal yang dibuat berdasarkan rekaan replika yang ada di Candi Borobudur tersebut menghabiskan waktu selama lebih dari enam bulan perjalanan, belum termasuk perjalanannya dari tempat pembuatannya di Pulau Kangean di utara Bali menuju Surabaya, Semarang, kemudian Jakarta.

Tampilan kapal yang ketika baru berwarna kayu cokelat tua, akibat tertimpa air laut dan terik Matahari kini berubah warna menjadi kusam. Bambu-bambu besar yang digunakan sebagai pengaman tampak retak- retak di sana-sini. “Tetapi, justru karena retak itu jadi penanda. Kalau ada angin, bambu-bambu itu mengeluarkan bunyi keras sekali seperti suling raksasa,” kata Abdul Azis, salah seorang awak kapal.

Banyak pengalaman menarik yang dituturkan para awak tentang perjalanan kapal yang oleh Presiden Megawati diberi nama Samuderaraksa. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan medan, tetapi cerita penuh warna serta pengalaman yang mungkin tak pernah terlupakan. Kebesaran Sang Pencipta membekas cukup dalam bagi sebagian awak kapal. Betapa tidak, kata Mujoko, “Di tengah Samudra Hindia yang begitu luas, yang hanya kelihatan air sepanjang mata memandang, air laut bisa begitu flat, bak kaca. Sama sekali tidak ada gelombang, betul-betul rata. Enggak ada angin, yang ada hanya ribuan ikan warna-warni yang bisa dilihat dari kapal.”

Tak ketemu darat

Begitu luasnya area samudra digambarkan dalam catatan Sudirman bahwa pada perjalanan pertama dari Jakarta menuju Seychelles, selama 26 hari, sama sekali tak pernah melihat daratan. Pria yang diikutkan karena pengalaman dan kepiawaiannya berlayar itu membandingkan dengan pelayaran yang biasa dilakukannya di Nusantara. “Kalau di Nusantara, paling enggak sehari kami ketemu pulau,” ucap Sudirman.

Mengikuti perjalanan Borobudur merupakan pengalaman baru baginya. Biasanya paling lama dia melaut selama dua bulan kemudian kembali pulang. Sementara karena dia adalah tim yang berangkat awal dari Pulau Kangean, Desa Pagerungan, tempat pembuatan kapal, total dia berpisah dari anak dan istrinya selama delapan bulan. Rencana awal, katanya, dia hanya ikut mengantar kapal sampai Jakarta, tetapi kemudian dia diikutkan sampai ekspedisi selesai.

Sudirman atau yang biasa dipanggil Dirman toh tetap ragu dan sangsi tentang kemungkinan kapal mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Dari segi medan, Nusantara sungguh tak bisa dibandingkan. Belum lagi kapal itu sendiri yang jauh lebih kecil dari yang biasa dia gunakan dalam pelayaran ke Kalimantan atau bahkan sampai Irian.

Bandingkan, panjang Samuderaraksa 18,29 meter dan lebar 4,25 meter. Adapun kapal yang biasa dipakai Dirman melaut rata-rata memiliki panjang 35 meter dan lebar 18 meter. Lagi pula dalam pelayaran di perairan Nusantara, Dirman lebih mengandalkan mesin yang berkekuatan 4-6 silinder, bukan layar seperti yang digunakan dalam pelayaran lintas samudra itu.

“Bedanya lagi, untuk memainkan layar, kapal Borobudur perlu enam orang, kalau kapal zaman sekarang cukup seorang saja,” ucap Dirman lagi. Layar yang digunakan dalam pelayaran ini adalah layar tradisional yang disebut dengan layar tajak.

Mesin cadangan yang tersedia di kapal Borobudur semata dipakai hanya untuk manuver di dekat pelabuhan. Dari kekuatannya sendiri, menurut Dirman, memang mesin itu tak akan mampu mendorong perjalanan kapal karena hanya berkekuatan 22 PK atau kira-kira setengah silinder. Dan selama perjalanan, mesin yang ditaruh di bagian bawah selalu terendam air. “Sepertinya umur mesin pas dengan waktu kami berlayar, enam bulan bisa jalan sudah syukur,” kata ayah dua anak ini.

Untuk kapal yang mengandalkan layar tanjak, cuaca benar-benar sangat menentukan. Jika tak ada angin, kapal hanya diam di tempat. Dan ini terjadi bukan sekali, dua kali. Pernah bahkan kapal tak bisa bergerak selama dua hari.

Sebaliknya, karena kerasnya angin badai, layar hancur lebur. Badai yang menimpa dalam perjalanan Madagaskar menuju Cape Town bersamaan pula dengan sambaran petir yang menggelegar-gelegar di tengah laut.

Bagi Dirman, keraguan yang paling besar dia rasakan saat itu, “Mungkinkah kapal akan sampai tujuan?” begitu pikirnya. Apalagi bukan hanya ombak setinggi enam-tujuh meter, tetapi cuaca benar-benar tidak bisa dipegang. “Sehari bisa dua-tiga kali cuaca berubah,” katanya. “Mendung sudah lepas, eh tahu-tahu kembali,” ujarnya menambahkan tentang cuaca menjelang Tanjung Harapan.

Yang aneh lagi, langit cerah tak ada mendung, tetapi angin luar biasa keras. Akibatnya, kapal hanya berputar-putar di tempat yang itu- itu saja, tidak beranjak ke tempat lain. “Dua hari, dua malam kapal berputar-putar dan selama itu kami menggunakan layar badai. Kalau tidak, kapal bisa tenggelam,” katanya.

Kapal yang semula sudah lepas dari Richard Bay kemudian masuk lagi. Sesudah kena badai, masih lagi kapal harus menghadapi yang namanya mendung berangin. Pada saat itu kekuatan angin mencapai 35 mil per jam.

Kapten kapal Putu Ngurah Sedana mengungkapkan hal senada. “Menjelang Tanjung Harapan, cuaca benar-benar tidak bisa diduga. Hari ini bagus, besok berubah. Kami tidak tahu, saat sudah jalan dan berada di tengah, angin berubah,” kata Putu.

Debat cuaca

Demikian, persoalan cuaca menjadi masalah utama yang menentukan keselamatan perjalanan panjang ini. Ini juga yang menjadi soal serius yang kerap menimbulkan friksi dan perdebatan antarawak, terutama antara awak asal Indonesia dan awal asal negara Barat.

Sebagaimana diketahui, selain Philip Beale yang menjadi ketua tim pelayaran, ekspedisi ini juga mengikutsertakan beberapa warga negara lain, dari Australia, Selandia Baru, Amerika, Swedia, dan Perancis. Philip ikut sejak awal sampai Accra, sedangkan selebihnya hanya satu leg dan bergantian.

Dari Indonesia juga ada awak yang bergantian ikut, selain enam orang yang terus-menerus ikut sampai tujuan akhir, yaitu Putu Ngurah Sedana (selaku kapten), Muhamad Abduh (master sailing) bersama Sulhan dan Sudirman, serta Niken Maharani dan Mujoko.

Pendekatan yang digunakan melihat cuaca mengakibatkan sering terjadi perdebatan yang mengarah pada pertengkaran mulut. “Saya pernah emosi karena saya yakin bisa terus jalan, mereka minta balik,” tutur Abduh yang juga adalah pelaut berpengalaman di Nusantara.

Persoalannya, Abduh membaca cuaca berdasarkan pengalaman empirik, sedangkan rekan dari luar Indonesia membaca lewat informasi ramalan cuaca berteknologi masa kini.

Toh ekspedisi telah dilalui dengan selamat. Ketika saatnya para awak harus kembali dan mereka mulai mengemas barang-barang mereka yang terasa adalah rasa kehilangan. “Perasaan saya sekarang sangat sedih karena harus membawa ini semua,” kata Philip Beale saat sedang mengumpulkan barang-barangnya dari kapal, Jumat (27/2) di Pelabuhan Tema, Accra.

Perasaan yang sama dikemukakan Dirman, yang merasa mempunyai saudara baru. Di kapal yang hanya sebesar itu, kontak dengan sesama awak begitu intensif. Meski mereka mempunyai tempat istirahat sendiri, pertemuan sangat intens. “Dua-tiga jam aja enggak ketemu, kami cari,” ucap Dirman.

Sulhan yang masih sepupu Dirman dan termasuk dituakan mengatakan, dalam keragaman yang penting adalah saling asah-asuh. “Kalau ada yang sakit, saya tolong, kalau saya sakit gantian, yang lain tolong,” ujarnya.

Untungnya, memang tak ada yang kena sakit serius selama perjalanan, kecuali masuk angin atau sakit perut ringan. Obatnya juga obat bebas, bekal dari Tanah Air, seperti antimo dan diatab.

Laporan perjalanan

Selama perjalanan berlangsung, hampir tiap hari Philip Beale dan kawan-kawan melaporkan posisi serta hari-hari mereka, yang kemudian disebarkan melalui website khusus. Laporan umumnya cukup singkat, tetapi cukup menggambarkan keadaan hari-hari yang mereka hadapi.

Dari laporan itu, kita bisa tahu berapa mil yang telah berhasil mereka tempuh dalam sehari, berapa kecepatan kapal. Suatu hari kapal bisa menempuh sejauh 100 mil, lain hari 150 mil, 170 mil per hari, sering hanya 40-50 mil sehari, bahkan pernah tak bergerak sama sekali.

“Akhirnya kami tiba di Madagaskar 15 hari setelah kami meninggalkan Seychelles. Jarak total dari Seychelles 1.105 mil dan total perjalanan yang sudah ditempuh sekarang 4.405 sejak kami meninggalkan Jakarta,” demikian misalnya laporan yang terbaca pada tanggal 14 Oktober.

Kabar baik dan buruk silih berganti dalam laporan hari ke hari. Tanggal 5 November umpamanya, mereka mengabarkan ketidakberuntungan perjalanan. Generator rusak sehingga alat komunikasi terancam tidak berfungsi. Sementara saat itu badai. “Dimulai dengan hujan dan guntur dan kami berupaya menurunkan tiang layar. Layar utama mulanya tetap berfungsi, tetapi kemudian hancur di tengah badai. Angin berkecepatan 30 mil per jam dan laut berombak keras,” begitu laporan 6 November.

Menurut laporan itu sampai tengah malam keadaan tak menentu dan hari itu benar-benar sangat melelahkan. “Tetapi, paling tidak kami baik-baik dan badai hanya mengakibatkan kerusakan kecil,” sambung laporan berikutnya.

Di luar itu, kabar baik dilaporkan, yakni mereka menangkap empat tuna besar, total ikan diperoleh 19 ekor.

Tiga hari kemudian, para awak mendapatkan hiu kecil mengitari kapal. Beberapa awak, tulis laporan 10 November, protes supaya hiu itu jangan ditangkap, sedangkan awak lain mengatakan tak ada alasan untuk kasihan. Hiu pun dilepas kembali.

“Harmoni dalam kapal kembali tercipta,” begitu tertulis dalam laporan. (Retno Bintarti)

“Banyak pengalaman menarik yang dituturkan para awak tentang perjalanan kapal yang diberi nama Samuderaraksa. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan medan, tetapi cerita penuh warna serta pengalaman yang mungkin tak pernah terlupakan.”

Artikel Lainnya