KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY

Mama-mama dari pegunungan dan pantai Papua ini merupakan pedagang di pelataran swalayan Gelael yang ada di Kota Jayapura. Suku-suku di pegunungan dan pantai Papua sudah mengenal sistem perdagangan sejak lama dan juga mempunyai sejumlah bahasa lokal untuk membahasakan angka-angka.

Liputan Kompas Nasional

Penertiban Pedagang: Sistem Bisnis Mama Papua

·sekitar 4 menit baca

Pasar swalayan Gelael di pusat Kota Jayapura, pertengahan Agustus lalu picah ribut dan rame-rame lei. Kerusuhan tidak berdarah-darah dan tra perlu kehadiran pasukan Dalmas dan Tramtib. Tawuran sumpah serapah dan sedikit baku tinju kelas perempuan dewasa atau mama-mama terjadi antarperempuan asal “gunung” dan pantai. Suasana pun sempat kacau, juga bikin macet.

Perang tanding kecil-kecilan itu gara-garanya sepele dua pele saja. Pelataran kaki lima di Pasar Ampera yang berjarak ratusan meter dari Gelael “dibersihkan” dan terlarang bagi pedagang lesehan.

Mama-mama pedagang di Pasar Ampera itu pun mau tidak mau beringsut ke kawasan Gelael yang luasnya cuma 300-an meter persegi, persis di depan restoran ayam goreng KFC dan supermarket. “Pengambilan” kapling akhirnya terjadi. Inilah yang menimbulkan keributan.

Mama korban gusuran yang tak kebagian tempat kemudian mencari rekan sekampungnya, nebeng lapak untuk ngegelar dagangannya. Lapak, yang tadinya hanya ada sekitar 50-an milik pedagang “asli”, kontan bertambah dua kali lipat. Lapangan aspal yang sebelumnya merupakan pelataran parkir jadi sumpek dan penuh dijejali gelaran dagangan sawi, cabe, jahe, sereh, daun singkong, kangkung, ketela, ubi, kacang panjang, ikan asap, pepaya, sirsak, pisang, dan hasil kebun segar lainnya.

“Mana ada ketela laku. Trada orang bli mama pu ketela,” kata mama Gobay (31) dengan nada tinggi. Ibu yang tak mau senyum ini adalah salah seorang pedagang dari Pasar Ampera asal suku Mee. “Mama tra tau bagaimana bisa berjualan. Kalau dilarang lagi, kitong nanti buka baju lagi dan goyang susu untuk dapat tempat jualan,” tambah mama Gobay sambil mengunyah pinang-sirih.

Bila perkataan mama Gobay itu terwujud, berarti peristiwa empat tahun lalu akan terulang. Pada tahun 2003 itu, mama-mama kaki lima berbondong-bondong demo ke DPRP, berteriak marah-marah dan buka baju, bertelanjang dada, dan loncat-loncat macam tarian tradisional “goyang susu”. Tuntutannya: boleh berjualan lagi di pelataran depan supermarket Gelael.

Investasi sosial

Sebutan pasar untuk Pasar Gelael sebenarnya tidak seperti pasar kebanyakan. Pasar itu hanyalah pelataran terbuka, tanpa bangunan beratap penahan hujan. Kalau hujan besar, pedagang bubar. Kalau cuma gerimis, dagang pakai pentangan payung.

Pasar tumpah di sempalan aspal segitiga ruas jalan pusat Kota Jayapura. Pasar kaget di antara jalan raya ramai dan berbatasan dengan ruko swalayan, restoran, hotel, serta toko-toko.

Namun, apa daya, tempat itu kini kedatangan rombongan mama-mama Pasar Ampera yang tergusur. Pedagang tak kenal kios dan meja ini di kampungnya sebetulnya sudah mengenal entrepreneurship masing-masing. Jadi, salah kalau perempuan ulet dan gigih tersebut tra tau bisnis. Misalnya perempuan Mee, mereka sudah tahu sejak lama soal adanya alat tukar-menukar berupa mege atau kerang (cowry shell), selayaknya uang modern.

Seorang mama asal Sorong yang hanya jualan kacang panjang saja sebetulnya sudah tahu “bisnis” tukar-menukar kain antik boo asal Timor, sebagai benda penukar benda konsumsi, termasuk benda penukar emas kawin atau bride price exchange.

“Sejak puluhan tahun mama-mama dari Sorong hanya berjualan kacang panjang. Karena, itulah hasil kebunnya,” tutur Paul Yaam, orang Sorong yang mengepalai Museum Negeri Provinsi Papua. Ia juga menjelaskan, sistem bisnis di kampung itu tentu berbeda dengan kelugasan sistem dagang kota yang hanya tahu untung-rugi pemasukan uang.

Mama Ana, asal Nabire, pun mengaku sudah berdagang sejak tahun 1981 alias 26 tahun. “Yang dibawa, ya, sayur dari kebun atau beli di Pasar Yotefa itu,” katanya sambil tidak segan-segan memberikan seikat kangkung ke arah sahabatnya. “Bawa pulang kangkung sudah, buat masak-masak di rumah.”

“Mama-mama Papua tra hanya berjualan. Mereka juga punya keinginan untuk bertemu dan mengamat-amati dunia, sambil menunggui dagangannya. Hubungan antarteman sangat penting karena mama Papua menganggap pertemanan sebagai investasi sosial,” kata Jack Morin, Kepala Laboratorium Antropologi Universitas Cendrawasih.

Perempuan Papua migran itu sungguh menjadikan tempat “jual-beli” sebagai arena sosial. Gelanggang pertemuan rutin meski tak berkala itu dijadikan sebagai pangkalan tukar-menukar isu dan gosip antartetangga atau antarkampung, sambil berupaya saling bantu untuk persoalan yang ada.

Perempuan tangguh yang berjiwa “wiraswasta” ala Papua melakoni hari-hari “bisnis”-nya sesuai dengan “sistem nilai” dari budaya kampungnya, sesuai dengan “ajaran tradisi” yang diterima, sesuai dengan naungan “sistem budaya” kampungnya. Mungkin ada beda nilai, antara bisnis yang hanya cari untung daripada rugi dan pasar sebagai arena gaul, sambil membina investasi sosial demi bekal ikatan keakraban dan kekerabatan.

Cara dagang mama-mama yang lugas dan hangat bagi teman non-Papua, teknik dagangnya yang pakai harga pas dan sulit ditawar, serta keogahan berdagang dalam kios dan buka tenda sering memancing opini bahwa gaya bisnis perempuan pedagang itu primitif sehingga mereka susah maju.

Makanya, Jack yang Papua asal Biak wanti-wanti, memesan supaya jangan sangat stereotip memandang sikap dan peranan perempuan Papua. “Ambil nilai positifnya. Perempuan Papua itu menjadi sumber penghasilan meski di sektor informal. Mungkin kalau tidak mau semrawut, kenapa Pemerintah Kota Jayapura tidak menyediakan pasar khusus saja daripada orang berseragam usir-usir mama-mama Papua,” ucapnya.

Sebab, kalau sampai diusir dan digusur dari Pasar Gelael lagi, sangat mungkin mama-mama Papua itu akan “goyang susu”. Mungkin karena goyang-goyang kepala sudah tidak mempan di Papua. Wah-wah!

Artikel Lainnya