Marthen Rumbewas memperbaiki posisi ransel yang menggelayut di pundaknya. Dengan wajah berseri-seri, dia turun dari angkutan kota yang ditumpanginya dari Abepura, Kota Jayapura, Papua.
Seorang tukang ojek menyapanya, “Mo ke kampus kah?” Marthen mengangguk. Sesaat kemudian, pemuda 20 tahun itu sudah duduk di jok sepeda motor yang dikendarai tukang ojek berhelm kuning. Suara mesin sepeda motor meraung-raung menyusuri tanjakan ke arah Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura.
Seperti juga rekan-rekannya sesama mahasiswa Uncen, Marthen menaruh harapan untuk bisa menimba ilmu di kampus kebanggaan masyarakat Papua yang sudah ada sejak tahun 1962. Di samping itu, putra asal Merauke ini juga ingin menyandang peran dan status sebagai agen perubahan sosial, sebuah peran yang selama ini dielu-elukan masyarakat, termasuk orangtuanya di kampung.
Impian Marthen adalah hal yang sangat ideal. Namun, fakta menunjukkan, betapa sulitnya menimba ilmu dan mengembangkan wawasan di tengah belum tumbuhnya kultur akademik di almamater tersebut.
“Bagemana tong bisa menyerap ilmu dengan utuh kalau dosen hanya bisa memenuhi separuh dari jadwal kuliah,” kata Ubaldus Mawo, mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Uncen, yang diiyakan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP Muliadi Anangkota.
“Kalaupun dosennya datang, bahan ajar pun sudah usang. Nyaris tidak ada teori terbaru yang disampaikan karena tidak sedikit dosen yang justru sibuk mencari tambahan penghasilan di luar kampus, baik sebagai peneliti pesanan dari instansi lain atau aktif di LSM,” kata Amijaya, mahasiswa Fakultas Ekonomi, menambahkan.
Ketika tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 berkunjung ke Kampus Uncen di Kawasan Waena, pekan lalu, para mahasiswa di hampir semua fakultas lebih banyak asyik duduk ngerumpi seraya memainkan tombol-tombol telepon seluler untuk mengirim pesan singkat (SMS) ketimbang membahas soal-soal akademik atau wacana yang sedang marak.
Minimalis
Para aktivis mahasiswa Uncen berpendapat, dengan lemahnya kultur akademik yang antara lain disebabkan keterbatasan sarana dan tenaga pengajar, mahasiswa jadi minimalis. Dari sekitar 12.000 total mahasiswa di perguruan tinggi negeri itu, diperkirakan 80 persen terjebak pada rutinitas kuliah. Hanya 20 persen yang terpanggil untuk aktif pada lembaga kemahasiswaan dan giat mengembangkan wacana kritis.
Berharap pada kemajuan teknologi informasi untuk pengembangan wawasan, mahasiswa pun pada umumnya hanya mencari bahan di internet dengan sangat standar sesuai dengan instruksi dosen.
Sudah begitu, bisa jadi karena posisi kampus yang berada di ujung timur Nusantara atau karena faktor teknis semata, kesempatan bagi mahasiswa Uncen untuk bertukar pikiran dengan sesama mahasiswa dalam forum nasional acap kali terhambat. Tak jarang pertemuan nasional antarmahasiswa sejurusan tidak memungkinkan diikuti secara utuh oleh mereka.
Misalnya, untuk temu mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta atau Solo, undangan dari panitia baru mereka terima sehari menjelang hari “H” acara. Kalaupun kemudian mahasiswa Uncen mampu mengurus anggaran dari birokrasi kampus untuk berangkat, mustahil seluruh rangkaian acara bisa diikuti sempurna.
Masalah di Uncen setali tiga uang dengan perguruan tinggi swasta di Papua. “Kalau rekan-rekan kami perguruan tinggi negeri saja menghadapi hal seperti itu, apalagi kami yang di swasta,” papar Syaifuddin Songyanan, aktivis pers mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Muhammadiyah Jayapura.
Rektor Uncen Prof Dr B Kambuaya mengakui sulitnya membangun kultur akademik di kampus itu. Selain keterbatasan sarana dan prasarana, Uncen juga dibelit persoalan yang sangat mendasar, yakni minimnya tenaga pengajar, baik dari segi jumlah maupun kualifikasi.
Kajian antropologi dan sumber daya alam yang merupakan pola ilmiah pokok Uncen tidak didukung jumlah dan kualifikasi tenaga pengajar yang memadai. Jurusan antropologi dalam naungan FISIP, baru punya satu doktor. Di Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA yang merupakan ujung tombak kajian sumber daya alam, baru ada dua doktor.
Berdasarkan data, saat ini staf pengajar Uncen, yang tersebar pada enam fakultas, tercatat 525 orang, 236 orang berkualifikasi S-1, 270 orang berkualifikasi S-2 (magister), dan 19 orang berkualifikasi S- 3 (doktor). Idealnya, kata Kambuaya, untuk mengajar 12.000 mahasiswa yang ada saat ini dibutuhkan tambahan dosen paling kurang 250 orang. “Uncen selalu minta tambahan sebanyak-banyaknya, tetapi formasi yang tersedia tiap tahun paling tinggi 60,” ujarnya.
Kambuaya berharap agar pemerintah memerhatikan target tahun 2010 yang dipancangnya, yakni minimal 30 persen dari 400 dosen Uncen sudah berkualifikasi doktor. Jika target yang dipatok dipenuhi, persoalan klasik soal terbatasnya jumlah dan kualifikasi dosen bisa teratasi.
Kepala Unit Pelayanan Terpadu Perpustakaan Uncen John B Dumatubun pun berharap dan berupaya agar koleksi buku perpustakaan yang saat ini berkisar 60.000-80.000 dilengkapi perangkat e-library, sesuai kemajuan teknologi informasi. Siapa tahu dengan tambahan perangkat itu jumlah mahasiswa pengunjung perpustakaan tak hanya mentok pada rata-rata 300.000 per bulan. “Kami juga berharap anggaran pengadaan buku untuk perpustakaan yang hanya Rp 100 juta (per tahun), sejak tahun 1990-an, ditambah,” ujarnya.
Semangat perdamaian
Di tengah keterbatasan itu, mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Uncen Habelindo Alonso Sawaki tetap menaruh harapan akan membaiknya keadaan, sepanjang mahasiswa mengusung semangat perdamaian. Ia cenderung mengimbau agar ketertinggalan Papua tidak diarahkan pada wacana disintegrasi.
“Mitos menunggu datangnya ‘ratu adil’ yang menolong Papua terbebaskan dari keterbelakangan belum tentu bisa terbukti,” demikian pendapatnya. Apalagi, lanjutnya, kalau sang ratu adil itu ternyata berwujud kapitalis yang melihat manusia Papua dan kekayaan alamnya tak lebih dari angka-angka.