Perahu kecil yang ditumpangi Sadili (42) sedikit oleng saat merapat di muara Sungai Cisokan, Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur, karena kelebihan muatan pisang. Dengan sigap Sadili melompat dan mendorong perahu ke tepi sungai.
Sadili kemudian membongkar muatan dan mengangkut ke atas sungai. “Harus diangkut lewat sungai karena jalan ke kampung tidak bisa dilalui kalau hujan. Mobil atau sepeda motor pasti selip,” kata Sadili.
Untuk menuju perkampungan terjauh dari muara Sungai Cisokan, menurut Sadili, butuh waktu sedikitnya dua jam. Moda angkutan air menjadi pilihan warga ketika infrastruktur jalan raya tidak memadai. Padahal, desa-desa di pedalaman, seperti Desa Sukamanah, Cikarang, Karangsari, dan Sinar Laut, potensial menghasilkan produk pertanian, seperti pisang, kelapa, serta produk olahan seperti gula merah.
Uji (50), pedagang kelapa dan pisang, biasa memanfaatkan jalur laut untuk mengangkut 2 ton kelapa per minggu. Biaya untuk mengangkut kelapa Rp 100 per kg. Tetapi jalur laut hanya lancar saat air laut pasang, yakni pagi dan sore hari. Selain waktu itu, perahu bisa kandas.
Jalur laut juga menjadi alternatif murah bagi para pedagang Muara Cikaso, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, yang hendak membawa hasil bumi ke daerah hulu, yaitu Kecamatan Cibitung, dan sebaliknya. Meski jalan sepanjang Tegalbuleud hingga Cikaso sudah terbangun, pedagang memilih mengangkut gula, beras, dan hasil bumi menggunakan perahu. Alasannya, rumah mereka lebih dekat ke laut.
“Kalau membawa sekitar 1 ton beras, saya menyiapkan uang Rp 100.000 sekali angkut,” kata Lilik (45). Tarif ini lebih kompetitif karena ongkos angkut dengan menyewa truk atau mobil boks Rp 150.000 sekali jalan.
Jalan lintas selatan yang menghubungkan antarkota di wilayah selatan Jawa ternyata belum mampu memberikan akses lalu lintas yang murah bagi warga di pedalaman. Angkutan laut dengan segala kekurangannya masih menjadi pilihan warga. (AHA/NIT)
Kesejahteraan: Nelayan Minajaya Terjerat Utang kepada Tengkulak
Sebagian nelayan pantai selatan belum sejahtera. Mereka harus menjual hasil tangkapan kepada tengkulak dengan harga yang sudah ditetapkan. Ketiadaan dermaga juga membatasi ruang gerak mereka dalam mencari ikan.
Asep, nelayan Minajaya Pasir Ipis, Kecamatan Surade, Sukabumi, Kamis (7/5), mengatakan, penghasilan nelayan belum bisa diandalkan. Sekali melaut, mereka bisa membawa pulang uang Rp 200.000, tetapi kadang tidak membawa uang sama sekali.
Pada bulan-bulan seperti ini, menurut Asep, penghasilan nelayan turun drastis, kadang hanya Rp 25.000 per hari karena tangkapan sedikit. Meski tersedia tempat pelelangan ikan, nelayan sering tidak menjual dengan sistem lelang. Sejumlah tengkulak biasanya sudah menunggu para nelayan yang melaut dengan mengandalkan utang dari mereka.
Nelayan lain di Minajaya, Anton Zaelani (25), mengatakan, sebagian besar nelayan tak memiliki modal untuk melaut sehingga tak ada pilihan selain meminjam kepada tengkulak yang akan membeli hasil tangkapan mereka.
Kebiasaan berutang itu menjerat para nelayan. Penyebabnya, tak setiap hari mereka mampu mengangsur kepada tengkulak, yaitu jika tak mendapat ikan.
Di Minajaya, tiap hari tak kurang dari 100 perahu merapat. Pantai berkarang tanpa dermaga itu membuat gerak nelayan terbatas.
“Sejak tahun 1990-an kami mendengar ada rencana pembangunan dermaga, namun sampai saat ini belum juga terealisasi,” kata Asep.
Dudung, penyetor lobster untuk ekspor, menyatakan, potensi laut selatan belum dimanfaatkan maksimal karena keterbatasan infrastruktur. (NIT/AHA)