KOMPAS/RADITYA HELABUMI


Hans Mandacan, pengelola ekowisata pengamatan burung dan penjaga hutan Pegunungan Arfak, Papua Barat
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Berawal sebagai pemburu cenderawasih, Hans Mandacan lalu beralih menjadi yang terdepan dalam menjaga hutan dan burung surga tersebut di dataran tinggi Arfak, Papua Barat. Ekowisata pengamatan burung mengubah hidup Hans.

Bertahun-tahun lalu, saat belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya melestarikan lingkungan, Hans Mandacan (38) secara rutin berburu aneka jenis burung di hutan yang menjadi bagian dari kawasan dataran tinggi Arfak. Salah satu satwa yang kerap menjadi incarannya adalah burung cenderawasih yang memiliki bulu-bulu indah.

”Burung cenderawasih itu kami buru untuk dijual,” ujar Hans Mandacan yang berasal dari Kampung Kwau, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, saat ditemui tim Kompas, Senin (12/4/2021). Kampung Kwau di Kabupaten Manokwari berada di dataran tinggi Arfak yang berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Arfak.

Baca juga : Arkilaus Kladit, Menjaga Hutan untuk Masa Depan

Hans menyebut, ada beberapa jenis burung cenderawasih yang dulu kerap diburunya, semisal cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus) dan parotia arfak (Parotia sefilata). Burung-burung cenderawasih yang berhasil diburu itu biasanya diambil dagingnya untuk dimakan, sementara bulu-bulunya dijaga tetap utuh untuk dijual.

”Cenderawasih itu kami buka dia punya kulit pelan-pelan supaya tidak rusak, lalu dagingnya kami makan. Setelah itu, kami sisipkan plastik ke dalam kulitnya supaya bentuknya seperti burung utuh. Baru kemudian dijemur supaya benar-benar kering,” ungkap Hans yang berasal dari suku Hatam.

Awetan sederhana burung cenderawasih kering itulah yang kemudian dijual oleh Hans dan para pemburu lainnya. Pada mulanya, dia dan para pemburu lainnya menggunakan panah untuk berburu burung. Namun, lama-kelamaan, para pemburu itu memakai senapan angin untuk mencari buruan. Penggunaan senapan angin membuat aktivitas berburu burung menjadi lebih mudah sehingga jumlah burung yang didapat menjadi semakin banyak.

”Waktu sudah pakai senapan angin, kami bisa dapat 30 ekor burung dalam sekali berburu. Padahal, saat masih pakai panah, kami hanya bisa dapat lima ekor dalam sekali berburu,” tutur Hans yang mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SMP.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sejumlah rumah warga di Kampung Kwau, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Selasa (13/4/2021). Kampung Kwau ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dari pusat kota Manokwari. Hutan adat Kampung Kwau berada di kawasan dataran tinggi Arfak yang menjadi habitat berbagai satwa endemik.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)

Berhenti berburu

Aktivitas berburu burung yang dilakoni Hans baru berhenti tahun 2009. Saat itu, Hans mulai terlibat aktivitas konservasi kupu-kupu yang dirintis sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kampung Kwau. Kegiatan konservasi itu kemudian berkembang menjadi aktivitas pengamatan burung atau birdwatching di hutan adat masyarakat Kampung Kwau.

Selama ini, kawasan hutan di dataran tinggi Arfak memang dikenal sebagai habitat sejumlah satwa endemik, termasuk beberapa jenis burung yang indah, eksotik, dan memiliki perilaku unik. Agar bisa berjalan baik, aktivitas pengamatan burung itu kemudian melibatkan masyarakat Kampung Kwau. Setelah melalui sejumlah proses, Hans dipilih sebagai perwakilan masyarakat yang terlibat dalam aktivitas tersebut.

Dalam perkembangannya, Hans kemudian menjadi pengelola ekowisata pengamatan burung itu karena LSM yang merintis kegiatan tersebut tak lagi aktif. Hans menuturkan, dalam aktivitas ekowisata di hutan adat Kampung Kwau, para wisatawan bisa mengamati beberapa jenis burung, misalnya parotia arfak, cenderawasih belah rotan, namdur polos (Amblyornis inornatus), dan paruh sabit kurikuri (Epimachus fastuosus).

Dari empat jenis burung itu, dua di antaranya memiliki tingkah laku unik. Parotia arfak jantan, misalnya, suka menari di tanah untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Sementara itu, namdur polos dikenal sebagai burung pintar karena bisa membangun dan menghias sarangnya dengan unik.

Namdur polos jantan biasanya akan mengumpulkan berbagai barang, misalnya biji-bijian dan tutup botol, untuk menghias sarangnya. Uniknya, burung tersebut mampu mengelompokkan benda-benda yang dia kumpulkan sesuai dengan warna masing-masing. Sama seperti parotia arfak saat menari, namdur polos jantan membangun dan menghias sarang juga untuk menarik betina.

Daya tarik beberapa jenis burung itulah yang membawa banyak wisatawan akhirnya datang ke Kampung Kwau untuk mengikuti aktivitas ekowisata pengamatan burung yang dikelola Hans. Selain dari dalam negeri, wisatawan yang datang itu juga berasal dari beberapa negara lain, misalnya Belanda, Belgia, Jerman, Jepang, Hongaria, Selandia Baru, Swiss, dan China.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Papan nama terpasang di akses masuk menuju penginapan Papua Loriket di Kampung Kwau, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Senin (12/4/2021). Lokasi ini biasa digunakan menginap bagi pengunjung yang tertarik pada aktivitas ekowisata birdwatching atau pengamatan burung di Kampung Kwau
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)

Agar bisa memandu para wisatawan asing dengan baik, Hans belajar bahasa Inggris secara otodidak dengan membaca buku dan kamus. Untuk mendukung aktivitas ekowisata itu, Hans juga mendirikan guest house atau penginapan yang diberi nama Papua Lorikeet. Pembangunan penginapan yang memiliki tiga kamar itu dibantu oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Pemerintah Kabupaten Manokwari.

Libatkan warga

Hans menyatakan, selama beberapa tahun terakhir, pendapatan yang diperoleh dari ekowisata pengamatan burung itu cukup besar. Dia menuturkan, pada tahun 2019, pendapatan kotor yang diperoleh dari usaha ekowisata itu sekitar Rp 350 juta. Namun, pendapatan tersebut tidak dinikmati oleh Hans seorang diri.

Baca juga : Romanus Meak, Meniti Kemandirian Pangan

Hal ini karena Hans juga melibatkan warga lain di Kampung Kwau dalam aktivitas ekowisata, misalnya sebagai tukang masak, porter, dan pemandu wisatawan (guide). Selain itu, Hans juga menyisihkan sebagian pendapatan dari ekowisata untuk kas Kampung Kwau. Keterlibatan warga lain itu penting agar seluruh masyarakat di Kampung Kwau memiliki komitmen yang sama untuk menjaga hutan dan menghentikan aktivitas berburu burung.

”Kami harus melibatkan masyarakat untuk kerja di ekowisata. Kalau satu orang tidak dapat pemasukan dari ekowisata, dia bisa berburu burung lagi. Jadi, kami usahakan penghasilan itu dibagi rata,” ungkap ayah tiga anak itu.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sejumlah pria warga Kampung Kwau, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Selasa (13/4/2021). Kampung Kwau ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dari pusat kota Manokwari. Meski secara administratif masuk wilayah Manokwari, hutan adat Kampung Kwau berada di kawasan Pegunungan Arfak yang menjadi habitat berbagai satwa endemik.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)

Berkat upaya itu, Hans menyebut, saat ini tak ada lagi warga Kampung Kwau yang berburu burung. Bahkan, masyarakat kampung itu telah sepakat, mereka yang ketahuan berburu burung akan didenda jutaan rupiah. Meski begitu, Hans terus mengawasi kondisi hutan adat Kampung Kwau agar tidak ada pemburu dari wilayah lain yang masuk ke sana.

Setiap hari, Hans rela ”berpatroli” ke hutan untuk memantau aktivitas burung di sana dan memastikan tak ada pemburu yang datang. Agar bisa menjaga hutan dengan baik, Hans juga lebih sering tinggal di guest house Papua Lorikeet dibandingkan dengan rumahnya karena lokasi penginapan itu lebih dekat dengan hutan. ”Kami menjaga hutan dengan ketat. Makanya, setiap hari harus saya kunjungi hutan,” ujarnya.

BIODATA

Nama: Hans Mandacan
Tempat, tanggal lahir: Kwau Manokwari, 1 Maret 1983
Istri: Derina Mandacan
Anak: Obaca Mandacan, Sostenes Mandacan, James Mandacan
Pekerjaan: Pengelola Ekowisata di Kampung Kwau, Kabupaten Manokwari, Papua Barat