Jalan sepanjang 260,7 kilometer di wilayah selatan Jawa Barat yang dibangun sejak tahun 1970-an hingga kini belum memiliki status sebagai jalan kabupaten, provinsi, atau jalan nasional. Karena tak ada penanggung jawab, kerusakan jalan tak terhindarkan.
Kondisi itu mengganggu mobilitas barang dan manusia dari dan ke wilayah selatan Jabar. Ruas jalan belum berstatus itu tersebar di beberapa ruas, mulai dari Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, hingga Surade, Kabupaten Sukabumi. Jalan tersebut telah beraspal dengan lebar 3 meter sampai 4 meter.
Namun, aspalnya mulai terkelupas. Bahkan, ribuan titik jalan rusak parah berbentuk kubangan. Mobil dan truk sering terjebak di kubangan itu.
Wandi (32), warga Desa Tegalsari, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Kamis (7/5) mengatakan, buruknya kondisi jalan membuat masyarakat sulit bepergian ke kota untuk memasarkan hasil bumi dan memeriksakan kesehatan. Angkutan umum jarang melayani rute menuju Sindangbarang karena risiko kerusakan tinggi.
“Hasil bumi masyarakat baru terjual kalau ada pengepul yang datang membeli. Tapi, harga di tingkat petani sangat murah. Kelapa hanya Rp 700 per butir, padahal di Bogor harga kelapa Rp 1.500 per butir,” kata Wandi.
Para ibu hamil atau hendak bersalin memilih menggunakan jasa dukun daripada mendatangi rumah sakit atau puskesmas. “Naik ojek atau truk tidak nyaman karena harus melewati jalan rusak,” kata Tajudin (45), warga Desa Sukamana, Kecamatan Kalibunder, Kabupaten Cianjur.
Direktur Bina Teknik Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Danis Sumadilaga, dua pekan lalu di Bandung, mengakui, kondisi jalan lintas selatan Jabar memprihatinkan dan masih jauh dari harapan. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyatakan, lebar badan jalan minimal 5,5 meter. Adapun lebar jalan selatan Jabar maksimal hanya 4,5 meter.
Jadikan jalan negara
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, pihaknya meminta pemerintah pusat segera meningkatkan status seluruh jalan lintas selatan Jabar menjadi jalan nasional. Peningkatan tersebut akan memajukan perekonomian daerah setempat yang sangat lambat dibandingkan wilayah Jabar utara. “Sumber daya alam di selatan Jabar sangat potensial dikembangkan. Dengan kondisi jalan yang memadai, perekonomian setempat akan bergerak naik,” katanya.
Panjang jalan di lintas selatan Jabar 422,7 kilometer. Hanya 44 kilometer berstatus jalan nasional dan 118 kilometer berstatus jalan provinsi. Sisanya, 260,7 kilometer, belum berstatus.
Di sepanjang pantai selatan terdapat banyak instalasi negara yang strategis. Instalasi itu, misalnya, Stasiun Peluncuran Roket, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, perkebunan karet Miramare di Kabupaten Garut, serta Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi. (BAY/JAN)
Potensi Kelapa: Pembuat Gula Butuh Infrastruktur Jalan
Potensi produksi gula merah di pesisir selatan Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat, sangat besar. Meski demikian, sebagian besar pembuat gula saat ini belum sejahtera akibat terjerat utang, ketergantungan pemasaran, dan buruknya infrastruktur jalan.
Untuk membantu mereka, salah satu cara yang bisa segera dilaksanakan adalah meningkatkan mutu infrastruktur jalan. Cara ini akan mempermudah mobilitas pelaku usaha, mengurangi ongkos transportasi, serta meningkatkan harga jual gula di tingkat produsen terkecil yang tersebar di desa-desa.
Data Dinas Perkebunan Jawa Barat 2008 menunjukkan, Kabupaten Cianjur memiliki luas kebun kelapa 8.422 hektar, sedangkan Kabupaten Sukabumi 11.247 hektar. Selain dibuat menjadi gula merah, kelapa dari kedua wilayah itu juga diproses menjadi kopra dengan produksi 6.210 ton pada tahun 2008.
Elih (40), pembuat gula di Desa Sinarlaut, Kecamatan Bojongterong, Kabupaten Cianjur, menceritakan, beberapa waktu lalu, dia terpaksa menjual gula kepada tengkulak karena akses ke toko atau pasar tradisional terbatas.
“Saya juga masih harus melunasi Rp 10 juta, dari Rp 14 juta yang saya pinjam dari bandar gula tahun 2006. Saya tidak tahu kapan bisa melunasinya,” keluh Elih, seraya mengatakan, pinjaman itu dibelikan sepeda motor untuk anak tunggalnya.
Sobari (45), juga produsen gula di Cianjur, mengeluhkan buruknya infrastruktur jalan. Hal itu membuat dia harus mengeluarkan biaya transportasi yang besar untuk memasarkan gula.
Sementara itu, Deni (40), pengusaha gula di Desa Pasiripis, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, mengungkapkan, besarnya ketergantungan produsen gula di daerahnya kepada tengkulak karena infrastruktur jalan yang buruk. (MKN/ADH/HRD)