KOMPAS/RETNO BINTARTI

HUBUNGAN - Momentum kedatangan kapal Borobudur di Accra, Gana, dimanfatkan sekaligus untuk mengadakan berbagai acara, antara lain seminar Hubungan Indonesia-Gana. Seminar diselenggarakan oleh British Council, 26 Februari 2004.

Pelayaran Kapal Borobudur

Sejuta Cerita dari Jakarta ke Accra

·sekitar 10 menit baca

Jendela

SEJUTA CERITA DARI JAKARTA KE ACCRA

BUKU-buku, pakaian, sarung, alas kaki, peralatan mandi, dan barang-barang lain, yang ada di dalam kapal, siang itu siap dikemas. Cukup banyak barang-barang itu, maklum semuanya dipakai selama perjalanan berbulan-bulan di dalam kapal.

SEMENTARA di luar, beberapa orang sedang menggulung layar dan membongkar peralatan. Tali dikumpulkan dan layar kemudian dilipat. Bambu-bambu yang berfungsi sebagai pagar dilepas satu per satu agar orang tak tergelincir.

“Simpan semua baik-baik karena semua yang kalian pakai nantinya akan dimuseumkan,” kata Sapta Nirwandar, ketua panitia ekspedisi kapal Borobudur, yang Jumat (27/2) siang itu ikut bersama para awak mengemasi barang-barang di Pelabuhan Tema, Accra.

Untuk kepentingan publik, kapal Borobudur, atau yang diberi nama resmi oleh Presiden Megawati kapal Samuderaraksa, kelak akan disimpan di museum, dekat Candi Borobudur. Lewat kapal itu, melalui benda- benda dan peralatan yang ada di kapal, masyarakat nantinya bukan saja bisa membayangkan, tetapi juga bisa melihat apa saja bekal yang dibawa selama pelayaran teramat berat itu.

Benda akan menjadi saksi bisu dari sebuah keberhasilan perjalanan penuh tantangan yang dilakukan gabungan putra-putri Indonesia bersama beberapa orang dari Inggris, Australia, Selandia Baru, Amerika, Kanada, dan Swedia. Yang lebih penting dari itu adalah pengalaman mereka dalam mengikuti pelayaran tersebut, bagaimana perjuangan menembus ombak dan badai. Juga pengalaman menghadapi putaran air, angin, dan hujan di tengah samudra.

Dengan pengalaman langka ini, siapa tahu akan terkuak lebih banyak lagi pengetahuan kelautan yang sesungguhnya telah dimiliki sejak dulu oleh nenek moyang bangsa Indonesia. “Yang kami harapkan nantinya akan ada penelitian yang lebih mendalam tentang teknologi kelautan oleh fakultas-fakultas yang mempunyai jurusan terkait. Misi perjalanan kapal ini adalah menelusuri jejak masa lalu yang pernah dijalankan nenek moyang kita, sekaligus ke depan misi semacam ini diharapkan bisa memelihara perdamaian yang juga pernah ditunjukkan oleh nenek moyang kita ketika mereka berhasil mencapai suatu tempat baru,” ujar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika.

Kementeriannya menjadi sponsor utama ekspedisi Indonesia- Afrika dengan dibantu oleh beberapa instansi serta sejumlah sponsor swasta lainnya.

Terus terang I Gede Ardika mengungkapkan, ketika Philip Beale menyampaikan gagasannya pada Oktober 2002, dia belum cukup yakin. “Secara prinsip saya setuju dengan gagasan Philip Beale karena dalam ekspedisi itu mengandung misi yang penting dalam upaya melestarikan budaya maritim,” kata Ardika beberapa hari setelah kapal Borobudur akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh rute yang direncanakan.

Ardika khusus memberi ucapan selamat kepada tim di Accra dan ikut hadir dalam acara penyambutan yang diadakan bekerja sama dengan Komisi Kebudayaan Nasional Gana dan Kedutaan Besar Indonesia untuk Nigeria (yang mencakup juga negara Gana).

Dukungan dari banyak pihak, kata Ardika, memberi semangat dan menambah keyakinan akan keberhasilan misi kapal Borobudur. “Spirit sangat penting dalam misi semacam ini dan itu harus terus-menerus dikobarkan,” papar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ini lagi.

Sapta Nirwandar, Sekretaris Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang ditunjuk menjadi ketua panitia ekspedisi mengatakan, dirinya yang terus memantau perjalanan tersebut semakin yakin dengan keberhasilan tim setelah kapal mencapai leg pertama, Seychelles. “Meski perjalanan masih panjang dan masih harus melewati rintangan berat di Tanjung Harapan, setidaknya ketika sudah sampai Seychelles, harapan makin besar,” ucap Sapta.

Menurut jadwal, seluruh perjalanan yang terbagi dalam empat leg akan selesai pada akhir Desember 2003. Berarti dari rencana waktu, kapal kayu ini terlambat selama hampir dua bulan tiba di tujuan akhir. Namun, secara umum, Sapta Nirwandar mengatakan, ekspedisi berjalan sangat baik.

Sudah diuji

Menengok ke belakang, Sapta mengatakan, sejak gagasan Philip Beale disetujui, sejumlah langkah kemudian dilakukan. Antara lain, disepakati terbentuknya misi bersama Indonesia- Inggris, tetapi kapal hanya menggunakan bendera Merah Putih karena kapal yang digunakan asli buatan putra-putra Indonesia dengan seluruh bahan berasal dari Indonesia. Kapal secara resmi juga didaftarkan sebagai kapal Indonesia.

Philip Beale ditunjuk sebagai ketua misi ekspedisi, sementara I Gusti Putu Ngurah Sedana sebagai kapten kapal. “Kami juga sepakat, awak yang akan ikut dalam misi ini 50 persen orang Indonesia dan 50 persen lainnya orang asing. Ini penting untuk memberi dimensi percampuran budaya,” ujar Sapta.

Penunjukan awak kapal sama pentingnya dengan uji kelayakan kapal itu sendiri. Dari riset yang sudah dilakukan Philip Beale jauh hari sebelum dia menemui I Gede Ardika, diketahui ada tempat pembuatan kapal di Pulau Kangean, tepatnya di Desa Pagerungan, Jawa Timur. Pada awal Januari 2003, AsÆad Abdullah, yang sudah berhasil membuat 40 perahu dan 16 kapal, mulai menggarap proyek raksasa ini.

Dalam waktu empat bulan, kapal selesai dalam arti kapal sudah dibawa ke laut. Keseluruhan pekerjaan tuntas pada 11 Juni 2003 sehingga total waktu yang dihabiskan untuk pembuatan kapal ini adalah empat bulan 20 hari.

Tujuh jenis kayu-ulin, bungor, kesambi, jati, kalimpapa, bintagor, dan nyamplong-digunakan untuk bahan kapal yang akan menempuh jarak sekitar 11.000 mil ini.

Sapta Nirwandar menjelaskan, “Sebelum kapal benar-benar digunakan untuk pelayaran jauh, kami sudah meminta BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi) untuk melakukan uji coba laboratorium dengan pengujian secara ilmiah.”

Dalam misi ini, Tim Interdep dilibatkan, seperti dari BPPT, Kementerian Kelautan Perhubungan, dan Angkatan Laut. “Sebab, kami tahu persis tak mungkin kami berjalan sendirian tanpa bantuan dari mereka yang ahli di bidangnya,” kata Sapta Nirwandar.

Berbarengan dengan pembuatan kapal, panitia juga mulai menyebarkan pengumuman melalui berbagai media untuk mencari awak yang akan diikutkan dalam ekspedisi. Di luar mereka yang berpengalaman, panitia juga menginginkan agar ekspedisi nantinya bisa menjadi pengobar semangat putra-putri Indonesia untuk mengenal dan mencintai lautan. Karena itu, tim akan bercampur antara mereka yang berpengalaman-pelaut dan juga ahli rawat kapal-plus mereka yang belum berpengalaman dengan dunia pelayaran.

“Di luar perkiraan, sekitar 800 orang mendaftar. Mereka semua berusia muda, di bawah 35 tahun, karena syarat kami memang demikian,” ujar Sapta mengenai antusiasme orang- orang muda terhadap rencana ekspedisi Indonesia-Afrika ini.

Setelah melalui seleksi administratif, sekitar 20 orang dinyatakan lolos. Lalu, dari 20 orang itu disaring lagi sehingga tinggal 10 orang. Mereka inilah yang diikutkan dan dijadikan cadangan. Dua di antara 10 orang ini adalah wanita, yaitu Niken Maharani dan Shierlyana Juanita. Nama yang terakhir ini sejak awal memang dirancang mendapat giliran satu leg dan harus memberi kesempatan kepada yang lain.

Hanya Niken dan Mujoko yang memang disiapkan untuk mengikuti pelayaran dari awal sampai akhir dan mereka ternyata berhasil membuktikan kesanggupannya.

Kesabaran

Fisik yang kuat saja belum menjamin seseorang bisa mengikuti perjalanan berat dan panjang ini. Diperlukan semangat, kesabaran, kerja sama, disiplin yang kuat di antara para awak.

Waktu sehari 24 jam akan terasa lama dan menjemukan bila mereka tak pandai-pandai menyiasatinya. Petualangan langka semacam ini yang mungkin tak akan pernah mereka alami lagi harus benar-benar dimanfaatkan.

Muhamad Abduh (50), awak tertua, mengaku sempat rindu dengan keluarga. Kendati berlayar adalah bagian dari hidupnya sebagai nelayan, suami dua istri, ayah enam anak, dan kakek dua cucu ini merasa perjalanannya kali ini luar biasa panjang.

Abduh yang mempunyai hubungan darah dengan Sulhan dan kerabat Sudirman tak mempunyai cara khusus untuk membunuh rindu. “Begitu kepikiran keluarga, langsung saya jalan-jalan di kapal. Ya, cuma itu yang saya bisa lakukan,” katanya.

Rokok dan kopi tak pernah absen dari menu sehari-hari yang dia nikmati selama perjalanan. “Minimal sehari tiga gelas kopi, rokok habis sebungkus sehari,” ucapnya. Seperti Sulhan dan Sudirman, Abduh diikutsertakan dalam ekspedisi ini karena pengalamannya sebagai pelaut maupun selaku ahli pembuat kapal.

Stok kopi cukup banyak dibawa dari Tanah Air, yakni 30 kilogram. Namun, baru pada pekan pertama berangkat, tempat menaruh kopi kemasukan air. Beruntung setelah dicek, kopi tetap utuh karena rupanya sudah dibungkus dengan pengaman.

Lain lagi cerita Mujoko (24) yang merasa perjalanan semakin hari semakin menyenangkan. “Soalnya, waktu awal kami belum saling kenal, rasanya suasana formal banget,” ujar pemuda berambut gondrong dan berkulit gelap ini.

Setelah keakraban mulai terjalin, Joko mengaku mulai berani iseng. Begitu sebaliknya, “Kami saling suka ngerjain, tetapi tentu aja dengan batas-batas tertentu. Cuma pernah juga ada yang hampir tampar-tamparan.”

Macam-macam gaya iseng di laut, misalnya mengganti minum orang dengan air laut sehingga korban keisengan nyembur- nyembur.

Selebihnya, pria lulusan Institut Pertanian Bogor jurusan Kelautan ini menghabiskan waktu dengan bermain catur, ngobrol atau mancing. Selama perjalanan, Joko menghabiskan tujuh buku novel dan biografi. “Enggak banyak, soalnya bahasa Inggris, bacanya lama, ha-ha- ha,” ujar Joko disusul dengan tawanya.

Ia mengaku terburu-buru menyiapkan keberangkatannya mengikuti ekspedisi laut ini. Total dia hanya membawa enam setel pakaian, itu pun tiga setel dibawakan orangtuanya dari Sukabumi, tiga lainnya baju yang dibawa sebelum testing.

Entah karena orang kasihan atau bosan melihat Joko dengan baju yang itu-itu saja, dia banyak menerima pemberian baju. “Sekarang tas saya penuh baju, tas gendong hampir tak muat,” katanya.

Untuk membaca, Niken juga melakukannya dengan memilih bacaan santai. Rupanya buku Harry Potter begitu menarik buat Niken sampai- sampai dia mengulang membaca buku itu sebanyak tujuh kali. “Yang lainnya, habis novel 12 buku,” katanya.

Kegiatan memancing akhirnya menjadi pilihan awak kapal guna menyenangkan diri. Menurut hitungan Putu, selama perjalanan dia berhasil mendapat 39 ikan besar. Sementara ikan kecil-kecil tak pernah dia hitung karena terlalu sering dia mendapatkannya. “Yang namanya ikan layur sering sekali saya dapat dan semula saya enggak doyan, yang makan teman-teman. Soalnya, ikan layur durinya banyak,” ucap Ngurah Sedana.

Namun, karena seringnya melihat yang lain makan dengan enak, akhirnya dia ikut-ikutan doyan. “Ternyata enak juga. Pantas teman- teman doyan,” katanya.

Pengalaman apa yang paling berharga dari perjalanan ini, Kapten Putu mengatakan, sehebat apa pun manusia, kadang ada hal-hal yang sulit dijelaskan terjadi. Makanya, kata Putu, yang sehari-hari menjabat sebagai perwira komando lintas laut militer ini, larangan untuk berbuat hal-hal yang tidak semestinya, jangan sekali-kali dilanggar jika memang mau selamat.

Buktinya, ketika ada awak yang berbuat tak pantas dalam kapal, kapal mengalami masalah. “Dua kali propeler kami pecah. Padahal, enggak nabrak apa-apa, enggak ada sesuatu yang patut dicurigai yang bisa merusak propeler,” ujar Putu.

Boleh percaya, boleh tidak, setelah diselidiki, ternyata di dalam kapal malam itu ada awak pria dan wanita yang melakukan hubungan badan. Kejadian serupa-propeler pecah-terjadi lagi dan anehnya juga terjadi lagi-lagi setelah ada yang melakukan hubungan badan.

“Yang kedua Niken yang melapor kepada saya bahwa ada empat kaki numpuk. Saya marah sekali karena harusnya hal-hal yang tidak pantas jangan coba-coba dilanggar, risikonya terlalu besar dan menimpa kami semua,” tutur Putu tanpa menyebut nama awak yang melakukan hal itu.

Bagi pelaut tradisional, seperti Sudirman, misalnya, pantangan- pantangan atau larangan yang digariskan orang-orang tua dulu selalu dicoba untuk dipatuhi. Salah satunya adalah menceritakan kejadian- kejadian aneh yang mungkin dialami di laut. “Memang suka ada yang aneh-aneh, tetapi kata orang- orang tua kalau semakin diceritain, yang aneh-aneh semakin banyak datang,” katanya.

Dirman percaya betul ilmu laut yang dimiliki nenek moyang zaman dahulu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang kebanyakan dipunyai pelaut sekarang. Karena itu, dia tak heran kalau abad-abad lalu sudah ada perjalanan dari Indonesia ke Afrika. “Bukan masalah peralatan atau kapalnya yang lebih bagus, tetapi ilmunya yang lebih baik,” ujar pelaut yang pernah mengadu nasib bekerja di Malaysia dan Singapura ini.

Jadi, mungkin benar tesis baru yang mengatakan, pelayaran bangsa Indonesia sejak abad pertama bukan hanya sampai di pantai timur Afrika, tetapi bisa jadi melewati Tanjung Harapan dan sampai Gana. Untuk itu para peneliti perlu membuktikannya. (ret)

 

KEGIATAN SEHARI-HARI TAK TERHALANG

SELAMA lebih dari enam bulan berlayar, beberapa peristiwa penting terpaksa dilalui di atas kapal. Puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, juga Halloween. Beberapa awak berulang tahun dalam perjalanan Agustus 2003-Februari 2004.

Saat bulan Ramadhan tiba, para awak yang beragama Islam tetap menjalankan ibadah puasa seperti yang dilakukan umat Muslim lainnya. Sahur dan buka puasa dilakukan bersama. “Yang dapat giliran masak, ya menyiapkan sahur atau makanan untuk buka,” kata Mujoko atau Joko.

Namun, menurut dia, perhitungan tanggal 1 Ramadhan terlambat satu hari karena salah menghitung hisab. Syukur, kebanyakan awak berhasil menyelesaikan ibadah puasa dengan baik. Joko sendiri sempat putus puasa setibanya di Richard Bay karena dia harus mengurus banyak hal. Puasa dalam perjalanan yang paling mengesankan buat Sudirman justru karena, “Pas puasa kita kena badai.” Beruntung badai bisa diatasi dan kapal melanjutkan perjalanan kembali.

Selama puasa mereka yang beragama Islam juga tetap bisa melaksanakan kewajiban shalat, kecuali waktu-waktu tertentu yang situasinya tak memungkinkan, mereka menggabungkan waktu shalat atau menjamak.

Dari mana air untuk wudu? “Ya, pakai air laut,” kata Azis, yang juga dibenarkan Joko.

Air tawar yang selalu tersedia sebagai bekal perjalanan digunakan seirit mungkin, hanya untuk keperluan masak. Mandi pun memanfaatkan air laut, kecuali untuk membilas saat terakhir menggunakan air tawar. “Biar enggak lengket dan pakainya juga sedikit aja,” ujar Azis.

Soal air ini, salah seorang awak, Reg Hill, mengungkapkan lewat website, mereka membawa bekal air tawar lima ton. Ini sudah termasuk air mineral dalam botol pemberian sponsor. Setiap orang rata-rata memerlukan enam liter air per hari untuk keperluan diri ditambah untuk masak.

Masak dilakukan di dekat kokpit dengan kompor minyak. Proses memasaknya, kata Reg Hill menjawab surat e-mail, kadang rumit karena kapal bergoyang ditambah dengan cipratan air tampias yang masuk. “Tetapi, tidak perlu diragukan, hasil akhirnya dijamin enak meski tak sama dengan masakan hotel berbintang lima,” ujarnya.

Kalau sedang tak giliran jaga, Hill lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan àtidur, kadang di dalam atau di dek sambil mandi matahari. Jam maupun waktu tidur tak tentu, yang jelas sehari maksimal sekitar lima jam. “Jadi, kelelahan adalah masalah nyata,” katanya.

Maka, ketika sampai di suatu tempat, kepenatan diupayakan untuk dibayar. Meski tetap tinggal di kapal, karena tidak tegang, istirahat dan tidur bisa lebih dari cukup. “Justru capeknya kalau ada macam- macam seremoni. Wah, capek dan bosan basa-basinya,” ujar Joko.

Upacara penyambutan, seminar, malam kebudayaan, dan lainnya merupakan rangkaian acara yang dibuat dalam menyambut kapal ketika tiba di suatu tempat. Bagi orang semacam Joko, acara seperti ini terasa lama. “Sampai saya suka ingin lari. Enakan di kapal, sungguh,” kata Joko.(ret)

Artikel Lainnya