KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY

Tigapuluh dua perahu mengikuti Parade Perahu Hias yang diselenggarakan di Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (17/8). Parade yang merupakan bagian dari peringatan HUT Ke-62 Kemerdekaan RI ini diikuti oleh peserta yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Liputan Kompas Nasional

Peringatan Kemerdekaan RI: “Kitorang Tra” Takut Lagi

·sekitar 3 menit baca

“Sebetulnya hanya boleh tiga orang naik perahu, tapi anak-anak itu langsung naik begitu saja. Kitorang kelebihan orang. Trapapa. Kitorang sama rasa saja, bikin senang anak-anak,” kata Buisiri, salah satu dari 32 peserta Parade Kapal Hias di Jayapura, Papua, Jumat (17/8). Tiga kapal yang sekiranya hendak ikut batal berlayar.

Tidak ada kekesalan di wajah Buisiri karena ia merasa senang saja ikut serta dalam parade di pantai yang dikenal dengan sebutan Pantai Dok II, tepat di depan Kantor Gubernur Papua.

Parade Perahu Hias sudah diadakan keempat kalinya di Jayapura. “Sebelum empat tahun terakhir, orang di Papua tidak rayakan 17 Agustus. Malah kitorang tinggal saja diam di rumah. Takut. Hanya tentara di luar. Tapi sekarang tra lagi. Kitorang tra takut keluar rumah. Malah banyak acara,” kata Engel Berth, salah satu pemilik kapal.

Kini, masyarakat Papua tidak kalah antusias merayakan Hari Jadi Ke-62 Republik Indonesia. Orang-orang berdiri di sepanjang trotoar. Kapal-kapal nelayan juga dioperasikan untuk mengangkut penumpang yang ingin melihat perlombaan dari laut.

Hampir seluruh peserta parade adalah masyarakat Papua dari kesukuan Serui, yang terkenal juga sebagai masyarakat pantai. Di Jayapura, masyarakat Serui menempati daerah sepanjang pantai. Sebagian sudah bercampur dengan pendatang dari Bugis, Toraja, Makassar, atau suku-suku lain.

Kekerabatan di antara keluarga nelayan yang tinggal di perkampungan Dok IX, Kelurahan Imbi, Distrik Jayapura Utara, membuat Buisiri tidak tega melarang anak-anak untuk ikut naik perahu yang telah dihiasi bendera Merah Putih di seluruh sisi. Membeludaknya penumpang juga terlihat di beberapa perahu peserta parade. Ini menambah semangat para peserta mengikuti parade dengan berkeliling wilayah perairan dua kali.

Kibaran bendera Merah Putih dan pelbagai hiasan yang ditambahkan peserta parade di perahu kayu yang biasa dipakai untuk menangkap ikan itu membuat Pantai Dok II semarak. Para peserta seakan ingin tampil untuk menjadi yang paling semarak.

Air laut yang biru dan langit yang cerah berpadu kontras dengan perahu-perahu yang berwarna-warni, ditambah dengan wilayah perbukitan yang menjadi latar belakang kota yang indah itu.

Keelokan paras wajah ibu kota provinsi paling timur Indonesia ini semakin bertambah karena banyaknya umbul-umbul, hiasan, serta keriaan orang-orang yang memanfaatkan waktu libur untuk menyaksikan pelbagai acara peringatan kemerdekaan RI.

“Barapen”

Di Lapangan Mandala, Jayapura, ribuan orang juga hadir sejak pagi hari untuk mengikuti upacara bendera. Kemeriahan bertambah dengan penampilan berbagai acara dari sekolah-sekolah dalam upacara terbesar di Kota Jayapura.

Seusai upacara, pesta dimulai dengan barapen (bakar batu), tradisi pesta adat di kalangan masyarakat asli daerah pegunungan dan pesisir Papua. Bakar batu biasa digunakan sebagai perlambang perdamaian. Barapen diadakan tahun ini, setelah sejumlah kalangan memprotes peringatan 17 Agustus tahun lalu yang tidak dilengkapi pesta.

Enam ekor babi disiapkan untuk santapan dalam pesta itu. Masyarakat pegunungan dan pesisir masing-masing menunjukkan kebolehan mereka memasak daging babi tersebut. Cara memasak inilah yang menarik, karena daging dan sayuran disusun sedemikian rupa dan dimatangkan dengan batu yang telah dipanaskan.

Masyarakat dari pegunungan mempunyai kebiasaan menggali tanah dan mengalasi dengan daun. Berbagai sayuran dan batu yang telah dipanaskan kemudian ditumpuk sampai batas permukaan tanah. Di atas batu yang membara itulah daging ditaruh sampai masak.

Sedikit berbeda, masyarakat pesisir biasanya menumpuk seluruh sayur dan daging serta memanaskan batu dengan kayu di bagian bawah.

Sayangnya, para pemasak dalam barapen, yang hampir seluruhnya adalah atlet yang tinggal di sebelah stadion kompleks KONI Papua, justru tidak kebagian secuil pun daging yang telah matang. “Padahal, kitorang siap-siap dari kemarin malam karena tra ada panitia yang tugas di sini semalam,” kata Linda,pelatih tinju.

Padahal dalam kebiasaan Papua, kekerabatan merupakan hal penting. Biar secuil, atau harus bayar sekalipun, pemasak seharusnya diberi daging untuk dicicip. “Ini sudah kebiasaan,” tutur Linda.

Tak heran kalau para pemasak merasa kesal. “Sampai saya banting piring karena kami tidak diperhatikan,” ujar Linda yang mengaku belum tahu apakah kerja kerasnya menyiapkan barapen diberi imbalan atau tidak.

Kebersamaan bagi masyarakat Papua adalah sebuah keharusan. Seperti halnya masyarakat Serui yang tidak terlalu peduli dengan urusan menang atau kalah, para atlet yang telah membantu menyiapkan barapen ini juga berharap ada perhatian dari panitia. Kalau sudah dilupakan, dorang bisa marah, Pace. Merdeka!

Artikel Lainnya