Pompa itu terus menyedot air sungai yang keruh kecoklatan. Air yang tersedot kemudian dialirkan ke lorong penyaring yang terbuat dari ijuk. Setelah proses tersebut berlangsung lebih kurang 15 menit, ijuk diambil. Berbagai material yang terjaring selanjutnya ditampung di dalam wajan dulang.
Setelah itu, pendulang menggoyang material yang baru disaring tadi di atas air. Sampah dipisahkan, pasir terbawa air, dan kerikil disingkirkan. Lalu dulang diputar-putar lagi, air ditapiskan, kerikil disingkirkan, dan tampak batu hitam mengkilat.
“Ini batu penanda,” kata salah seorang pendulang di salah satu kawasan pendulangan emas di Nabire, Papua.
Sejak menemukan batu itu, ia tampak lebih bersemangat. Oleh para pendulang, jika batu seperti itu ditemukan, mereka yakin butiran emas ada di sana.
Betul juga, ketika material-material lain terdulang, butiran berwarna kuning mengkilat mulai tampak di dasar wajan dulang.
Dengan harga emas murni yang mencapai Rp 190.000 per gram, tidak heran jika saat ini di berbagai sungai di Nabire banyak dijumpai warga mendulang emas.
Topo
Sejak beberapa tahun lalu, tempat utama bagi para pendulang untuk mengadu peruntungan adalah Topo. Kawasan yang berada di Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire, itu memang dikenal sebagai salah satu sumber emas. Mulai dari Kilometer 40, KM 74, hingga KM 80 banyak pendulang bermukim di pinggir sungai.
Ketika sungai dinilai kurang memberi hasil, tebing-tebing dan pesisir sungai menjadi sasaran penambangan.
Kubangan dan bekas-bekas galian kini menganga di mana-mana. Lingkungan pun menjadi kurang sedap dipandang mata.
Beberapa kawasan di daerah pegunungan tengah Papua pun kini dikenal sebagai sumber emas. Daerah yang kerap disebut orang adalah Bayabiru dan Bomomani.
Namun, dewasa ini, yang tengah digarap adalah Bayabiru, di atas Enarotali. Bomomani belum digarap karena rakyat menolaknya. “Padahal di Bomomani juga banyak emas. Saya sudah mendapatkan batu-batu granit di satu tempat. Hal itu menunjukkan, di lapisan bawah pasti terdapat material emas,” kata Suryadi, warga Sukabumi, Jawa Barat, yang telah lama mencari nafkah di tanah Papua.
Menurut Suryadi, berdasarkan pengalamannya, batu granit itu dapat berfungsi sebagai penanda adanya kandungan emas di suatu tempat. Dia menunjukkan hal itu kepada Pastor Paroki Gereja Maria Menerima Kabar Gembira Bomomani Romo Yohanes Ferdinand dan tetua warga suku Mee di Bomomani Amandus Iyai.
Suryadi begitu antusias untuk menambang emas di Bomomani yang terletak di pegunungan yang jaraknya 185 kilometer dari Kota Nabire. Posisi daerah penghasil kopi dan kacang tanah itu di ketinggian 1.493 meter di atas permukaan laut (dpl). Akan tetapi, Romo Ferdinand dan Amandus Iyai dengan tegas menolak wilayah Bomomani ditambang. Alasannya, lingkungan akan rusak dan warga belum siap.
Menurut Suryadi, hasil penambangan amat menggiurkan. “Nilainya bukan lagi ratusan juta, tetapi miliaran rupiah,” katanya.
Menurut pengalaman Suryadi, penghasilannya dari menambang beberapa waktu lalu, yang paling besar diperoleh pada tahun 2006. “Selama dua bulan saya mendapat keuntungan bersih Rp 35 juta,” katanya.
Lokasi penambangan yang dimaksud Suryadi itu di daerah pegunungan, tepatnya di sekitar bantaran sungai. Dengan demikian, distribusi barang, termasuk kebutuhan pokok, dilakukan dengan menggunakan helikopter. Biaya ke lokasi dengan helikopter paling murah Rp 2,5 juta per orang, sedangkan biaya pulang atau kembali dari lokasi Rp 500.000-Rp 1 juta.
Oleh karena itu, wajar saja kalau harga beras di lokasi penambangan tersebut sekitar Rp 50.000 per kilogram atau untuk satu karung beras Rp 1 juta-Rp 2 juta, sedangkan harga bensin Rp 60.000 per liter.
Penolakan
Meski kilau emas begitu menggiurkan, keuntungannya dinilai tidak sepadan dengan keretakan keluarga, hancurnya lingkungan alam dan juga sosial. Karena itu, tokoh masyarakat Desa Bomomani Amandus Iyai dengan tegas menolak kegiatan penambangan di Bomomani.
“Banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Belum lagi keuntungannya hanya dinikmati oleh pengusaha maupun pendulang dari kalangan pendatang. Sementara kami hanya sebagai penonton,” ujarnya.
“Selain itu, ada orang asli Papua yang menjadi pendulang, tetapi malah lupa keluarga, bahkan ada yang justru memiliki banyak utang,” kata Iyai menambahkan.
Lebih dari itu, Iyai mengatakan, masyarakat Mapia belum mampu mendulang dan mengolah emas. “Kami tidak ingin menjadi penonton saja seperti orang-orang di Timika,” demikian Iyai saat ditemui di dalam rumah api miliknya. Sikap itu pula yang menyebabkan dia berani menentang penambang dari luar bahkan dari luar negeri yang memiliki modal besar.
Di antara asap kayu yang mengepul dari tungku api yang berada di tengah-tengah rumah apinya, Iyai menceritakan, lebih kurang 10 tahun lalu sejumlah pendulang datang ke Magode, Mapia. Mereka membangun sembilan helipad. Beberapa orang bahkan sudah mengecek kondisi tanah di kawasan itu. Menurut mereka, tanah Mapia mengandung banyak emas. Namun, Iyai tak tergiur dan bertahan dengan pendapatnya.