Jika Anda seorang dokter yang ingin mempelajari perkembangan mutakhir di bidang kedokteran dan mempraktikkannya. Anda kemudian mengundang seorang dokter terkenal di Amerika untuk datang dan mengajari Anda. Bagaimana pendapat Anda, apabila dokter dari Amerika itu membalas surat Anda.
Anda mengundang saya datang supaya memimpin studi praktik. Saya mau melakukannya dengan senang hati. Saya akan datang bersama istri dan dua anak, dan Anda tentunya tak keberatan kalau untuk waktu yang lama dengan sendirinya kami menggunakan fasilitas-fasilitas Anda seperti dapur, kamar mandi, WC, kayu bakar, dan persediaan makanan Anda….”
Demikianlah, Jan Boelaars, antropolog yang menulis buku Manusia Irian terbitan tahun 1986, itu mengandaikan pendatang yang peradabannya relatif tinggi diminta tinggal di permukiman penduduk asli Papua guna mempercepat jalannya integrasi. Persaingan dan kompetisi yang sengit akan terjadi, dan penduduk lokal akan tersisih.
Fenomena itulah yang terjadi di Papua, setidaknya di Merauke. Pada tahun 1966, pemerintah mengirimkan 164 keluarga transmigran pertama ke Merauke. Sejak saat itu hingga tahun 2007 sudah 23.970 transmigran yang dikirim ke Merauke. Satuan-satuan permukiman baru tumbuh di tanah adat Marind-anim.
Bersama dengan transmigran, yang mendapat tanah dua hektar per keluarga, juga datang para pedagang dari Bugis, disusul suku-suku lain yang lebih dulu maju dalam pendidikan dan berproduksi. Diperkirakan, jumlah pendatang sudah lebih dari separuh jumlah penduduk Merauke yang mencapai 173.943 jiwa.
Merauke pun tumbuh pesat. Kota ramai dengan toko-toko. Mobil-mobil berseliweran di jalan. “Tahun 1980-an, Merauke masih sepi. Sekarang memang berubah banyak. Tetapi, lihatlah, semuanya kepunyaan pendatang. Orang Marind hanya jadi penonton di tanah sendiri,” kata Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind-anim Alberth Gebze Moyuend.
Integrasi yang gagal
Pada tahun 1985, pemerintah menempatkan 15 keluarga Marind ke lokasi transmigrasi di Semangga, Merauke. Mereka dicampur dengan 485 keluarga transmigran dari Jawa dan diberi hak yang sama, yaitu lahan dua hektar, pupuk, benih, obat, traktor, dan rumah lengkap dengan perabotan. Harapannya, 15 keluarga Marind itu bisa belajar menanam padi dan beternak sapi dari tetangganya.
Namun, sekitar tahun 1990-an hampir semua transmigran lokal meninggalkan lahan mereka dan kembali ke kampung asalnya di hutan. Lahan dan rumah di lokasi transmigrasi kemudian dijual kepada transmigran asal Jawa dengan harga murah. Kini hanya tersisa satu keluarga Marind yang tinggal di daerah transmigrasi di Semangga karena anaknya menikah dengan orang Jawa.
Kondisi berbeda dialami para transmigran asal Jawa. Samuri (54), transmigran asal Jawa Timur, yang pertama kali menginjak lahan transmigrasi Semangga I tahun 1982, kini telah memiliki sedikitnya delapan hektar lahan tambahan di Merauke dengan cara membelinya dari penduduk lokal. Dengan tanpa modal, ia juga telah memiliki mesin penggilingan padi.
Para pendatang yang berinisiatif untuk datang ke Merauke tanpa fasilitas pemerintah juga sukses. Pasangan Sumarlin (42) dan suaminya, Nurcholis (45), asal Kediri, Jawa Timur, datang ke daerah itu dengan modal tak lebih dari Rp 10 juta pada tahun 1983. Lima tahun kemudian keluarga ini sudah memiliki tiga rumah di pusat Kota Merauke yang masing-masing senilai Rp 175 juta, Rp 165 juta, dan Rp 60 juta. Rumah itu dibangun di atas tanah yang dibelinya dari orang-orang Marind dengan harga sangat murah, dari hasil berjualan barang kebutuhan sehari-hari.
Kerja keras memang pameoklasik untuk memperoleh kelimpahan materi. Namun, bagi para peramu seperti Marind-anim, makna kerja keras yang ada dalam benak mereka sangat berlainan. Kerja keras tak lain dari mencari ikan di sungai, berburu rusa atau kanguru, dan menokok sagu. “Susah menanam padi, hasilnya sedikit. Lebih baik mencari ikan, tinggal ambil,” kata Thersisia Mahuze (42), nelayan asal Wambi, Distrik Okaba, yang datang ke Merauke tahun 1979.
Di Merauke, mereka tinggal di pantai, membangun bivak sementara dari seng dan terpal, beratapkan pelepah kelapa, bersama suaminya, Domianus Kaize (43), dan delapan anaknya.
Pasangan suami istri tersebut mengandalkan keahlian lama sebagai peramu, yaitu menjaring udang di pantai. Namun, dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 100.000 per hari, kenikmatan hidup modern di Merauke jauh dari angan-angan. Jangankan bisa memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anak, untuk hidup saja mereka kesulitan.
Para transmigran yang diharapkan bisa mengajari penduduk lokal dengan ilmu bercocok tanam, berdagang, dan menabung justru beralih menjadi pesaing yang sengit. Akhirnya, transformasi dari meramu ke pola hidup berproduksi yang dicoba diterapkan dengan cara mencampur transmigran lokal dan transmigran asal Jawa dalam satu satuan permukiman (SP) terbukti gagal.
Uskup Mearuke Mgr Nicholaus Adi Seputra menyatakan, akibat perkembangan dunia yang terlalu cepat, Marind secara sosial dan ekonomi selalu tertinggal. Yang muncul kemudian kecemburuan dan kesenjangan sosial yang sangat lebar. Marind kini hanya menjadi “penonton” dan konsumen. Perlahan tetapi pasti tersingkir dan terasing dari tanahnya sendiri. “Membiarkan pendatang bersaing dengan penduduk asli di pasar, seperti membiarkan orang sakit lomba lari dengan yang sehat,” katanya.
Tak semua Marind memang masih meramu. Sebagian mulai belajar berbudidaya, seperti menanam padi dan sayur-mayur. Hal itu, antara lain, dilakukan Jeremias Talo Holenger (42). Dia bahkan sengaja menanam sayur-sayuran untuk dijual dan kini sudah bisa membuat tempe dan tahu. Namun, orang Marind seperti Holenger bisa dibilang sangat terbatas.
Siapa yang bertanggung jawab mendidik orang-orang Marind menjadi Holenger-Holenger lain?