Apa yang menyebabkan pendidikan di daerah pedalaman Papua tertinggal? Dalam penyusuran tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 di Bomomani, sekitar 185 kilometer dari Nabire, pada umumnya sekolah dasar kurang memiliki cukup guru.
Dalam catatan di ruang guru SD YPPK Bomomani, misalnya, disebutkan ada tujuh guru tetap. Akan tetapi, saat ini hanya ada tiga guru yang mendampingi 288 siswa. Mereka adalah Kepala Sekolah Tapmok Bamulki, seorang guru honor Thomas Dogomo, dan seorang mahasiswi yang tengah membantu mengajar.
Selain itu, fasilitas belajar-mengajar pun minim. SD tersebut, misalnya, dari luar gedungnya tampak baik. Namun, ternyata, ruang-ruang kelasnya sangat memprihatinkan. Lantainya masih berupa tanah. Dinding penyekat yang terbuat dari papan juga sudah mulai keropos dimakan rayap.
Ruang guru tidak kalah memprihatinkan. Buku-buku pelajaran terserak di lemari lusuh. Buku-buku yang menjadi tumpuan belajar siswa jumlahnya sangat terbatas dan hanya untuk mata pelajaran tertentu.
“Siswa pada umumnya tidak memiliki buku cetak. Mereka hanya mengandalkan catatan yang diberikan para guru dan buku yang dibaca di sekolah ini,” kata Tapmok Bamulki, menceritakan kondisi pendidikan di pedalaman Papua itu.
Ia menambahkan, “Beberapa guru saat ini sedang berada di Nabire. Satu guru sudah diangkat menjadi kepala sekolah di kampong dan hingga sekarang belum ada gantinya.”
Saat Kompas berbincang-bincang dengan Bamulki, hujan turun begitu deras. Para siswa akhirnya berteduh di dalam kelas. Para siswa yang kebanyakan mengenakan kaos lusuh, di beberapa bagian telah sobek serta tidak mengenakan alas kaki, tampak menggigil kedinginan. Perut mereka buncit karena setiap hari hanya makan ubi bakar dan sayur ala kadarnya.
Berbeda dari rekan-rekan mereka di kota-kota lain di Indonesia, anak-anak di pedalaman Papua harus berjuang untuk dapat bersekolah dengan baik. Sejak membuka mata di pagi hari, mereka harus bertarung dengan alam yang tidak selalu ramah. Beberapa siswa bahkan harus berangkat sekolah dengan perut kosong dan tanpa bekal apa pun.
Padahal, sebagian dari mereka tidak berasal dari Bomomani. Para siswa itu juga berasal dari kampung-kampung di sekitar yang untuk mencapainya membutuhkan waktu sedikitnya satu jam berjalan kaki.
Pagi itu Kompas juga menyaksikan anak-anak membawa sebatang kayu bakar. Kayu bakar itu kemudian diserahkan kepada Bamulki. “Ini imbalan bagi sekolah karena mereka tidak dipungut biaya apa pun selama mengikuti pendidikan.”
Namun, pagi itu pelajaran tidak dapat dilaksanakan secara baik karena Bamulki, yang biasanya mengajar murid kelas empat, lima, dan enam, harus menyelesaikan tugas lainnya. “Mungkin nanti sekitar pukul sembilan anak-anak akan dipulangkan,” tuturnya tanpa beban.
Dari jauh tampak siswa kelas enam asyik bermain air dan berkejar-kejaran di dalam kelas. Mereka seakan tak peduli dengan ada atau tidaknya pelajaran.
Begitulah kondisi pendidikan di SD yang ada di pedalaman Papau pada umumnya, termasuk di Ikrar dan Waghete.
Yang cukup menggembirakan, di Bomomani, Waghete, dan Moanemani (Nabire), saat ini sudah ada sekolah menengah atas-biasanya SMP pun sulit ditemukan di daerah-daerah seperti itu. Bahkan, di Waghete dan Moanemani ada pula sekolah taman kanak-kanak.