KOMPAS/AGUS SUSANTO

Febe Lokobal menghitung angka 121 dengan bantuan batang pion di SD Wiaima, Distrik Asolokobal, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (1/5). Anak-anak rajin belajar meski tempat belajar-mengajar hanya berdinding bambu dan beralaskan tanah.

Provinsi Papua

Ekspedisi Tanah Papua: Semangat Belajar di Tengah Keterbatasan

·sekitar 4 menit baca

Di ruang beratap ilalang itu anak-anak Kampung Wiaima, Kabupaten Jayawijaya, Papua, mengenyam pendidikan. Keterbatasan fasilitas bukan penghalang bagi bocah-bocah itu untuk belajar dan menatap masa depan.

KORNELIS K AMA/A PONCO ANGGORO/ICHWAN SUSANTO/ERWIN EDHI P/B JOSIE SH

”One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten…,” seru Santi Matuan (4), murid taman kanak-kanak itu, sambil memasukkan satu per satu batang pion ke dalam kotak kertas. Pion adalah bahasa setempat untuk batang ilalang raksasa. Bentuknya mirip bambu. Diameternya sekitar 1 sentimeter. Biasanya, batang pion digunakan sebagai anak panah, senjata tradisional masyarakat Papua. Di Paniai, tempat tinggal suku Mee, tumbuhan serupa disebut edu. Selain dipakai sebagai batang anak panah, edu juga dirakit dengan rotan menjadi tilam. Tilam berfungsi menutup celah dinding kayu agar hawa dingin tak menyusup ke rumah.

”Buluh ilalang itu menjadi alat bantu belajar matematika,” ujar Ance Asso (25), relawan pengajar, awal Mei lalu.

Meski tak bersepatu dan tak berhonor, Ance Asso dan rekannya, Yuliana Asso, setia mendidik anak-anak Wiaima. Untuk mengelola tempat pendidikan anak usia dini itu, mereka menanam ubi jalar, keladi, dan pisang. Sebagian hasilnya dijual dan sebagian dimakan bersama belasan murid.

Didirikan tahun 2006, TK itu hingga kini masih tertatih. Awalnya, sekolah itu dibangun bersama dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat. Namun, setelah dirasakan mampu berdiri sendiri, sekolah itu kemudian dikelola secara mandiri oleh warga setempat.

”Kami masih berupaya untuk mendapatkan pengakuan dan terdaftar pada Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya. Ada syarat yang harus kami penuhi, yaitu surat pelepasan dari pemilik tanah di mana sekolah ini berdiri. Kami masih membutuhkan sedikit waktu, dan kami yakin Tuhan akan menolong,” kata Ance Asso.

Baginya, pengakuan itu penting agar masa depan sekolah itu terjamin. Apalagi, saat ini, di samping ruang untuk TK, telah didirikan pula satu bangunan sederhana untuk SD. Kelas itu baru dibangun tahun lalu. Kelas itu berisi delapan anak yang menjadi angkatan pertama SD Wiaima.

Dinas Pendidikan Jayawijaya menyambut baik upaya itu. Mereka bahkan mengusulkan agar sekolah tersebut nantinya menjadi SD kecil.

Semangat mengabdi juga dipegang teguh guru-guru honorer yang berada di kampung-kampung pinggiran Merauke, Papua. Sebutlah misalnya Yoseph Mahuze (33), guru SD Negeri 1 Wasur. Honornya hanya Rp 300.000 per bulan. Itu pun kerap diterimanya per tiga bulan.

”Sempat mau mundur karena honornya rendah,” ujar Yoseph, yang telah enam tahun menjadi guru honorer. Namun, ia membatalkan niatnya demi mendidik anak di tepi hutan. Untuk menambah penghasilan, seusai mengajar Yoseph bekerja mencari kayu bakar di hutan. Dari usaha itu setiap minggu ia memperoleh Rp 500.000.

Sadar bahwa menjadi guru berbekal ijazah SMA saja tak cukup, Yoseph lantas mengikuti program D-3 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Universitas Cenderawasih di Merauke, atas biaya dari Pemerintah Kabupaten Merauke. ”Pagi mengajar, siang kuliah,” ujar pria yang mengampu bidang studi Matematika dan IPA ini.

Setelah lulus tahun 2009, ia mengikuti ujian pegawai negeri sipil dan dinyatakan lolos. Sampai awal 2012, SK pengangkatan sebagai PNS belum juga diterimanya.

Di Distrik Anggi, Manokwari, Papua Barat, juga ditemukan guru yang setia mengabdi di tengah keterbatasan. Namanya Kristina Limbong (26). Selama hampir tiga tahun, ia menjadi guru kontrak di SMP Anggi. Ia bertahan meski empat bulan terakhir gajinya belum dibayar.

Saat Kompas menyambangi sekolah itu, Kristina sedang mengajar Biologi di kelas VIII. Ia juga mengampu Bahasa Indonesia untuk kelas VII.

Hari itu, dari tiga guru (empat dengan kepala sekolah), hanya ia sendiri yang hadir. Kepala sekolah sedang mengurus administrasi di kota. Guru lain? Ia sungkan membeberkannya. Namun, dari penuturan warga setempat, seorang guru perempuan sedang hamil sehingga lebih banyak tinggal di kota.

Sejak kecil Kristina bercita-cita menjadi guru. Namun, ia tak pernah membayangkan akan bertugas di pedalaman Papua Barat. Di pedalaman seperti itu, ia harus berjuang untuk menyadarkan orangtua dan anak-anak akan arti penting pendidikan.

Pekan lalu, Kristina mengajar kelas VIII. Dari 38 siswa yang terdata, hanya tujuh siswa yang mengikuti pelajaran. Ini karena sering kali orangtua mengajak anak-anaknya ke kebun atau ikut berburu di hutan.

Jika logika dicoba dibalik, tidak menentunya kehadiran guru di kelas sebetulnya juga menjadi alasan bagi siswa untuk bolos. Bayangkan, anak didik yang telah menempuh perjalanan selama berjam-jam jalan kaki naik-turun bukit kerap harus gigit jari karena guru tidak hadir.

Yunus Boari, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat, mengakui, kehadiran guru di sekolah pedalaman memang masih menjadi masalah. Untuk itu, Rp 75 miliar anggaran pendidikan yang disediakan APBD Provinsi Papua Barat antara lain dijadikan tunjangan khusus.

Di Wamena, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Hasuka Hisage mengaku tengah mengupayakan pembangunan rumah untuk para guru yang bertugas di pedalaman. Mereka juga tengah mengupayakan peningkatan kualitas guru dengan meningkatkan kualifikasi pendidikan.

Diperlukan upaya ekstra untuk memacu pendidikan di ujung timur Tanah Air ini….

(NASRULLAH NARA)

Artikel Lainnya