Kompas/Amir Sodikin

Aktifitas Pagi warga rumah lanting atau rumah terapung di Desa Tumbang Topus Kecamatan Sumber Barito Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah. Hingga kini rumah lanting di hulu SUngai Barito masih lestari.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Rumah Lanting Kini Terancam Punah

·sekitar 2 menit baca

RUMAH LANTING KINI TERANCAM PUNAH

Puruk Cahu, Kompas

Tim Ekspedisi Barito-Muller- Mahakam menemukan keberadaan rumah lanting di sepanjang Sungai Barito di Kalimantan Tengah terancam punah. Pasalnya, bahan kayu log yang selama ini digunakan untuk pembangunan rumah maupun perbaikannya sudah semakin sulit didapat.

Antropolog dari Universitas Mulawarman, Banjarmasin, Setia Budi, Sabtu (18/6), mengatakan, rumah lanting merupakan rumah adat suku Dayak Bakumpai yang tinggal di bagian muara sungai. “Akan tetapi, karena persaingan di bagian muara sungai semakin ketat, warga akhirnya berpindah ke bagian hulu sungai,” katanya.

Sulitnya mendapatkan kayu gelondongan saat ini disebabkan oleh sudah banyak hutan yang rusak akibat kegiatan penebangan hutan secara besar- besaran.

Dari pemantauan tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (BMM), banyak rumah rakit yang berada di sejumlah perkampungan antara Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, hingga Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, yang berjarak sekitar 80 kilometer, sudah rusak.

Banyak kayu pengapung rumah sudah hampir tenggelam, tetapi warga kesulitan menggantinya karena kesulitan mendapatkan kayu gelondongan.

Kayu gelondongan untuk mengapungkan rumah lanting di sungai rata- rata berdiameter sekitar satu meter. Dibutuhkan setidaknya delapan gelondong kayu untuk tiap rumah lanting.

Di sepanjang Sungai Barito pengapung atau rakit rumah lanting biasanya terbuat dari kayu meranti, sedangkan bagian bangunan rumah menggunakan kayu ulin. Rumah lanting tidak terpengaruh banjir karena mengapung di air sehingga bisa menyesuaikan dengan ketinggian air.

Drum bekas

Akibat semakin jarangnya kayu gelondongan, harga pembangunan rumah rakit pun melonjak.

Menurut sejumlah warga, saat ini untuk membangun rumah lanting, berukuran 4 meter x 6 meter, menghabiskan dana setidaknya Rp 40 juta. Akibat sulitnya mendapatkan kayu gelondongan, beberapa warga mengganti rakit rumah lanting dengan menggunakan drum bekas atau rakit dari bambu.

Sejumlah warga bahkan akhirnya tidak lagi meninggali rumah lanting mereka dan memilih berpindah ke darat. Akibatnya, saat Sungai Barito meluap mereka terkena banjir, seperti yang terjadi pada bulan April dan Mei lalu.

Selain sebagai tempat tinggal, rumah rakit juga banyak digunakan untuk kegiatan ekonomi. Salah satunya adalah dengan menyewakannya untuk digunakan sebagai tempat berdagang. Sejumlah warga yang masih memiliki rumah lanting menyewakannya dengan tarif sewa sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per bulan untuk ukuran 3 meter x 3 meter.

Lalu lintas di Sungai Barito masih cukup ramai sehingga banyak terdapat warung makan, tempat penjualan bahan bakar bagi kapal, dan penjualan suku cadang kapal.

Jarak yang cukup jauh, misalnya dari Banjarmasin hingga Muara Teweh sekitar 400 kilometer, membuat banyak terdapat rumah makan atau depot penjualan BBM di atas rumah lanting di sepanjang jalur tersebut.

Sungai Barito masih merupakan jalur transportasi utama bagi warga yang tinggal di sepanjang tepi sungai yang panjangnya sekitar 680 kilometer ini.

Pasalnya, jalur transportasi darat di kawasan ini masih sangat minim dan jalur yang sudah ada rusak parah sehingga warga lebih memilih jalur sungai. (Ty Harijono/Tim Ekspedisi)

Artikel Lainnya