Liputan Kompas Nasional

Infrastruktur DI Yogyakarta: Arogansi Hambat Percepatan Pengembangan Kawasan

·sekitar 4 menit baca

Menyusuri kawasan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya tidak ada hambatan yang berarti. Jalan penghubung tiga kabupaten yang berada di provinsi tersebut, Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo, sudah dapat dilalui kendaraan dengan lancar. Kawasan tersebut relatif sudah terbuka.

Perjalan dari Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, yang berada paling ujung timur Gunung Kidul, kendaraan dapat leluasa menjangkau setiap lokasi pantai. Dari pantai Krokoh, Songbanyu menuju ke Pelabuhan Ikan Sadeng yang kini ramai dapat dilalui motor atau angkutan roda empat. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Jalan penghubung antara satu desa dan desa yang lain di kawasan selatan DIY lebih merupakan jalan tradisi yang sudah ada sejak masyarakat berdiam di sekitarnya. Kebanyakan jalan tersebut merupakan swadaya masyarakat yang kemudian diperbaiki dan diperlebar oleh pemerintah daerah.

Karena tak ada perencanaan yang menyatukan satu daerah dengan daerah yang lain, jalan penghubung itu kadang menjadi tidak ekonomis. Di Songbanyu, jika harus menuju pantai Krokoh yang berjarak enam kilometer, misalnya, akan lebih lancar jika melalui jalan aspal yang dimiliki Jawa Tengah.

Kendaraan bisa saja melalui jalan langsung ke Krokoh yang lebih pendek, tetapi sempit dan belum diaspal, bahkan pada satu titik harus berhenti. Jalan buntu yang tak bisa dilalui kendaraan sekitar satu kilometer.

Jalan penghubung antarkecamatan di seluruh kawasan selatan DIY relatif sudah beraspal. Umumnya mempunyai lebar tujuh meter dan berliku-liku, jarak tempuh menjadi terlalu panjang, banyak diwarnai kelokan dan kontur yang bergelombang tinggi.

Ini semua mengakibatkan perjalanan menjadi tidak efisien. Semisal truk tronton dari Cilacap, Jateng, hendak ke Pacitan, Jawa Timur, ia harus lewat jalur selatan Jawa. Sesudah perbatasan Purworejo yang kini mempunyai jalan lebar dua kali tujuh meter, truk akan memasuki Congot, DIY.

Sopir truk mungkin hanya sedikit terkejut karena jalan tiba-tiba menyempit walaupun tetap beraspal halus dan rata. Dengan sedikit menempuh waktu karena jalan berliku, truk melalui Srandakan-Pandasimo-Parangtritis sepanjang 24 kilometer. Ketika melanjutkan perjalanan ke Gunung Kidul, truk harus memutar masuk ke Kota Yogyakarta. Ini karena jalan Parangtritis-Baron (dan kemudian ke Pacitan) terhambat tanjakan tinggi.

Saat ini, kendala transportasi di kawasan selatan DIY, terutama jalan yang sempit, berkelok-kelok dan banyak tanjakan serta jembatan yang masih sedikit. Pembangunan jalan lintas selatan DIY sepanjang 122 kilometer bertujuan supaya semua kendala tersebut dapat diatasi.

Sampai April yang lalu, jalan lintas selatan yang sudah bisa diselesaikan sekitar 18 kilometer (14,75 persen). Masih lebih dari 100 kilometer yang sebagian membentang di Gunung Kidul belum tertangani.

Dari segi kemanfaatan, penduduk sekitar jalan lintas selatan memperoleh peningkatan berbagai rupa pendapatan baru. Di ruas Giricahyo-Tlogowarak yang terletak di perbatasan Parangtritis, Bantul, dengan Gunung Kidul, masyarakat yang membuka kios mengakui terjadi peningkatan omzet.

Sebagian dari mereka mengatakan, rumah atau tanah berkurang tidak masalah. Selain dapat ganti rugi yang lumayan, mereka juga dapat mempunyai usaha baru dengan berjualan di pinggir jalan lintas tersebut.

Tetapi, tidak semua berjalan mulus. Dari tiga kabupaten yang dilewati jalan lintas selatan, Bantul sama sekali belum memulai kegiatan. Kulon Progo pada tahun ini sudah mendapat dana pembebasan lahan senilai Rp 3 miliar dari Pemerintah Provinsi DIY. Di Gunung Kidul pelebaran jalan sudah dimulai sejak tahun lalu.

Gunung Kidul merupakan kabupaten yang paling bersemangat membangun infrastruktur kawasan selatan. Sekitar 80 persen panjang jalan lintas selatan berada di kabupaten penghasil gaplek itu.

Banyak yang bisa diharapkan dengan adanya proyek itu. Pembangunan jalan itu tak hanya menerobos daerah yang selama ini terpencil, sulit diakses kendaraan besar. Nelayan dan petani yang selama ini harus memakai tangan kedua untuk memasarkan produknya sebentar lagi akan bisa langsung berhubungan dengan pembeli di kota, bahkan menjangkau pedagang luar negeri dengan lebih mudah.

Ganti rugi

Bagi Gunung Kidul, dengan terbukanya jalan baru yang lebih baik, persoalan kekeringan yang selama ini melanda di daerah selatan juga semakin teratasi. Paling tidak, air menjadi makin gampang dinikmati penduduk dengan harga yang lebih terjangkau karena jaringan transportasi makin baik.

Catatan besar yang dikemukakan tiga bupati yang dilewati jalan lintas selatan itu hampir sama. Mereka mengungkapkan, dari hari ke hari, ganti rugi untuk pembebasan lahan jalan makin naik.

Bupati Gunung Kidul Suharto mempunyai pengalaman menarik. Biasanya, ia mampu menekan harga lahan yang hendak dijadikan jalan umum seandainya sejak awal pihaknya dilibatkan dalam negosiasi dengan penduduk. Warga umumnya akan memahami penjelasan pemerintah kabupaten.

Toyo S Dipo ketika ditemui di kantornya mengemukakan pengalaman pembangunan Jembatan Temon, Kulon Progo. Proyek pembangunan jembatan umumnya dikerjakan pemerintah pusat tanpa konsultasi dengan pemerintah daerah. Saat penentuan harga ganti rugi tanah, penduduk meminta harga tinggi di luar pasaran. Akibatnya, ketika pembebasan dilanjutkan untuk pembangunan jalan, penduduk menentukan harga yang makin tinggi kendati sudah didekati aparat kabupaten.

Bahkan, yang lebih ironis pengalaman Bupati Bantul Idham Samawi. Ia tak tahu perkembangan harga lahan di daerah yang membubung tinggi karena warga sudah mendengar proyek itu. Idham merasa tidak pernah dilibatkan dalam rencana pembangunan jalan lintas selatan. Padahal, ada tiga kecamatan di wilayahnya yang dilewati jalan lintas selatan itu.

Pembebasan lahan dan soal ganti rugi merupakan urusan pelik. Apalagi jika menyangkut lahan produktif atau bangunan ekonomi, seperti warung dan penginapan. Untuk masalah ini, pemkab mutlak dilibatkan dalam negosiasi dengan penduduknya. Mereka tahu karakter warganya sehingga perundingan bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Sebagian besar dana pembangunan jalan dan jembatan memang berasal dari pemerintah pusat. Tetapi, hal ini seyogianya tidak membuat mereka menjadi arogan dan mengabaikan pemkab. Pembangunan kawasan selatan pasti akan menjadi lebih lancar dan efisien jika ada komunikasi dialogis antara pusat dan daerah.

Artikel Lainnya