Badak bercula satu di Taman Nasional Ujung Kulon yang saat ini diperkirakan berjumlah 60 ekor terancam punah. Itu terjadi karena 75 persen dari jumlah badak itu adalah pejantan.
“Komposisi ideal populasi badak bercula satu adalah 75 persen betina dan 25 persen jantan sehingga memudahkan terjadinya pembiakan hewan langka tersebut. Kalau jumlah jantan lebih banyak dari betina, kita hanya menunggu waktu terjadinya kepunahan,” kata Rhino Monitoring Officer WWF Indonesia Ridwan Setiawan, Sabtu (9/5) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Keberhasilan konservasi badak bercula satu, kata Ridwan, perlu didukung jumlah betina yang banyak. Ini karena masa suburnya pendek. “Masa subur badak bercula satu hanya dari bulan Juni hingga Oktober. Dengan jumlah betina lebih sedikit, potensi keberhasilan perkawinan makin kecil karena tidak selalu terjadi pertemuan antara badak jantan dan betina,” kata Ridwan.
Tahun ini, ada lima bayi badak baru yang semuanya jantan. “Kalau 20 tahun ke depan semua bayi badak adalah jantan, kepunahan tinggal menunggu waktu,” kata Ridwan.
Hal itu ditambah umur maksimal badak hanya 60 tahun. Diperkirakan, kepunahan badak bercula satu akan terjadi 80 tahun mendatang jika tiap bayi badak adalah pejantan.
Ridwan menyatakan, harus ada penelitian khusus ahli badak untuk mencari tahu mengapa beberapa tahun belakangan ini bayi badak yang lahir selalu jantan.
Menurut Ridwan, baru satu ahli dari Institut Pertanian Bogor peduli terhadap kelangsungan hidup badak bercula satu itu.
Ridwan yang menjadi relawan di Ujung Kulon sejak tahun 1992 menemukan indikasi adanya sejumlah tanaman yang beracun bagi badak bercula satu sehingga berpengaruh terhadap pembentukan hormon. Saat ini, sedang diupayakan kawasan khusus yang memiliki tumbuhan yang cocok bagi badak bercula satu sehingga dapat meningkatkan kelahiran badak betina.
Kepala Resor Pulau Handeuleum, Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Firmansyah mengatakan, petugas sudah berupaya menjaga keamanan badak bercula satu dari para pemburu.
“Sekarang kita menghadapi persoalan komposisi jenis kelamin dan belum ada solusi yang dianggap paling tepat,” kata Firmansyah. Terkait soal makanan, TN Ujung Kulon dan WWF Indonesia sedang merintis pembukaan lahan untuk tanaman yang sehat bagi badak.
Selain persoalan komposisi jenis kelamin, konservasi badak bercula satu di Ujung Kulon juga menghadapi tekanan dari luar taman nasional. “Masih sering ditemukan warga yang memburu badak karena ingin mengambil culanya,” kata Firmansyah. (AHA/BAY/JAN)