KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pasangan Ropidin (kanan) dan Hanifah menunggu jemputan truk pengangkut hasil bumi di depan rumahnya di Desa Jatisari, Kecamatan Sindangkerta, Cianjur, Jawa Barat, Kamis (7/5). Sebagai pengepul penjualan hasil bumi untuk dikirimkan ke Cisarua, Bogor, mereka hanya memperoleh keuntungan Rp 100 dari setiap kilogram hasil bumi yang dijual kepada pengepul besar.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan Jawa 2009: Pengepul, Penggerak Ekonomi Selatan Jawa Barat

·sekitar 3 menit baca

Tangan kiri Nyonya Anipa (39) memegang kalkulator. Tangan kanannya menekan angka pada alat penghitung itu. Ia kemudian menyerahkan uang kepada petani yang baru menjual dua tandan pisang kepadanya.

Setelah itu, datang seorang ibu setengah baya menjual kacang tanah. Komoditas tersebut langsung ditimbang, lalu uang dibayarkan.

Aktivitas transaksi itu terjadi beberapa kali pada Kamis (7/5) pagi di Desa Jatisari, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Nyonya Anipa adalah seorang pengepul hasil bumi di desa itu. Pekerjaan ini dilakukan bersama suaminya, Ropidin (53).

“Kami hanya pengepul perantara. Hasil bumi yang kami beli nantinya dijual kepada pengepul dari Bogor dan kota lain. Mereka datang dua kali dalam seminggu,” kata Anipa.

Hasil bumi yang ditransaksikan antara lain kelapa, pisang, dan kacang tanah. Pisang dibeli Nyonya Anipa dari para petani setempat seharga Rp 700 per kilogram. Hasil pertanian tersebut lalu dijual kepada pengepul besar dari kota dengan harga Rp 800 per kilogram. Kelapa dibeli seharga Rp 700 per butir dan dijual Rp 800 per butir. Adapun kacang tanah dibeli dari petani seharga Rp 5.200 per kilogram dan dijual seharga Rp 5.300 per kilogram.

“Meski harga di tingkat petani sangat murah, kami sangat terbantu dengan adanya pengepul. Dengan kondisi jalan di lintas selatan rusak berat, mereka rela datang ke desa untuk membeli hasil bumi. Angkutan umum dari kota jarang melayani rute hingga ke desa. Kalaupun ada angkutan, ongkosnya lebih mahal dari uang yang kami dapat dari penjualan hasil bumi,” kata Jajam (35), petani di Desa Jatisari.

Dalam memasarkan hasil bumi di selatan Jabar, para pengepul lokal menjalin kerja sama dengan para pengepul besar dari kota. Setiap tiga hari sekali pengepul besar datang ke desa untuk membeli hasil bumi dari pengepul lokal.

Dayat (45), pengepul besar yang tinggal di Bogor, menuturkan, hasil bumi yang dibeli di Sindangbarang ia jual di Pasar Cisarua. Begitu tiba di pasar itu, hasil bumi langsung diambil para bandar.

“Kami sudah ada kerja sama sehingga semua barang yang dibawa dari desa-desa laku terjual,” kata Dayat.

Untuk berburu hasil bumi, Dayat menyewa truk yang berangkat dari Bogor pada pukul 19.00 dan tiba di Sindangbarang esok harinya pukul 04.00.

Sepanjang hari ia membeli hasil bumi dari para pengepul lokal. Ia pulang pukul 19.00 dengan mengangkut sekitar 4,5 ton hasil bumi dan tiba di Pasar Cisarua pukul 04.00.

Di Pasar Cisarua, komoditas itu langsung diambil para bandar. Kelapa dijual seharga Rp 1.400 per butir dan pisang Rp 1.500 per kilogram. Dari bandar pasar, hasil bumi itu dijual kepada pengecer. Di tingkat pengecer, harga kelapa menjadi Rp 2.000-Rp 2.500 per butir.

“Melihat harga di tingkat bandar atau pengecer, kami pasti dinilai meraih untung besar, tetapi sebetulnya tidak seperti itu. Kami menanggung ongkos angkut yang mahal dari desa ke kota minimal Rp 750.000 sekali jalan serta risiko kerusakan kendaraan yang melewati jalan yang rusak berat. Belum lagi ongkos buruh yang menaikkan dan menurunkan barang,” kata Dayat yang mengaku sudah 20 tahun menjadi pengepul di wilayah selatan Jabar.

Picu kemiskinan

Maraknya pengepul disertai panjangnya mata rantai pemasaran hasil bumi petani dari selatan Jawa Barat merupakan akibat dari buruknya infrastruktur di wilayah tersebut. Meski sebagian besar ruas jalan sudah beraspal, kondisi aspal mulai terkelupas.

Kerusakan terparah terjadi pada ruas antara lain Caringin (Kabupaten Garut)-Cidaun (Kabupaten Cianjur) sejauh 8 kilometer, Sindangbarang-Bojong Kaso (Cianjur) 42 kilometer, Agrabinta-Bojong Terong (Cianjur) sepanjang 7 kilometer, dan Surade-Simpenen (Kabupaten Sukabumi) 50 kilometer.

Di sepanjang ruas tersebut, jalan berbentuk kubangan bercampur lumpur. Sering kali mobil dan truk yang melewati jalan tersebut terjebak di dalam kubangan.

Selain itu, ruas jalan tertentu di jalur selatan Jabar juga menanjak, menurun, dan berkelok tajam sehingga kendaraan yang melewati harus benar-benar dalam kondisi prima.

“Buruknya kondisi jalan membuat kami tidak gampang mendapatkan truk untuk disewa mengangkut hasil bumi dari daerah selatan Jawa Barat. Banyak pemilik kendaraan keberatan karena risiko kerusakan sangat tinggi,” ungkap Dayat.

Harus diakui buruknya kondisi jalan telah memiskinkan masyarakat di lintas selatan Jabar. Padahal, kawasan itu merupakan sentra penghasil pisang, padi, kacang tanah, kelapa, karet, dan perikanan. Banyak komoditas dari wilayah itu menguasai pasar di Bogor, Bandung, Depok, dan kota lain di Jabar serta Jakarta.

Akan tetapi, demi mendapatkan uang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari serta biaya sekolah dan pakaian seragam anak, para petani harus rela menjual hasil bumi dengan harga murah. Jerih payah mereka seolah tidak berarti. (DWI BAYU RADIUS)

Artikel Lainnya