Meskipun saat muda kerap berburu cenderawasih, Dance Wouw lalu mengubah jalan hidupnya. Dance kini menjadi pemandu bagi wisatawan dan ilmuwan yang ingin melihat langsung burung surga tersebut di Lembah Grime, Jayapura, Papua.

Profesi pemandu sudah ia lakoni 28 tahun terakhir. Sebagai pemandu, Dance tidak hanya bertugas mendampingi tamu melihat burung, tetapi juga menjaga cenderawasih dari perburuan serta turut melindungi hutan dari perambahan.

Kendati langit masih gelap, Dance Wouw sudah menunggu di salah satu pondok destinasi wisata pengamatan burung cenderawasih Rhepang Muaif. Lelaki berusia 61 tahun ini sudah tiba sejak pukul 02.00. Dia sudah bersiap karena tidak ingin mengecewakan tamu yang hendak melihat cenderawasih.

Dance adalah salah seorang pemandu wisata pengamatan burung atau bird watching di Rhepang Muaif, Distrik (kecamatan) Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua. Pada Rabu (24/11/2021) pagi, dia memandu tim Kompas melihat burung cenderawasih yang bertengger di tajuk pohon di hutan lebat lembah Grime.

Dance sama sekali tidak lelah walaupun wajahnya terlihat pucat karena masih dalam pemulihan setelah menderita sakit malaria.

Jarum jam menunjukkan pukul 04.30. Berjalan sekitar 15 menit, kami tiba di pos pemantauan 1. Menjelang tiba di menara pantau yang terbuat dari kayu setinggi 8 meter itu, Dance meminta kami mematikan senter. Sembari berbisik, dia menunjuk salah satu tajuk pohon yang disambung dengan kayu lurus menjulang sepanjang sekitar 10 meter. Di sana, beberapa ekor burung cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus) bertengger.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Dance Wouw, pemandu wisata (kiri) bersama tim Ekspedisi Tanah Papua di kawasan hutan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021).

Dance seperti sudah janjian dengan burung itu. Dari kejauhan terdengar bunyi wuaak.. wuaak.. wuakk. Dia menjelaskan suara tersebut menandakan cenderawasih mati kawat segera mendarat di tempat bertengger. Benar saja. Tak lama, burung yang ditunggu itu muncul.

Selesai mengambil gambar, Dance kemudian mengantar kami ke dua lokasi lain untuk melihat cenderawasih kuning kecil dan cenderawasih raja. Saat itu, matahari perlahan mulai muncul di sela-sela pohon. Dance sama sekali tidak lelah walaupun wajahnya terlihat pucat karena masih dalam pemulihan setelah menderita sakit malaria. Bahkan, ia dengan antusias menceritakan segala perilaku burung ataupun beberapa jenis bunyi cenderwasih saat menikmati sarapan pagi bersama tim di tempat penginapan.

Awalnya berburu

Hutan di wilayah Nimbokrang yang masuk dalam kawasan Lembah Grime menjadi tempat bermain Dance sejak kecil. Dance sama sekali tidak mengecap pendidikan di bangku sekolah selama hidupnya. Sejak usia belasan tahun, ia sudah mulai bekerja untuk membantu keluarganya. Selain bekerja serabutan, ia juga memasang jerat di hutan untuk mendapatkan rusa dan babi, serta berladang dan berburu burung cenderawasih untuk dijual.

Dalam sehari, Dance bisa mendapatkan 30 ekor burung cenderawasih. Saat itu, ratusan cenderawasih masih ditemui Dance setiap hari. Katanya, kondisi hutan waktu itu masih alami, belum terjadi penebangan kayu secara masif.

”Saat itu banyak tawaran dari pejabat dan oknum aparat keamanan yang ingin memiliki burung cenderawasih. Saya menjual satu ekor burung cenderawasih seharga Rp 15.000. Tindakan saya ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkap Dance.

Kompas/Hendra A Setyawan

Burung cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor) bertengger di pucuk pohon di kawasan hutan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021).

Hidup Dance berubah drastis saat ia bertemu dengan seorang transmigran bernama Jamel asal Jawa Tengah yang juga berada di Distrik Nimbokrang pada akhir tahun 1980-an. Jamel bagaikan seorang ayah dan guru yang mengajarkan banyak hal kepada Dance, berkebun tanaman yang bernilai ekonomis, seperti kelapa dan jeruk. Dari Jamel pula, Dance mengenal seorang akademisi peneliti burung asal California, Amerika Serikat, bernama David Spencer.

Jamel dan Dance yang mengantar David untuk mendokumentasikan aneka jenis burung di hutan Kampung Nembukrang Sari, Distrik Nimbokrang. ”Bapa Jamel bertugas sebagai penerjemah setelah belajar bahasa Inggris secara otodidak melalui kamus. Saya berperan menunjukkan lokasi hutan yang menjadi tempat bermain burung,” papar Dance.

Berkat film dokumenter David, burung cenderawasih dari Lembah Grime terkenal di luar negeri. Sejak itu pula banyak wisatawan asing yang datang ke Nembukrang Sari. Kampung inilah yang menjadi cikal bakal hadirnya ekowisata pemantauan burung cenderawasih di Kabupaten Jayapura.

Dance pun sangat menikmati pekerjaannya sebagai pemandu wisata karena sesuai dengan pengalaman dan kemampuan menguasai hutan. Biasanya, seusai mengantar satu rombongan wisatawan yang berjumlah lima hingga enam orang, Dance mendapatkan bayaran Rp 300.000 dari Jamel.

Ekowisata

Sampai tahun 2014, Dance masih membantu Jamel sebagai pemandu wisata pemantauan burung cenderawasih di Kampung Nembukrang Sari. Kemudian pada tahun yang sama, datanglah Alex Waisimon menemui Jamel dengan misi membangun ekowisata di kampungnya, Rhepang Muaif.

Dari Jamel dan Dance, Alex mengenal potensi ekowisata pemantauan burung cenderawasih yang begitu diminati para peneliti, fotografer, dan wisatawan mancanegara. Alex mengajak Dance, anak didik Jamel untuk membuka lokasi pemantauan burung cenderawasih di Bukit Isyo, Rhepang Muaif, dengan luas hutan mencapai 200 hektar persegi.

Rhepang Muaif dengan luas hutan 19.000 hektar menjadi habitat 58 jenis burung. Dari jumlah itu, terdapat tujuh jenis burung cenderawasih yang langka di kawasan hutan Rhepang Muaif. Khususnya di Bukit Isyo, terdapat lima dari tujuh jenis burung cenderawasih itu, antara lain cenderawasih mati kawat dan cenderawasih raja. Keduanya bahu-membahu menyosialisasikan potensi besar ekowisata pemantauan burung cenderawasih daripada menebang pohon dan berburu satwa endemik di hutan.

Dalam beberapa bulan saja, masyarakat setempat berhasil mencegah sekitar 50 aksi pembalakan liar oleh oknum pekerja beberapa perusahaan. ”Kami juga melarang keras masyarakat berburu burung cenderawasih di kawasan ekowisata. Apabila menemukan pelaku yang menembak mati burung, kami akan amankan dan menyerahkan ke pihak kepolisian untuk diproses hukum,” tegas Dance.

Masyarakat setempat selaku pemilik hak ulayat pun merasakan dampak ekonomi dari kehadiran ekowisata di Bukit Isyo. Sejak pembukaan pada tahun 2015, tempat ini terus dikunjungi wisatawan mancanegara dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, China, Korea Selatan, dan Jepang. Ada juga wisatawan lokal.

”Saya bertekad menjadi pemandu wisata di tempat ini hingga tidak mampu berjalan lagi. Hutan ini harus dijaga agar keindahan cenderawasih masih bisa disaksikan generasi muda puluhan tahun ke depan,” harap Dance. Kini, Dance dan masyarakat sekitar hutan tidak lagi menjadi pemburu, tetapi berteman dengan cenderawasih. (Fabio Maria Lopes Costa/Insan Alfajri)

Biodata:

Dance Wouw

Lahir: Nimbokrang, Kabupaten

Jayapura, 13 Maret 1960

Istri: Yuliana Yanteo

Anak: 6

Profesi: Pemandu Wisata Bird

Watching Isyo Hills Rhepang Muaif