Beberapa saat sebelum matahari terbit di Tanah Papua, cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus) membuka keheningan pagi di Lembah Grime. Meski tubuhnya relatif kecil, suaranya menembus sudut-sudut hutan. Sesekali, paruhnya yang runcing mendongak ke angkasa.

Dari menara pengamatan, kelir kuning di bagian bawah tubuhnya terlihat jelas. Ada sekitar 15 menit burung itu bertengger di pucuk pohon yang disambung dengan kayu sepanjang tiga meter tersebut.

Itulah sekelumit pemandangan yang ditawarkan oleh destinasi wisata pemantauan burung (bird watching) Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021) pagi. Cenderawasih mati kawat ibarat penyambut tamu. Ia yang paling awal berjumpa wisatawan di lokasi ini.

Jarak menara pengamatan cenderawasih mati kawat dengan penginapan hanya sekitar satu kilometer. Di menara setinggi delapan meter itulah pengunjung mengintip dan menjepret salah satu jenis burung surga Papua ini.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum masuk hutan. Pertama, jangan menggunakan pakaian berwarna mencolok. Tidak boleh merokok di titik pemantauan. Selain itu, tidak diperkenankan mengenakan parfum dengan bau menyengat. Oh iya, pastikan pula Anda tidak telat bangun. Sebab, pemandu sudah menunggu tamu sebelum pukul 05.00.

Burung cenderawasih antena 12 atau mati kawat (“Seleucidis melanoleucus”) bertengger di pucuk dahan di kawasan hutan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021).

Setelah disambut cenderawasih mati kawat, pengunjung akan bertemu dengan cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor). Butuh sekitar 20 menit perjalanan untuk sampai di sebuah pohon yang dihinggapi cenderawasih kuning kecil. Berbeda dengan lokasi sebelumnya, di sini tak ada menara pengamatan. Pengunjung hanya berdiri di sekitar pohon lalu mengamati burung itu bermain-main, hinggap dari satu ranting ke ranting yang lain.

Menurut Dance Wouw (61), pemandu setempat, mata burung ini tergolong tajam. Jadi, ia tak bisa diamati dari jarak dekat. Oleh sebab itu tak ada menara pantau di tempat ini.

Pada Rabu pagi itu, kicauan cenderawasih kuning kecil terdengar dari berbagai penjuru. Namun, tak ada yang hinggap lama di ranting pohon. Mereka bertengger sebentar lalu terbang lagi.

Hal serupa juga terjadi saat berada di titik pemantauan ketiga, cenderawasih raja (Cicinnurus regius). Burung dengan sayap berwarna merah tua ini seolah ingin bermain petak umpet. Sekelebat, ia muncul dengan meniti rotan-rotan yang membelit pohon. Tak lama, ia terbang lagi dan menghilang di balik dedaunan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Burung cenderawasih raja atau king of paradise (“Cicinnurus regius”) bertengger di pucuk pohon di kawasan hutan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021).

Semua keelokan burung endemik Papua ini masih bisa dilihat karena sekelompok warga Rhepang Muaif memutuskan untuk bersatu menjaga hutan. Mereka menjadikan hutan sebagai destinasi ekowisata yang mendatangkan penghasilan bagi warga setempat sejak 2015 lalu.

Bird Watching Isyo Hills atau lokasi pemantauan burung cenderawasih di Bukit Isyo berada di Kampung Rhepang Muaif yang berjarak 105 kilometer dari Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Perjalanan darat dari Kota Jayapura menuju tempat ini sekitar dua jam.

Destinasi wisata ini berada di area hutan seluas 19.000 hektar milik masyarakat pemilik hak ulayat dari keluarga Waisimon dan Wouw. Alex Waisimon yang dipercayakan untuk mengelola tempat itu.

Kini baru 200 hektar dari 19.000 hektar luas hutan yang dikelola sebagai tempat pemantauan burung cenderawasih. Terdapat 13 tempat tidur yang disiapkan bagi wisatawan yang hendak menginap lokasi ekowisata tersebut.

Rhepang Muaif menjadi habitat 58 jenis burung. Dari jumlah itu, terdapat tujuh jenis burung cenderawasih yang langka di kawasan hutan Rhepang Muaif. Khusus di Isyo Hills, terdapat lima jenis burung cenderawasih.

Kegiatan pemantauan aktivitas burung cenderawasih dilakukan di empat pos. Setiap pos terpisah jarak berkisar 1-4 kilometer. Hanya ada dua kesempatan untuk melihat langsung burung cenderawasih di alam, yakni pada pukul 05.00-06.00 dan pukul 14.00-16.00.

Biasanya, jenis burung yang sering menjadi target wisatawan untuk dipotret adalah cenderawasih kuning kecil, cenderawasih antena 12 atau mati kawat, dan cenderawasih raja atau biasa dikenal dengan sebutan king of paradise. Selain cenderawasih, para wisatawan juga dapat melihat spesies burung khas Papua lainnya, seperti kasuari dan mambruk.

Dalam waktu beberapa bulan saja, mereka berhasil mencegah 50 pembalakan liar oleh oknum pekerja beberapa perusahaan.
Sejauh ini, wisatawan asing yang datang ke Bird Watching Isyo Hills berasal dari berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, China, Korea Selatan, dan Jepang. Ada juga wisatawan lokal.

Sebelum virus Covid-19 melanda dunia pada awal tahun 2020, jumlah pengunjung di Bird Watching Isyo Hills mencapai 250-400 orang per tahun. Dalam sebulan, tempat ini dikunjungi 30 hingga 40 orang wisatawan.Kini di tengah situasi pandemi, jumlah wisatawan yang berkunjung setiap bulan hanya 10 hingga belasan orang.

Harga untuk wisatawan yang ingin menginap di tempat ini bervariasi. Ada paket dengan harga Rp 850.000 untuk menginap, mendapatkan sarapan dan trip ke dalam hutan melihat burung cenderawasih. Sementara untuk paket seharga Rp 1 juta, wisatawan tidak hanya mendapatkan tempat menginap, sarapan dan trip ke hutan, tetapi juga makan siang.

“Dalam setahun terakhir, jumlah pengunjung hanya 120 orang. Jumlah warga yang bekerja di sini pun harus dikurangi dari 30 menjadi 10 orang saja, ” ungkap Carolin Waisimon, staf pengelola Bird Watching Isyo Hills.

Meskipun pandemi membuat kunjungan wisatawan merosot, masyarakat pemilik hak ulayat tetap berkomitmen tidak akan kembali menebang pohon dan memburu burung cenderawasih.

Rasa prihatin

Awal mula kehadiran ekowisata pemantauan burung cenderawasih di Bukit Isyo dilatarbelakangi keprihatinan Alex Waisimon yang menemukan maraknya pembalakan hutan dan perburuan burung cenderawasih. Masalah ini Alex temukan saat pulang ke kampungnya di daerah Yenggu pada tahun 2013.

Sebelumnya selama 18 tahun Alex tinggal di Bali dan bekerja sebagai pemandu wisata di sana. Di tempat itu juga Alex hidup bersama istri dan empat anaknya.

Alex pun mengajak masyarakat di Yenggu untuk menghentikan kegiatan perambahan hutan dan perburuan burung cenderawasih. Sebab, ini akan berdampak buruk bagi masyarakat setempat dan juga satwa endemik di hutan, termasuk burung cenderawasih.

Sayangnya upaya Alex gagal. Ia memilih pulang ke Bali dengan penuh kekecewaan. Akan tetapi setahun kemudian, Alex pun mencoba kedua kalinya pulang ke kampung halamannya.

Kali ini Alex bertemu dengan Jamel, seorang transmigran asal Pulau Jawa di Kampung Nembukrang Sari yang jaraknya tidak jauh dari Rhepang Muaif. Dari Jamel, Alex mengenal potensi ekowisata pemantauan burung cenderawasih yang begitu diminati para peneliti, fotografer, dan wisatawan mancanegara.

Alex pun berkenalan dengan Dance Wouw, anak didik Jamel yang menjadi pemandu wisata burung cenderawasih di Nembukrang Sari sejak tahun 90-an. Alex pun mengajak Dance untuk membuka lokasi pemantauan burung cenderawasih.

Tahun 2015, Alex memutuskan tinggal di Rhepang Muaif untuk memulai misinya menyelamatkan hutan dan burung cenderawasih. Mimpi Alex untuk menyelamatkan hutan dari pembalakan liar disambut warga Rhepang Muaif.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Burung cenderawasih kuning kecil (“Paradisaea minor”) bertengger di pucuk pohon di kawasan hutan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021).

Ia pun mulai membentuk kelompok Isyo Hills yang beranggotakan 15 warga. Kelompok ini berperan mencegah pembalakan liar di Rhepang Muaif. Sebagian besar anggota Isyo Hill’s adalah pemilik hak ulayat di kawasan hutan Rhepang Muaif.

Kelompok ini lahir setelah Alex melakukan pendekatan persuasif kepada warga tentang pentingnya konservasi hutan. Pendekatan itu dilakukan selama beberapa pekan di rumah salah satu kerabatnya.

Dalam waktu beberapa bulan saja, mereka berhasil mencegah 50 pembalakan liar oleh oknum pekerja beberapa perusahaan. Selain itu, mereka juga mengeluarkan peraturan larangan pembuangan sampah dan oli ke sejumlah sungai di kawasan tersebut.

”Masyarakat di Rhepang Muaif mulai sadar ketika saya terus memberikan sosialisasi tentang dampak buruk pembalakan hutan secara masif. Sejak saat itu, mereka pun termotivasi menjaga hutannya yang sudah menjadi warisan dari leluhurnya, ” kata Alex.

Setelah gerakan Isyo Hills berhasil, Alex mengaktifkan Yawadatum, sebuah kelompok adat di Rhepang Muaif yang selama puluhan tahun vakum. Nama Yawadatum berasal dari bahasa setempat yang berarti ”tumbuh bersama”.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS) 24-11-2021 ficer cetak

Kawasan hutan yang masih alami berbatasan dengan kawasan transmigran di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021). Hutan di kawasan ini masih dijaga kealamiannya oleh masyarakat adat untuk melindungi satwa endemik Papua seperti burung cenderawasih.

Kelompok ini menjadi motor kegiatan operasional pengamatan burung di Rhepang Muaif. Yawadatum memiliki 30 anggota yang masing-masing memiliki peran dalam pengelolaan tempat wisata itu. Mereka di antaranya menjadi juru masak, pemandu wisatawan, dan pembuat kerajinan, seperti tas noken dan gelang kayu, sebagai cenderamata.

Setelah keberhasilan di Rhepang Muaif, ekowisata pemantauan burung cenderawasih mulai direplikasi di sejumlah kampung seperti Yenggu Baru, Yenggu Lama, dan Sawesuma di Distrik Unurum Guay.

Tahun depan, Alex berencana membantu masyarakat di 13 kampung lainnya di Nimbokrang untuk menghidupkan destinasi ekowisata. Ekowisata di 13 kampung ini tidak hanya pemantauan burung cenderawasih, tetapi juga wisata mendaki bukit dan danau.

“Destinasi pemantauan burung cenderawasih di Bukit Isyo yang telah berjalan beberapa tahun terakhir menjadi bukti nyata ekowisata adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hutan Papua. Saya berharap semua wilayah di Papua dapat mengembangkan ekowisata sesuai dengan potensinya masing-masing,” harap Alex.

Generasi muda

Selain memberdayakan ekonomi masyarakat setempat, Alex juga melatih generasi muda untuk mencintai alam. Sejak tahun 2020 telah hadir Sekolah Alam Isyo Hills Rhepang Muaif.

Di tempat ini terdapat dua tenaga pengajar yang memberikan materi literasi, ilmu pengetahuan tentang alam dan jenis-jenis satwa di hutan bagi anak-anak setempat.

Selain sekolah alam, Alex juga memberdayakan anak-anak muda sebagai generasi penerus menjadi tenaga pemandu wisata di destinasi wisata tersebut.

Daud Wouw, salah satu anak muda yang bekerja sebagai pemandu wisata di Bird Watching Isyo Hills sejak tahun 2018. Sebelumnya pemuda berusia 20 tahun ini bekerja di salah satu perusahaan yang pembalakan hutan secara ilegal sejak tahun 2016.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kawasan hutan yang menjadi habitat burung cenderawasih di Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021). Rhepang Muaif menjadi habitat 58 jenis burung. Dari jumlah itu, terdapat tujuh jenis burung cenderawasih yang langka di kawasan hutan Rhepang Muaif.

Saat bekerja di perusahaan yang terlibat pembalakan hutan secara ilegal, Daud mendapatkan bayaran Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Pohon yang paling sering ditebangnya yaitu jenis kayu merbau atau masyarakat setempat mengenalnya dengan kayu besi.

Semenjak bekerja sebagai pemandu wisata, perilaku Daud berubah. Dia tidak lagi bergabung dengan perusahaan untuk menebang pohon di hutan tetapi lebih memilih bekerja di tempat Alex.

“Saat bekerja sebagai pemandu wisata, saya baru sadar menebang pohon dapat mendatangkan bencana besar bagi masyarakat seperti banjir dan hilangnya tempat burung cenderawasih, ” ungkap Daud.

Selain Daud, ada Calvin Waisimon, salah satu anak Alex yang turut terlibat sebagai pemandu wisata di Bird Watching Isyo Hills. Remaja berusia 17 tahun ini meninggalkan kehidupan perkotaan di Denpasar dan tinggal bersama ayahnya di Rhepang Muaif sejak tahun 2017.

Calvin secara langsung belajar dari ayahnya untuk mengenal jenis-jenis burung cenderawasih, mendeteksi lokasi burung cenderawasih, dan menguasai rute perjalanan ke seluruh area hutan yang terdapat lokasi pemantauan burung cenderawasih.

“Saya sudah menjadi pemandu wisata di sini selama tiga tahun terakhir. Dengan menguasai bahasa Inggris, saya membawa para wisatawan dari mancanegara untuk melihat langsung burung cenderawasih di hutan,” tutur siswa kelas XII SMA Yapis Nimbokrang.

Calvin ingin mengajak seluruh anak-anak muda di Nimbokrang yang putus sekolah untuk menjadi pemandu wisata di setiap kampungnya. “Di sini banyak anak muda yang putus sekolah dan rawan terjerumus menggunakan narkoba jenis ganja serta minuman beralkohol. Saya ingin mereka terlibat dalam kegiatan yang lebih positif. Misalnya bekerja sebagai pemandu wisata di kampungnya, ” harap Calvin. (Fabio Maria Lopes Costa/Insan Alfajri)