Andil penduduk pendatang dalam menggerakkan ekonomi Papua cukup besar. Mereka memutar kegiatan ekonomi dari mulai skala kecil hingga besar, dari hulu hingga hilir. Namun, aktivitas ini rupanya perlu diformulasi untuk memberdayakan penduduk asli.
Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, Papua memiliki daya tarik yang kuat bagi penduduk luar. Gelombang kedatangan warga dari berbagai pelosok pun terus mengalir, seiring menguatnya otonomi daerah. Kedatangan para perantau itu memberikan andil besar dalam menghidupkan ekonomi setempat.
Di wilayah perkotaan, kehadiran kaum imigran ini turut menghidupkan transaksi perdagangan dengan munculnya berbagai sektor usaha. Selain itu, mereka pun masuk ke wilayah pelosok ini lewat program transmigrasi. Sektor pertanian yang selama ini masih dikelola secara tradisional, berangsur berubah. Mereka menghidupkan intensifikasi pertanian yang relatif jarang dilakukan penduduk asli. Alhasil, sektor pertanian pun bergerak.
Gambaran ini terlihat di Distrik Prafi, Manokwari. Masuknya transmigran di wilayah ini sejak tahun 1980-an telah mengubah wilayah ini menjadi salah satu sentra beras di Papua Barat.
”Saya pertama kali masuk ke Prafi tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian, irigasi masuk Prafi dan kami pun mulai menanam padi dan akhirnya sukses hingga sekarang. Semua petani di sini mampu membeli ternak sapi dari hasil tani. Saat ini minimal mereka mempunyai 2-10 ekor sapi,” kata Slamet (50), Ketua Kelompok Tani Sumber Hasil, SP 1 Prafi.
Kesuksesan para pendatang akhirnya membuat Papua semakin diincar sebagai tanah perantauan baru. Sentra-sentra ekonomi pun dibanjiri masyarakat pendatang. Lama kelamaan, bahkan di beberapa wilayah mereka mendominasi aktivitas. Warga asli pun kalah bersaing.
Fenomena ini dapat dilihat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Hasil sensus penduduk tahun 2000 dan 2010 menunjukkan hal itu. Pada sensus tahun 2010, persentase warga pendatang masih 25 persen. Namun, pada sensus terakhir persentasenya naik menjadi 29 persen. Hal ini menunjukkan adanya penambahan jumlah perantau di wilayah Papua. Kini jumlah pendatang sudah mencapai sekitar satu juta orang.
Tidak semua daerah menjadi konsentrasi pendatang. Penyebarannya terkonsentrasi di beberapa tempat. Daerah yang mengalami peningkatan paling banyak berada di Kabupaten Sorong dan Merauke. Kedua kabupaten ini persentase pendatang mencapai 60 persen. Warga asli akhirnya menjadi minoritas.
Selain kedua daerah itu, penyebaran pendatang juga terkonsentrasi di Kota Sorong, Mimika, dan Kota Jayapura dengan persentase lebih dari 58 persen dari total jumlah penduduk setempat. Daerah lain yang juga menyerap pendatang baru dengan cepat adalah Kabupaten Manokwari. Ibu kota Provinsi Papua Barat ini proporsi pendatangnya mencapai sekitar 43 persen.
Konsentrasi daerah pendatang tersebut bukanlah suatu kebetulan. Daya tarik ekonomi mendorong mereka untuk membuka berbagai usaha. Kelima daerah itu memiliki keunggulan beragam, seperti daya tarik industri pengolahan minyak, pertambangan emas, pertanian, konstruksi, transportasi, dan jasa.
Geliat ekonomi ini turut mendorong pertumbuhan perekonomian regional menjadi lebih baik. Tercatat produk domestik regional bruto (PDRB) tiap daerah di konsentrasi pendatang itu rata-rata lebih dari Rp 3 triliun. Bahkan untuk Kabupaten Mimika rata-rata lebih dari Rp 40 triliun per tahun. Angka ini jauh lebih baik dari PDRB rata-rata daerah lainnya yang umumnya kurang dari Rp 1,5 triliun. Daerah yang aktivitas ekonominya relatif rendah ini umumnya daerah yang jumlah warga aslinya lebih banyak dibandingkan warga pendatang.
Kalah saing
Dominasi usaha bisnis pun kentara terlihat di perkotaan. Penguasaan itu terlihat pula di Pasar Sentral Sorong, Kota Sorong. Warga pendatang lebih unggul segalanya dalam usaha berdagang.
Dari sisi tempat, mayoritas kios-kios kelontong dimiliki warga pendatang. Kios-kios itu menjual aneka rupa barang kelontong mulai dari sembako, pakaian, hingga alat-alat rumah tangga. Sebaliknya, warga asli Papua hanya mampu berjualan di emperan tokonya dan di lapak-lapak sederhana semi permanen di pasar itu. Sebagian besar mereka menggelar dagangan hasil pertanian seperti pisang, pinang, buah, dan sayuran dengan satuan penjualan melalui susunan, tumpukan, dan ikatan.
Dari sisi cara berdagang pun kalah bersaing. Jika para pendatang sudah menerapkan teknik hitungan melalui timbangan sehingga lebih terukur, warga asli masih menghitung dengan onggok demi onggok.
Jenis barang yang dijual pun kadang-kadang sama. Banyak pendatang yang turut serta berjualan produk-produk pertanian yang sama dengan warga asli. Selain berjualan pinang dan buah-buahan, pendatang itu juga menjual makanan ringan sehingga tangkapan peluang ekonominya lebih besar.
Oleh karena kalah bersaing, akhirnya membuat para pedagang asli Papua membuka jam usahanya lebih lama. Ketika pasar sudah tutup di sore hari, mereka mulai menjajakan pinang dan buah-buahan hasil kebunnya. Mereka berjualan di trotoar dan emperan toko-toko besar hingga dini hari.
Sebenarnya ada payung hukum yang mampu membantu penduduk asli. Wadah itu ada pada UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang isinya mampu melindungi mereka. Salah satunya adalah adanya keutamaan warga asli untuk mendapatkan pekerjaan berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Namun, hal ini tampaknya belum memadai. Aspek politik seputar polemik otsus justru cenderung berkutat pada masalah jumlah dana yang diperlukan untuk pembangunan Papua.
Terpinggirnya warga asli dari kegiatan ekonomi, jika terus terjadi akan berdampak negatif. Jika upaya pemberdayaan tidak segera dilakukan, kesenjangan ekonomi akan menimbulkan masalah sosial.
Diperlukan terobosan untuk membangun sinergi kaum pendatang dengan warga asli Papua.