KOMPAS/AHMAD ARIF

Penduduk lokal mendulang emas di limbah PT Freeport Indonesia di Timika, Senin (20/8). Dalam sehari mereka bisa memperoleh uang hingga jutaan rupiah, tetapi kebanyakan habis untuk foya-foya.

Liputan Kompas Nasional

Ekspedisi Papua: Dengarkanlah Suara Rakyat Papua

·sekitar 3 menit baca

Jika di negeri ini ada yang menyebut kata Papua, baik untuk Provinsi Papua maupun Papua Barat, umumnya orang langsung membayangkan wilayah di bagian timur Indonesia. Namun, sesederhana itukah mencapai daerah tersebut?

Kalau Anda menggunakan jasa penerbangan dari Jakarta menuju Jayapura, dibutuhkan setidaknya delapan jam-bak perjalanan Jakarta-Tokyo (Jepang). Belum lagi jika ingin melanjutkan perjalanan ke daerah lain di Papua, yang umumnya harus dengan jasa penerbangan atau transportasi laut akibat terbatasnya jalan darat.

Biaya penerbangan ke pulau tertimur di Nusantara ini pun tak murah. Kalau perjalanan Jakarta-Medan (Sumatera Utara) cukup Rp 1,3 juta, untuk Jakarta-Jayapura dibutuhkan Rp 2,7 juta.

Gambaran ini bukan untuk membenarkan mengapa pembangunan di tanah Papua berjalan di tempat dan dijadikan alasan ketertinggalan.

Bagaimanapun perlu dipertanyakan, apa yang telah dilakukan pemerintah dan bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat di sana sehingga pembangunan manusia dan daerah tersebut tertinggal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa.

Pertanyaan itu semakin beralasan jika diingat Pemerintah Indonesia bersemangat memperjuangkan penyatuan Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga pada 1 Mei 1963 Belanda menyerahkannya ke pangkuan republik ini.

IPM terendah

Ketertinggalan Papua antara lain tergambar dari tingkat pembangunan manusia atau indeks pembangunan manusia (IPM), yang didasarkan pada harapan hidup, melek huruf, lama sekolah, dan pengeluaran riil yang disesuaikan, terutama di sejumlah wilayah. Menurut data Badan Pusat Statistik 2005, IPM Papua (62,1) masuk kategori menengah-bawah, di bawah IPM nasional yang sebesar 69,6.

Namun, jangan buru-buru berkesimpulan. Ditinjau dari IPM Kota Jayapura, pembangunan manusia di ibu kota Papua ini tergolong baik. IPM Kota Jayapura (71,9) tidak jauh berbeda dari IPM DKI Jakarta yang sebesar 75,8. Jadi, tak perlu heran kalau di kota itu Anda menemukan segala rupa: hotel kelas melati sampai bintang empat, restoran cepat saji, supermarket, ATM, hingga lembaga pendidikan bahasa Inggris.

Kondisi sebaliknya terekam di Kabupaten Asmat. Daerah yang karya pahatnya dikenal di penjuru dunia ini masih tertinggal. Bahkan dalam tiga bulan terakhir, listrik di daerah yang IPM-nya 45,7 (kategori rendah) ini tidak pernah menyala. Ketertinggalan dan kemiskinan juga bisa dilihat di pegunungan tengah, yang penduduknya terbanyak di Provinsi Papua.

Oleh karena itu, sangat wajar jika masih banyak yang mendendangkan jeritan hati atas ketertinggalan Papua dan masalah lainnya. Masalah-masalah tersebut di antaranya kebijakan pemekaran wilayah, sebagai implementasi otonomi khusus, yang sudah enam tahun, tetapi belum menunjukkan hasil signifikan bagi warga asli Papua. Juga meningkat pesatnya kasus HIV/AIDS. “Bukan mustahil penyebaran HIV/AIDS disengaja agar warga asli Papua semakin habis,” demikian komentar sejumlah aktivis perempuan.

Sebagian masyarakat awam menilai pemerintah pusat dan daerah sudah beritikad baik membenahi pembangunan di Papua. “Pak Gubernur sekarang rajin turun kampung memerhatikan rakyat,” kata beberapa warga di Jayapura.

Namun, sebagian lainnya, khususnya anggota Majelis Rakyat Papua dan para aktivis, menilai kebijakan pemerintah masih omongan belaka. “Yang saya tahu, otonomi khusus lebih banyak menyebabkan orang antre minta dana di kantor pemerintah,” ujar Jos Mansoben, dosen Universitas Cenderawasih.

Mestinya Papua menjadi salah satu provinsi terkaya dan termaju di Indonesia. Papua memiliki apa saja, mulai dari emas, minyak bumi, tembaga, batu bara, hutan, hingga laut.

Dalam konteks itulah Kompas menyelenggarakan Ekspedisi Tanah Papua 2007. Ke-14 anggota tim berupaya memotret berbagai permasalahan, mulai dari Teluk Bintuni, Manokwari, dan Kaimana di Papua Barat, sampai Biak Numfor, Jayapura, Nabire, Jayawijaya, Boven Digoel, Merauke, Mimika, dan Asmat di Provinsi Papua.

Hasil liputan di berbagai wilayah tersebut dilaporkan secara kontinu mulai hari ini hingga akhir Agustus 2007.

Ekspedisi ini pun didukung sejumlah perusahaan yang peduli pada masalah kultur, pendidikan, dan lingkungan hidup.

Artikel Lainnya