Jauh sebelum kedatangan para penjelajah dari Eropa, penduduk asli Papua hanya mengambil serba sedikit dari alam. Kaki-kaki mereka telanjang dan penutup tubuh sebatas kemaluan. Mereka tinggal di bivak atau rumah dari kulit kayu dan pelepah daun sagu. Mereka makan dari meramu sagu, umbi, dan berburu hewan atau mencari ikan. Transportasi begitu sederhana dengan perahu dayung atau berjalan kaki.
Tak ada istilah kekurangan atau kemiskinan dalam kacamata masyarakat subsisten ini. Apa yang akan dimakan malam nanti, bisa dengan mudah dicari pada pagi harinya. Hanya dengan usaha sedikit saja sudah bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri sehingga mereka tidak mengenal perjuangan yang sengit untuk memenuhi kebutuhan bertahan hidup.
“Dulu, kami tak pernah kekurangan, semuanya sudah disediakan di alam. Untuk makan tinggal mengambil sagu, untuk lauk tinggal mencari ikan atau berburu di hutan,” ungkap Gergorius Okoare, tokoh muda suku Kamoro, Timika.
Namun, segalanya berubah ketika pendatang yang datang dari peradaban lain begitu terobsesi untuk mengambil sebanyak-banyaknya dari dalam tanah mereka. Konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam pun mulai mengemuka.
Enklave
Awalnya adalah orang-orang kaya dari Amerika, Inggris, dan Belanda yang membentuk perusahaan bersama NV Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada tahun 1935. Mereka terobsesi menemukan minyak di daerah jajahan baru Belanda di Tanah Papua Barat (Nieuw Guinea). Pemerintah Belanda kemudian memberikan konsesi lahan seluas 10 juta hektar atau meliputi sepertiga wilayah Papua pada NV NNGPM. Inilah awal pengaplingan tanah Papua oleh pemodal pendatang, sekaligus permulaan munculnya konflik sumber daya alam yang berkepanjangan.
NV NNGPM menandai sejarah awal perekonomian Papua yang bertumpu pada apa yang disebut oleh Jan Boeelaers dalam bukunya, Manusia Irian, 1986, sebagai enklave berbagai perusahaan multinasional, yaitu sebuah upaya ekstraksi sumber daya alam, dengan mencerabut akses penduduk lokal yang sebelumnya terikat dengan daerah itu.
Eksplorasi minyak bumi oleh NNGPM ini mendorong eksplorasi lebih luas. Di samping eksplorasi oleh patroli militer Belanda, juga mulai berdatangan para sarjana dan petualang yang terobsesi dengan keindahan salju abadi di puncak-puncak pegunungan tropis.
Salah seorang penjelajah itu adalah Jean Jaques Dozy, yang menulis laporannya tahun 1936 mengenai sebuah gunung tembaga (Ertsberg) di jajaran puncak es abadi, Jayawijaya. Temuan yang sempat terbengkalai semasa Perang Dunia II ini kemudian mendorong eksplorasi lebih lanjut oleh Freeport, dipimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint.
Ketika Wilson tiba di Gunung Tembaga itu tahun 1960, ia terpesona menyaksikan kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah. Dalam laporan perjalanannya pada The Conquest of Cooper Mountain, Wilson menyebutkan tentang kekayaan alam yang ajaib, yaitu proses mineralisasi di kawasan yang begitu tinggi, atau lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Terdiri atas sekitar 40 sampai 50 persen biji besi, 3 persen tembaga, serta terdapat perak dan emas. Keuntungan besar membayang.
Impian keuntungan besar itu sempat kandas ketika kemudian Papua bergabung dengan Republik Indonesia. Presiden Soekarno, yang antikapitalisme Barat menentang pembangunan itu. Namun, Freeport kembali bersukacita ketika rezim baru Soeharto yang proinvestasi berkuasa. Bahkan, Freeport menjadi perusahaan asing yang pertama kali kontraknya ditandatangani oleh Soeharto pascapengesahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967.
Penandatanganan kontrak kerja Freeport ini meliputi wilayah 10 kilometer persegi selama 30 tahun. Ini menandai kebijakan RI yang meneruskan pembentukan enklave perusahaan multinasional di tanah Papua, sebagaimana dirintis Belanda. Kontrak kemudian diperpanjang lagi tahun 1991 hingga 30 tahun, berikut dua kali perpanjangan 10 tahun.
Freeport berkembang cepat, apalagi terutama setelah cadangan mineral di Grasberg pada tahun 1988, sehingga menaikkan cadangan mineral mereka menjadi 200 juta ton metrik. Keuntungan diperkirakan lebih dari 1,5 miliar dollar AS per tahun. Areal penambangan Freeport di Papua disebut-sebut mempunyai deposit ketiga terbesar di dunia, sedangkan untuk emas menempati urutan pertama.
Dalam laporan resmi PT Freeport Indonesia (PT FI), pada tahun 2005, melalui pipa raksasa dari Grasberg-Tembagapura, sekitar 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas digerus dan disalurkan sejauh 100 kilometer ke Laut Arafuru, di mana kapal-kapal besar menunggu.
Kesenjangan dan Konflik
Akan tetapi, penduduk asli dari suku Amungme, pemilik gunung-gunung emas dan tembaga, dan suku Kamoro yang tanahnya menampung tailing (limbah penambangan) itu tak beranjak lebih baik. Justru, sejak tahun 1973 tiap hari 7.257 ton tailing dibuang ke Sungai Aikwa yang menjadi sumber kehidupan suku-suku di sekitar Timika. Tahun 1988 tailing yang dibuang menjadi 31.000 ton, dan tahun 2006 melonjak menjadi 223.000 ton per hari. Kebun sagu suku Kamoro di wilayah Ayuka dan Koperaporka mati. Ikan juga semakin sulit dicari.
Tak hanya kehilangan sumber daya alam, tetapi warga lokal pun kehilangan diri sendiri. Suasana berubah drastis setelah penambangan dibuka. Sebagian masyarakat tradisional dengan cepat mengenal uang, minum-minuman keras, dan lokalisasi. Berapa pun uang yang didapat masyarakat dengan meramu-dari penambangan limbah Freeport-segera ludes dalam semalam.
Kisah meno-bermakna sobat, panggilan untuk orang gunung di Papua-yang mabuk-mabukan dan menghabiskan uang puluhan juta rupiah dalam semalam adalah realitas keseharian Timika saat ini.
Keadaan diperparah oleh konflik-konflik bersenjata yang kian mengental: konflik antarsuku, serta konflik antara masyarakat adat dan Freeport, terus terjadi di sekitar areal konsesi tambang mereka. Salah satunya adalah insiden pada Februari 2006 lalu.
Penertiban yang dilakukan aparat gabungan bersama petugas satuan pengamanan PT Freeport Indonesia terhadap para penambang liar di lokasi pendulangan emas di Mil 72-74 areal penambangan PT FI berakhir dengan bentrokan. Dua anggota satpam PT FI mengalami luka-luka akibat dipanah pendulang emas, sedangkan tiga pendulang mengalami luka tembak.
Benturan budaya
Ketika awal ekspedisi Freeport, orang Amungme yang menguasai ulayat di konsesi Freeport sebenarnya sudah merasa terganggu. Pada tahun 1967, rombongan Freeport dicegat masyarakat Lembah Waa di bawah pimpinan Tuarek dan Naimun Narkime. Mereka melarang Freeport menjamah Ertsberg-dalam bahasa Amungme Dugu-dugu, yang menurut kepercayaan Amungme merupakan tempat peristirahatan kepala ibu (ninggok), tempat arwah mereka kembali setelah kematian.
Suku-suku di Papua memang memiliki ikatan batin yang kuat dengan bumi tempat mereka berpijak. Hal inilah yang dilupakan dari konsep eksploitasi atas alam Papua, baik oleh Belanda maupun oleh Pemerintah Indonesia.
Benturan budaya yang dialami masyarakat Kamoro dan Amungme dengan Freeport juga dialami masyarakat Papua di tempat lainnya. Misalnya, masyarakat Marind-anim di Merauke. Pembukaan lahan sawit 1 juta hektar, sebagaimana direncanakan Pemerintah Kabupaten Merauke, mendapat tentangan keras dari masyarakat adat Marind.
Orang-orang Marind-anim percaya pada totem tertentu yang berkaitan dengan alam di sekitar mereka. Tokoh Marind-anim, Yulianus Bole Gebze, mengemukakan, masyarakatnya memiliki sistem kepercayaan dan pengaturan marga-marga yang berhubungan dengan alam, tumbuhan, dan hewan.
Masing-masing marga memiliki totem tersendiri. Misalnya, marga Gebze yang memiliki totem kelapa. Ini berarti mereka akan menjaga kelestarian bumi, tanah, batu, dan semua hewan yang bersimbiosis dengan kelapa. Ada marga yang memiliki totem berupa kasuari, kelapa, sagu, bahkan hingga musamus (rayap). Totem mereka harus dijaga, tidak boleh punah, karena kepunahannya berarti runtuhnya eksistensi mereka.
“Hutan di tanah ulayat tidak boleh dirusak karena di sana tempat tinggal kasuari, totem kami. Jika kasuari hilang, marga Kaize pun hilang. Kami akan lawan perusakan hutan untuk sawit di Merauke,” kata Amandus Yolliu Kaize, ketua adat suku Marind Ezam di Kampung Keisa.
Jika saja proses ekstraksi sumber daya alam dengan pola-pola enklave dan terus meninggalkan hak-hak masyarakat adat, niscaya konflik perebutan sumber daya alam di Papua akan terus berkepanjangan. Emas dan kekayaan alam lain di Papua hanya akan menjadi kutukan….