KOMPAS/PRIYOMBODO

Contoh rumah sederhana di Kampung Wet, Tanah Merah, yang dibangun Pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Papua, Senin (20/8). Rumah-rumah itu rencananya akan dibagikan gratis kepada suku asli agar mereka dapat menempati rumah yang layak huni dan tidak terpinggirkan di tanah mereka sendiri.

Liputan Kompas Nasional

Kehidupan di Boven Digoel: Di antara Mandobo, Muyu, dan Auyu

·sekitar 3 menit baca

Boven Digoel memang baru dua tahun berdiri sebagai kabupaten dengan ibu kota Tanah Merah. Namun, penduduk di “kota muda” itu sudah heterogen. Di luar tiga suku besar Papua, yaitu Mandobo, Muyu, dan Auyu, terselip suku-suku asli Papua yang datang dari luar Digoel dan pendatang dari pulau lain.

Para leluhur mewariskan sebagian besar tanah ulayat di Tanah Merah kepada marga-marga suku Mandobo. Kini di sana tercipta para “tuan tanah” yang disebut juga dengan “tuan dusun”. Merekalah tokoh yang berperan besar atas pelepasan tanah-tanah ulayat kepada pendatang untuk bermukim, berusaha, atau untuk keperluan pembangunan daerah.

Jika suku Mandobo menguasai sebagian besar tanah adat di ibu kota kabupaten, orang-orang suku Muyu menduduki mayoritas posisi penting dalam struktur birokrasi Boven Digoel. Dari lebih kurang 1.800 pegawai negeri sipil di Boven Digoel, sekitar 45 persennya dari suku Muyu, sekitar 15 persen dari suku Mandobo, dan sisanya dibagi-bagi, seperti Biak, Asmat, Serui, Maluku, Kei, Toraja, Batak, Aceh, Minahasa, Bugis, Buton, dan Jawa.

Komposisi para pegawai yang lebih dari separuhnya merupakan orang-orang asli Papua tersebut sekaligus menunjukkan bahwa di sanalah sesungguhnya orientasi pekerjaan penduduk asli. Sebaliknya, sejak kabupaten berdiri dua tahun lalu, para pendatang terus membanjir mengisi kekosongan di sektor informal.

Mengunjungi Tanah Merah saat ini seperti menyaksikan metamorfose sebuah kawasan distrik menjadi ibu kota kabupaten. Kios-kios kelontong berisi barang-barang konsumsi, pakaian jadi, alat-alat elektronik, warung makan, hingga telepon seluler berikut aksesorinya.

Dua minimarket sekelas Alfamart dan Indomaret juga ada di pusat keramaian di Jalan Piere Tendean, Distrik Mandobo, meski usianya belum satu tahun. Jarak keduanya sekitar 100 meter saja.

Tak mudah menemukan pemilik kios-kios yang merupakan penduduk asli Papua. Di antara mereka yang mengelola kios kelontong kecil-kecilan adalah seorang “tuan dusun” di kawasan Kampung Wet, Paulus Kaat, dan tetangganya, Fidelis.

Mayoritas penduduk asli Papua yang berdagang, baik yang secara turun-temurun tinggal di Boven Digoel maupun pendatang dari kabupaten lain, menempati kios sederhana atau menggelar dagangannya. Jenis yang dijual pun umumnya lebih sederhana, berupa hasil bumi seperti aneka sayur-mayur dan buah-buahan yang mereka petik dari kebun dan hutan.

Sedangkan para pedagang pendatang biasanya lebih agresif. Mereka secara khusus mendatangkan barang dagangan langsung dari Merauke, Makassar, bahkan Surabaya. Barang dagangan mereka mendominasi kios-kios yang buka hingga pukul 21.00 WIT.

Tempat tinggal penduduk

Kekayaan hasil hutan dan Sungai Digoel merupakan sumber protein warga. Setiap hari, ikan-ikan segar sungai berukuran besar dipasarkan di pasar tradisional yang secara alami terbentuk di tepi Digoel.

Di sana pula penduduk asli Papua yang masih tinggal di kampung-kampung sekitar Tanah Merah menjual daging buruan, seperti daging rusa dan daging babi dengan harga Rp 30.000-Rp 35.000 per kilogram.

Beberapa kali dalam sepekan,penduduk asli Papua membawa kasuari, mambruk, dan maleo, yang berhasil mereka jerat, ke pasar. Pada musim-musim tertentu juga dijual burung cenderawasih, yang umumnya dalam keadaan mati karena ditembak. Unggas buruan itu mereka jual Rp 150.000-Rp 800.000/ekor.

Di Tanah Merah, wilayah seputar pasar yang belum bernama itu merupakan pusat interaksi warga. Di sana pula muda-mudi menghabiskan akhir pekan, sekadar berkumpul dan bercengkerama.

Kawasan tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi dengan keberadaan minimarket dan kios-kios penjual pakaian jadi, alat elektronik, dan compact disk bajakan. Lagu-lagu yang ditembangkan grup-grup band kenamaan di Jakarta atau band lokal diputar kencang hingga malam hari.

Khusus pada hari-hari sekitar peringatan kemerdekaan RI di bulan Agustus seperti sekarang, pusat keramaian berpindah ke lapangan otsus di Jalan Trans Irian KM 1. Hampir sebulan terakhir ini digelar pasar malam yang berisi panggung hiburan.

Setiap malam, kerumunan manusia tua, muda, dan anak-anak memadati lapangan. Pada akhir pekan, pendatang dan penduduk asli yang sebagian bertelanjang kaki mengarahkan langkah ke sana.

Di sana aneka permainan ketangkasan mendominasi keramaian dengan hadiah rokok, minuman ringan, dan alat-alat elektronik, serta sepeda. Kios-kios penjual makanan bisa dihitung dengan jari.

Seluruh kios permainan dikelola para pendatang dan Jamer, sebutan untuk penduduk suku Jawa yang lahir atau besar di Merauke. Sebagian kecil saja penduduk asli Papua yang menjadi operator permainan atau menggelar buah pinang di atas karung plastik dengan penerangan pelita.

Artikel Lainnya