KOMPAS/NASRU ALAM AZIZ

Salah satu ruas jalan di jalur selatan Jawa Timur yang sedang dibangun di Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Pacitan. Gambar dibuat saat Tim Ekspedisi Susur Selatan Jawa 2009 melintasi jalur ini, 29 April 2009.

Liputan Kompas Nasional

Infrastruktur Jawa Timur: Asal Bisa Lewat di Lintas Selatan…

·sekitar 3 menit baca

Tahun 2007, warga Desa Widoro, Kecamatan Donorejo, di pesisir selatan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, sepakat membuka jalan secara swadaya. Mereka memanfaatkan batu-batu koral dan bekerja bergotong royong. Dalam dua tahun terbangun tiga ruas jalan di desa itu.

angan membayangkan jalan beraspal yang mulus. Mereka hanya mampu membuat jalan berbatu (makadam), namun menjadi jalan bagi peningkatan kesejahteraan warga setempat. Ketiga jalan itu merupakan akses ke pantai dan perkebunan rakyat, yakni menuju Pantai Buyutan (1.850 meter), Pantai Banyutibo (1.050 meter), dan Pantai Polengsari (1.300 meter).

Selain menghidupkan tiga obyek wisata pantai yang juga dikelola secara swadaya, jalan itu membuka jalur perdagangan hasil kebun warga, seperti kacang kedelai, singkong, dan rumput laut. Produksi rumput laut di desa ini pernah mencapai 10 ton per bulan, namun karena jalur perdagangan tidak terbuka, produksinya merosot tajam menjadi hanya 8 kuintal per bulan.

“Kalau jalannya bagus, pedagang pasti datang ke desa kami. Hasil kebun dan hasil laut bisa dijual sampai ke Wonogiri atau Solo,” kata Wagino, warga Widoro.

Inisiatif warga desa yang mayoritas bekerja sebagai petani sekaligus nelayan itu boleh dibilang sebagai keinginan untuk bangkit dari penantian panjang akan infrastruktur jalan yang memadai. Mereka lelah menunggu uluran tangan pemerintah yang hanya mampu mengaspal jalan sepanjang 2 kilometer (km) di desa itu dalam dua tahun.

Tidak mudah

Membuka jalan memang bukan perkara mudah bagi pemerintah. Bahkan, proyek pembangunan jalan lintas selatan (JLS) di Jatim dari Banyuwangi hingga Pacitan ibarat jalan di tempat. Sejak dicetuskan tahun 2002, jalan yang sudah diaspal dan layak dilalui kendaraan berat baru 41 km.

Sepertiga dari panjang total 30 km ruas Sendang Biru-Balekambang, Kabupaten Malang, sudah diaspal dan selebar 6 meter sesuai syarat minimum yang ditetapkan. Adapun 30 km lainnya yang masih dalam pembangunan terdapat di ruas Hadiwarno-Sidomulyo-Pacitan. Itu pun masih ada beberapa titik yang sama sekali baru dibuka dan belum tembus sehingga harus melalui jalan lama.

Sejak awal, pembangunan JLS Jatim menghadapi dua kendala utama, yakni keterbatasan dana dan pemakaian lahan milik Perhutani. Dari total bentangan JLS sepanjang 618,8 km, sekitar 42,40 persen (265,82 km) di antaranya melewati lahan Perhutani.

“Semua persyaratan administrasi pengajuan pinjam pakai telah dilengkapi, tetapi izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan belum juga turun,” ungkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek JLS Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jatim Joko Purwanto.

Keterbatasan dana membuat proyek JLS menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jatim. Mereka diharapkan menyisihkan sebagian APBN maupun APBD.

Sayangnya, dana yang diberikan secara bertahap ini tidak bisa mengalir deras. Boleh dibilang, aliran dana justru kian melamban. Akibatnya, pembangunan JLS yang pada tahun 2002 diperkirakan menelan biaya Rp 3,197 triliun, pada tahun 2009 membengkak menjadi Rp 7,5 triliun.

Sejak 2002 hingga 2008, biaya pembangunan JLS Jatim mencapai Rp 561,457 miliar, atau rata-rata Rp 80,2 miliar per tahun. Sebagai perbandingan, ruas Hadiwarno-Pacitan (30 km) di Kabupaten Pacitan pada tahun 2008-2009 menghabiskan biaya Rp 315 miliar atau Rp 10,5 miliar per km. Dengan sisa JLS sepanjang 588,8 km, sedikitnya butuh waktu 20 tahun untuk menyelesaikannya.

Dengan keterbatasan itu, tak banyak yang bisa dilakukan mayoritas PPK di Jatim. Kendati pembebasan lahan sudah selesai,mereka tak bisa melanjutkan pekerjaan karena pembukaan lahan hingga pengaspalan jalan membutuhkan biaya. Menurut PPK JLS Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jember Djuwarto, para pekerja sedang menyelesaikan pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Bedadung di Kecamatan Puger, Jember. “Dengan belum adanya dana, hanya itu yang bisa kami lakukan saat ini,” ungkapnya.

Menyiasati minimnya dana, pembangunan JLS Jatim dilakukan dengan prinsip “asal lewat saja” (ALS). Artinya, yang penting jalan sudah dibuka dan bisa dilalui kendaraan atau dengan pengerasan biasa tanpa aspal. Ya, seperti yang dibuat secara swadaya oleh warga Desa Widoro.

Berbagai kendala tersebut memang berpotensi memperlambat proses pengentasan wilayah selatan dari citra tertinggal dan terbelakang. Kendati demikian, tidak semua elemen masyarakat menatap segala keterbatasan ini dengan pesimisme, seperti ditunjukkan warga Desa Widoro tadi.

Di daerah Trenggalek dan Pacitan, napas antusiasme warga juga berembus cukup kencang. Banyak warga di sepanjang ruas Panggul (Trenggalek)-Sudimoro (Pacitan) memberikan tanahnya dengan cuma-cuma untuk mendukung pembangunan JLS. Kerelaan itu membuat kondisi jalan tampak lebih ideal. Jalan selebar enam meter itu akhirnya bisa dilengkapi saluran air selebar satu meter pada sisi kanan dan kiri.

Warga sangat antusias menyambut JLS karena yakin bahwa infrastruktur yang lebih baik bisa memperbaiki taraf kehidupan mereka. (NIK/APA)

Artikel Lainnya