KOMPAS/A PONCO ANGGORO

Perahu digunakan sebagai alat transportasi antardesa yang terpisah oleh perairan di Danau Sentani, Jayapura, Papua.

Provinsi Papua

Ekspedisi Tanah Papua: Merawat Harapan dari Timur Nusantara

·sekitar 4 menit baca

Lupakan sejenak bara konflik di Papua. Di balik tumpukan persoalan politik, hukum, keamanan, dan hak asasi manusia, realitas sosial Papua menunjukkan gairah hidup damai dan sentosa seperti warga negara pada umumnya. Harapan dan rasa saling percaya perlu dirawat.

B JOSIE S HARDIANTO, ERWIN EDHI P, dan NASRULLAH NARA

Peluh membasahi tubuh Beni Kosnan (23) saat memikul lembaran-lembaran karet putih. Siapa sangka di tepi hutan Kampung Erambu, Merauke, pria yang baru tiga tahun tamat dari SMK itu memiliki 200 pohon karet. Tak sekadar menyadap, Beni bahkan telah menyiapkan bibit-bibit baru untuk menggantikan pohon-pohon karet tua peninggalan Belanda. Ia sekaligus menambah jumlah pohon karetnya.

Kecakapan budidaya karet diperolehnya saat belajar di SMKN 1 Sota di perbatasan RI-Papua Nugini. Hari itu ia mendapat 15 kilogram lembaran karet basah. Pedagang dari Merauke datang membeli karetnya seharga Rp 10.000 per kilogram.

Karet kini telah menggeser budaya hidup sebagian warga Kampung Erambu, terutama para pemuda seperti Beni. Semangat mengembangkan usaha mandiri mulai tumbuh. Beni dan istrinya mengandalkan usaha kebun karet, bukan lagi hidup dari berburu dan meramu.

Adik sepupu Beni, Erman Kosnan (18), yang kini masih belajar di SMKN 1 Sota, bercita-cita beternak ayam petelur.

Beni dan Erman ”gemas” ketika melihat anak-anak sebaya mereka hanya berpangku tangan dan suka mabuk-mabukan. ”Mau jadi apa nanti kalau hanya bermalas-malasan begitu terus?” ujar Erman.

Sayangnya, dukungan untuk memperkuat kemandirian warga acap kali tidak tepat guna. Di Kampung Erambu sejak tiga tahun lalu berdiri bangunan pasar kampung. Di seberangnya berdiri gudang pupuk dan tangki instalasi air bersih. Semuanya semipermanen dengan biaya sekitar Rp 1 miliar.

Namun, biaya sebesar itu seperti menguap karena tak satu pun yang berfungsi. Pasar kampung menganggur karena tanaman komoditas selain karet masih dirintis. Gudang pupuk kosong melompong tak didatangi penyalur. Adapun jaringan air bersih mangkrak karena dibangun tak sesuai elevasi tanah.

Daya hidup

Situasi politik lokal memang acap kali riuh dengan konflik terkait pemekaran wilayah dan pilkada. Namun, dinamika masyarakat Papua tetap mencerminkan adanya semangat untuk menuju peradaban bermartabat.

Tanpa menafikan daya kritis dan sikap skeptis, fakta di lapangan menyuguhkan cara memandang Papua dalam perspektif lebih luas dan optimistis. Tampak daya hidup masyarakat untuk melakoni proses transformasi di segala bidang. Tentu saja tidak proporsional jika hasilnya selalu diukur dengan parameter seragam (nasional).

Guru dan anak-anak di Asolokobal, Jawijaya, misalnya, tetap giat belajar-mengajar meski fasilitas persekolahan jauh dari memadai.

Dokter, perawat, dan bidan bergairah melayani warga di pelosok tanpa takut terkena malaria dan kolera. Juga tak ada rasa takut menjadi sasaran bidik pemanah dan penembak misterius. ”Niat kami tulus untuk melayani sesama, siapa takut?” ujar Agnes Barabara Kundimgo (38), bidan di Boven Digoel.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok terjadi transformasi dari pola subsisten ke pola bercocok tanam dalam sebuah interaksi kultural. Selain meneruskan warisan bercocok tanam yang diwariskan Pemerintah Belanda dan misionaris, warga asli Papua terus menyerap kecakapan bertani dari transmigran asal Jawa. Ada di antara mereka yang sudah bekerja terorganisasi melalui kelompok tani, seperti yang dilakoni Saul Usion (45) dan petani lain di Biak Numfor.

Tak kalah pesatnya, sejumlah ruas jalan terbangun untuk menjawab kendala geografis dan minimnya sarana penerbangan. Dua tahun lagi, 11 ruas jalan provinsi poros utara-selatan Papua (2.739 kilometer) rampung, seperti ruas Nabire-Paniai (262 kilometer) dan Merauke-Tanah Merah (460 kilometer).

”Sebentar lagi penyaluran bahan pokok tak bergantung pesawat Twin Otter,” ujar Yunus (45), pedagang yang usahanya kerap terganggu cuaca buruk.

Bahwa di sana-sini masih ada kesenjangan dan ketertinggalan, peneliti LIPI, Muridan S Widjojo, melihat itu sebagai persoalan yang berakar dari kurangnya perhatian pemerintah pada kapasitas budaya masyarakat Papua.

Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay mengingatkan agar rancang bangun dan implementasi pembangunan disesuaikan dengan budaya lokal. Yang terjadi selama ini, katanya, Papualah yang harus selalu menyesuaikan dengan ritme pemerintah. Papua dipaksa berpartisipasi dalam dinamika nasional, tetapi sekaligus diperlakukan tak wajar.

Ketua Sinode Kingmi Pendeta Benny Giay mengatakan, kondisi itu diperparah dengan sikap elite lokal yang cenderung mencari selamat.

Pengajar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay, dan tiga rekannya, Bayu Dardias Kurniadi, AAGN Ari Dwipayana, dan Purwo Santoso, melihat karut-marut Papua terjadi karena ketidakpercayaan daerah terhadap pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat tidak satu sikap dan kebijakan. ”Kebiasaan pemerintah pusat menunjuk banyak tokoh untuk satu urusan berpotensi memunculkan friksi antartokoh yang menangani Papua, yakni Velix Wanggai, Bambang Dharmono, dan Farid Husain,” kata Lay.

Kompas mengamati, setiap ada langkah baru dari Jakarta, orang Papua berkomentar, ”Ini apa lagi?”

Barangkali ungkapan Frans Lieshout OFM, biarawan yang puluhan tahun tinggal di Papua, bisa jadi acuan, ”Datanglah ke Papua dengan hati….”

Artikel Lainnya