BAYANGAN MINAMATA DI BARITO
SETIAP musim kemarau atau ketika air surut, Sungai Barito yang mengalir di dua provinsi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, dipenuhi ribuan lanting penambang emas liar. Lanting-lanting berjejer memenuhi sungai, bahkan di sejumlah ruas terkadang puluhan lanting tambang emas tersebut hampir menutup alur sungai. Penambangan emas liar di badan sungai ini hanya sepi saat musim penghujan, ketika air sungai sedang tinggi atau meluap.
Kegiatan penambangan emas di Barito, seperti juga belasan sungai lain di Kalteng, sangat mencemaskan. Pasalnya, dalam kegiatan penambangan emas tersebut digunakan sejenis logam berat berupa air raksa yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia yang tinggal di sekitar sungai tersebut.
Lanting-lanting tambang emas pada musim air surut biasanya marak di kawasan Muara Teweh-Puruk Cahu sejauh lebih kurang 80 kilometer. Kemudian antara Puruk Cahu dan Tumbang Lahung juga terdapat ratusan lanting tambang emas yang dalam pengolahannya menggunakan air raksa.
Sungai Barito dan anak- anak sungainya berhulu di kawasan Pegunungan Muller. Mengalir sepanjang lebih kurang 680 kilometer, di tepi sungai berdiam ratusan ribu warga yang terdapat di ratusan desa dan sejumlah kota di dua provinsi, Kalteng dan Kalsel.
Barito merupakan salah satu sungai utama di Kalimantan Tengah. Sungai ini juga memiliki dua DAS utama yang teletak di hulu, Sungai Murung dan Sungai Bongan.
Permukiman paling ujung yang terdapat di DAS Barito merupakan Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, kemudian di tepi sungai, berturut-turut di antaranya Desa Tumbang Keramu, Tumbang Lahung, dan Kota Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, yang berjarak sekitar 480 kilometer dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sungai Barito juga mengalir melewati Kota Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, kemudian bermuara di pesisir Kalsel, setelah sebelumnya membelah Kota Banjarmasin.
Kekhawatiran terjadinya pencemaran air raksa di sungai ini beralasan akibat kegiatan pertambangan emas. Ribuan unit lanting tambang emas tersebut diperkirakan menumpahkan berton-ton air raksa langsung ke aliran sungai.
Sangat beralasan jika bencana Minamata sekarang ini membayang di Sungai Barito. Bencana Minamata-kota di Pulau Kyushu, Jepang-terjadi akibat kegiatan industri yang tidak mengindahkan ekologi, pada tahun 1950-an.
Akibat tercemarnya perairan di Minamata oleh logam raksa (merkuri/Hg), lebih dari 3.000 warga setempat menjadi korban. Begitu pula satwa- satwa yang ada di daerah tersebut. Sebagai dampak pencemaran itu, korban manusia berjatuhan, seperti terjadinya kerusakan otak, gagap bicara, hilangnya kesadaran, bayi- bayi yang lahir cacat, hingga kematian. Penyakit-penyakit aneh ini kemudian dikenal dengan nama minamata desease.
Bencana akibat merkuri ini pun bisa mengancam ratusan ribu jiwa warga yang tinggal di sepanjang tepian Sungai Barito, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Diperkirakan, puluhan ton raksa tumpah ke sungai-sungai yang berasal dari ribuan penambang emas liar setiap tahun.
Sementara itu, para penduduk yang tinggal di tepi sungai sebagian masih memanfaatkan air sungai untuk mandi, mencuci, mencari ikan, dan kegiatan sehari-hari lainnya, bahkan sebagai sumber air minum.
Jika perairan Barito terus- menerus ditumpahi air raksa dari penambangan emas liar, tidak tertutup kemungkinan warga yang tinggal di sekitar sungai akan terkena dampak akibat pencemaran raksa tersebut. Ikan dari Barito ini masih disajikan di warung-warung persinggahan di tepi sungai.
Karena proses bioakumulasi (penumpukan konsentrasi logam secara biologis) dan biomagnifikasi (pembesaran konsentrasi logam secara biologis) yang terjadi pada pencemaran merkuri, puncak sebuah rantai makanan akan mendapatkan konsentrasi merkuri paling besar.
Semakin tinggi tingkatan rantai makanan itu semakin tinggi pula kadar pencemarnya. Dalam piramida makanan, manusia menduduki posisi tertinggi. Oleh karena itu, jika manusia tidak hati-hati, kadar merkuri dalam tubuhnya akan tertinggi di antara siklus rantai makanan.
PARA penambang emas di Barito menggunakan merkuri sebagai koagulan (penggumpal), sekaligus pelarut atau pemisah emas dari kotoran yang masih tersisa dalam proses penambangan. Menurut penuturan sejumlah penambang, tidak sulit mendapatkan raksa untuk mengolah emas itu. Raksa banyak didapat dari Kota Palangkaraya maupun Kota Banjarmasin.
Provinsi Kalteng sebenarnya sudah memiliki peraturan daerah yang mengatur penjualan dan penggunaan raksa. Peraturan Daerah Nomor 6 tentang Penjualan dan Penggunaan Air Raksa itu ditetapkan 24 Juni 2003 dan merupakan provinsi pertama di Indonesia yang mempunyai perda tentang merkuri.
Masalahnya, kini pelaksanaan perda itu tampak belum maksimal, terbukti dengan masih bebas dan mudahnya para penambang mendapatkan merkuri. Selain membeli di Kalteng, penambang atau pedagang merkuri bisa juga membeli dari luar provinsi.
Menangani tambang emas liar yang berpotensi mencemari Sungai Barito ini memang pelik. Bagaimana tidak. Para penambang yang sudah bertahun-tahun dibiarkan pun tampak tidak peduli oleh peraturan atau bahaya merkuri yang terbuang ke sungai. Alasannya, tentu tuntutan perut.
Sejumlah penambang di pedalaman Barito mengungkapkan, mereka memang mengetahui bahwa raksa bisa berbahaya jika sampai masuk ke tubuh mereka. Akan tetapi, dari penuturan mereka, menambang emas saat ini merupakan satu-satunya mata pencaharian yang bisa diandalkan untuk menutupi kebutuhan hidup yang sangat besar akibat tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok di pedalaman.
Alasan tersebut memang sedikit masuk akal. Bayangkan, harga bensin di pedalaman Barito bisa mencapai Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per liter. Demikian juga harga kebutuhan pokok lain, seperti beras juga lebih mahal dibandingkan dengan harga-harga di kota. Beras pun bisa mencapai Rp 5.000 per kilogram.
Mahalnya harga kebutuhan pokok di pedalaman tersebut dikarenakan sulitnya transportasi ke kawasan tersebut. Jalan raya dari Banjarmasi ke Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, sejauh lebih kurang 400 kilometer saat ini masih rusak parah. Lebih ke hulu lagi, ke kawasan Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, jalan darat sepanjang lebih kurang 120 kilometer juga rusak parah.
Pada musim kemarau harga di bagian hulu sungai semakin mahal karena transportasi juga makin sulit karena sungai yang menjadi andalan jalur transportasi warga tidak lagi bisa digunakan secara maksimal.
Lanting tambang emas ini melibatkan ribuan warga. Setiap lanting rata-rata ditunggui dua atau tiga keluarga. Harga emas urai, menurut sejumlah pedagang dan penambang emas, berkisar Rp 80.000 hingga Rp 107.000 per gram tergantung mutunya.
Para penambang rata-rata mengatakan tidak bisa mengandalkan pekerjaan lain untuk bisa hidup di sekitar pedalaman Barito dengan harga barang kebutuhan pokok yang sangat tinggi.
Intinya, tidak ada pekerjaan lain yang menjanjikan pendapatan sebesar menambang emas untuk mengimbangi kebutuhan hidup yang juga tinggi. Inilah dilema yang dihadapi warga di sekitar Sungai Barito. (Prasetyo Eko P)