Nenek moyangku orang pelaut,

Gemar mengarung luas samudra,

menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.

Angin bertiup layar terkembang,

ombak berdebur di tepi pantai,

pemuda b’rani bangkit sekarang

ke laut kita beramai-ramai…”

Syair lagu “Beramai ke Laut (Nenek Moyangku)” karya Ibu Sud ini eksis melintasi zaman. Sejak diciptakan pada 1940, lagu yang menegaskan karakter sebagai bangsa maritim ini masih tetap dikenal hingga sekarang.

Namun sepertinya, warisan genetika nenek moyang ini tidak terlalu terlihat pada sebagian besar kami, anggota tim Ekspedisi Tanah Papua. Ini terungkap saat April 2021 lalu kami berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Kabupaten Nabire, Papua, untuk meliput hiu paus (Rhincodon typus).

Harusnya jangan gantungkan pada hari esok. Eksekusi sebanyak mungkin pada kesempatan pertama. Karena esok hari adalah misteri.

Dari lima anggota tim, bisa dibilang hanya Harry Susilo (ILO), sang ketua ekspedisi yang paling siap “menerjang ombak dan mengarungi luas samudera”. Selain mempunyai sertifikat selam, ia dengan berbagai pengalamannya bekerja di laut, juga membekali diri dengan sejumlah peralatan yang mendukung tugas tersebut.

Videografer Alberdi Ditto Permadi yang akrab dipanggil Ditto, mengaku tidak bisa berenang. Saat SMP, ia pernah diceburkan ke kolam renang oleh teman-temannya. “Saya hampir tenggelam Mas,” katanya. Rupanya, ia trauma.

Dua anggota lainnya, yaitu Kelvin Hianusa (KEL) dan Fabio Maria Lopes Costa (FLO), mengaku bisa berenang tapi hanya sebatas di kolam renang. “Badan aja besar, tapi nyali tipis,” ledek saya kepada Fabio.

Teman yang bertugas di Papua itu memang mempunyai tubuh yang tinggi dan besar. “Gimana lagi Mas, itu laut lepas beda dengan kolam renang,” katanya beralasan sambil tersipu malu.

Saya sendiri sebenarnya tidak lebih baik dari itu, bisa berenang tapi tidak bisa menyelam sehingga masih pikir-pikir untuk menceburkan diri ke laut. Pernah dalam beberapa kesempatan snorkeling, saya terseret arus yang membuat mental jatuh.

Perbincangan santai itu berlangsung di sebuah hotel di Nabire yang kami inapi. Kami ngobrol sambil duduk mengelilingi meja bundar. Ini kumpul pertama semua anggota tim yang berasal dari wilayah tugas yang berbeda-beda. Saya bertugas di Surabaya, Jawa Timur, Ditto, Kelvin, dan ILO di Jakarta. Sedangkan Fabio di Jayapura, Papua.

Tentu pertemuan ini merupakan kesempatan untuk menyamakan visi dan misi mencapai target ekspedisi selama 15 hari ke depan. “Nanti Pak Bram akan datang dan bicara,” kata ILO di tengah-tengah perbincangan.

Cuaca buruk

Abraham Maruanaya atau akrab dipanggil Bram adalah pemandu wisata sekaligus pemilik resor Kali Lemon di perairan Teluk Cenderawasih. Di resor itu kami semua akan bermalam di sela liputan melihat pengembangan wisata hiu paus.

Tak lama, Pak Bram pun tiba. Sebagai pemilik resor ia terlihat bahagia. Bisa dibilang kami adalah tamu pertama sejak pandemi Covid-19 melanda. Namun, salah satu informasi yang dibawanya sempat membuat saya yang berperan sebagai “juru gambar” merasa cemas.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan lokal melihat Hiu Paus di salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021).

“Cuaca di laut mulai buruk. Biasanya hiu paus tidak mau menampakkan diri,” ujarnya dengan ekspresi datar. Tak terlihat kekhawatiran di sana.

Beda dengan saya. Kabar itu tiba-tiba memicu perut saya terasa sakit. “Ah, mudah-mudahan ia hanya bercanda,” batin saya menghibur diri.

Untuk melupakan kabar yang kurang menyenangkan itu, saya putuskan langsung tidur usai pertemuan berakhir. Tetapi pikiran tentang cuaca buruk rupanya sulit dienyahkan.

“Bukan hanya enggakakan dapat foto hiu paus. Bisa-bisa hanya dapat terombang-ambing di laut. Jauh-jauh kok hanya dapat mabuk laut,” pikir saya.

Untunglah, rasa lelah karena perjalanan panjang Jakarta-Makassar-Biak-Nabire, segera membuat saya tertidur. Sejenak, kekhawatiran itupun menguap.

Pukul 07.00 keesokan harinya, sebuah mobil telah siap di depan hotel. Tim Pak Bram menjemput kami. Bak mobil penuh berisi segala kebutuhan. Mulai dari bahan pangan, bahan bakar, hingga peralatan menyelam.

Kami pun bergegas agar bisa pulang tidak terlalu sore. Karena semakin sore, ombak semakin tinggi, yang dapat mempersulit perjalanan pulang ke resor. Setelah hampir satu jam perjalanan darat, kami pun tiba di dermaga. Sebuah kapal telah menanti.

Nakhoda segera menyalakan mesin setelah semua penumpang dan barang masuk kapal. Kami pun meninggalkan daratan menuju resor Kali Lemon.

Saat kapal mulai bergoyang-goyang oleh empasan ombak dan angin, topi yang dikenakan Kelvin terbang. Padahal, mesin kapal belum lagi lima menit menyala. Kelvin pun hanya bisa terperangah memandang topinya yang kemudian jatuh ke air dan menghilang bersama gulungan ombak.

Tentu saja ia sedih, kehilangan topi saat sedang sayang-sayangnya. Maklum, topi berlogo bintang itu belum lama ia beli, khusus untuk mengikuti ekspedisi ke Papua.

“Wah nanti kita bakal lihat hiu paus pakai topinya Kelvin,” goda saya. “Mudah-mudahan ini pertanda baik, ya,” lanjut saya yang disambut anggukan setuju semua anggota tim.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan berenang bersama hiu paus (Rhincodon typus) di dekat salah satu bagan di Teluk Cenderawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Papua, Jumat (23/4/2021). Hiu Paus di kawasan Taman Nasioal Teluk Cenderawasih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Di sepanjang perjalanan, langit tampak kelabu. Tak ada sama sekali pemandangan langit biru seperti yang biasa menghias angkasa Indonesia Timur. Pikiran saya tentang cuaca buruk yang membuat hiu paus menghilang ke dasar lautan, kembali muncul. Tiba-tiba kecepatan perahu berkurang. Kali Lemon yang kami tuju perlahan tampak.

Sesaat sebelum turun dari kapal, saya sempat mengecek sinyal ponsel dan mendapati tak ada strip di sana. “Selamat datang ‘liburan’,” batin saya tiba-tiba bersorak.

Liputan ke satu tempat tanpa sinyal bisa dianggap ‘liburan’. Apalagi jika tidak harus mengirim berita pada hari itu juga. Tentu saja tidak benar-benar liburan karena liputan tetap jalan. Hanya saja tidak diburu-buru tenggat. Sebaliknya, jika liputan dan harus mengirim berita tetapi tidak ada sinyal, itu namanya petaka.

Karena laut sedang pasang dan sedikit berombak, kapal tidak dapat merapat. Kami pun harus nyemplung ke laut lalu berjalan menuju pantai. Sungguh sebuah awal yang istimewa.

Pak Bram hanya mengizinkan kami istirahat sejenak di resor. Ia segera mengajak kami “berburu” hiu paus yang oleh warga setempat dinamai gurano bintang atau hiu bodo.

“Ayo semua, kita langsung cek ke bagan. Ada info beberapa hiu paus berada di sana mencari makan,” ujarnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Hiu paus (Rhincodon typus) muncul di dekat salah satu bagan di Teluk Cenderawasih, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, Minggu (25/4/2021).

Bagan adalah semacam rumah atau perahu apung untuk menangkap ikan yang terletak di tengah laut. Benar saja, tak lebih dari 30 menit perjalanan laut dari Kali Lemon, tibalah kami di sebuah bagan.

Tampak puluhan burung camar terbang berkeliling di atasnya mengincar ikan-ikan kecil. Di bagan milik Suherman itu, tampak berenang tiga ekor hiu paus.

Setelah kapal ditambatkan, kami mulai naik ke bagan. Hanya ILO yang tertinggal di kapal karena masih harus mengenakan pakaian selamnya.

Dengan susah payah, kami meniti bambu yang dijadikan pijakan naik ke bagan. Beberapa rekan Suherman turut membantu. Tiba di salah satu titik, saya menyaksikan ketiga hiu paus tengah berenang dengan tenang. Saya pun mengabadikannya.

Secara pribadi baru kali ini saya melihat hiu paus berenang dengan bebasnya. Biasanya, saya melihat hiu paus yang panjangnya bisa mencapai tujuh meter itu, dalam kondisi mati terdampar di pesisir Jawa.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Hiu Paus bermain di sekitar salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021).

Kami berempat memutuskan meliput dari atas bagan saja. Sementara, Pak Bram, tetap berada di kapal sambil asyik memancing. “Bah, enggak turun?” tanya ILO sesaat sebelum menyelam. “Besok aja Bro. Amanin gambar dari atas dulu,” jawab saya mengelak.

Dengan kamera aksi di tangan, ILO mengambil video dan foto-foto bawah air. Ada perasaan telah berlaku tidak adil karena melihat teman yang seharusnya tidak mengambil foto, justru mengambil foto yang adalah tugas saya.

Saya putuskan untuk turun ke laut esok hari sambil mempersiapkan mental. Ternyata, terus-menerus berada di bagan juga tidak enak. Bagan yang berayun-ayun diempas ombak membuat pusing. Saya mulai mabuk laut.

Keringat dingin mengucur deras. Isi perut tiba-tiba mendesak ingin keluar. Untungnya, sebelum peristiwa yang lebih memalukan terjadi, kami diminta segera bersiap meninggalkan bagan untuk pulang ke resor.

Gokil ya, gede banget,” kata saya mengagumi “si raksasa” yang baru kami lihat di habitat aslinya. “Makanya besok turun,” ajak ILO.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan menyelam bersama hiu paus di dekat salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021).

Kami mulai berburu hiu paus lagi. Setelah mencari-cari beberapa saat, ternyata bagan-bagan yang kami singgahi kemarin, telah bergeser posisinya.

Cuaca yang tidak bersahabat malam harinya, membuat bagan-bagan tersebut dipindahkan ke tempat yang aman. Di lokasi yang baru ini, tak satupun hiu paus terlihat.

Kapal yang kami tumpangi bergoyang cukup kencang. Beberapa pukulan ombak ke badan kapal yang terbuat dari fiber itu, mengeluarkan suara yang sangat keras. Brak! brak! Suara keras itu tak mampu mengusir kekecewaan kami yang tidak bisa bertemu hiu paus.

Dengan perasaan kecewa ditambah ketar-ketir melihat ombak yang datang menampar kapal dari segala arah, kami terpaksa pulang ke resor. Namun di sela perjalanan, kami sempatkan mampir ke Desa Kwatisore, untuk melihat warga yang berhasil memanfaatkan daya tarik hiu paus untuk meningkatkan ekonomi mereka.

Sebelum pandemi, desa ini banyak dikunjungi wisatawan usai acara melihat hiu paus. Kebanyakan adalah wisatawan asing penumpang kapal pesiar. Melihat peluang ini, warga membuat cinderamata berbentuk hius paus untuk dijual. Warga yang semula menganggap hiu paus adalah pembawa musibah, kini menganggapnya sebagai pembawa berkah.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Yustina Mirino (51) membuat gantungan kunci berbentuk hiu paus di Kampung Kwatisore, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Sabtu (24/4/2021). Banyak wisatawan yang ingin melihat hiu paus di Teluk Cenderawasih kemudian mampir ke kampung untuk mebeli kerajinan buatan warga.

Untuk melupakan kekecewaan tak bisa berjumpa hiu paus, kami pun berbelanja suvenir. Warga tampak senang karena sudah lama tidak ada wisatawan datang. Dengan ramah, mereka melayani kami dan segala pertanyaan yang muncul tentang kerajinan yang mereka buat. Tentu saja hal menarik seperti ini sayang dilewatkan begitu saja tanpa menjadikannya bahan liputan.

Saat kami akan kembali ke kapal, seorang perajin berlari menyusul lalu menyerahkan sekantong gantungan kunci. “Buat kenang-kenangan, daripada rusak tidak terjual,” kata dia lalu kembali masuk ke dalam rumah. Kebaikan hati warga membuat hati kami gembira. Sejenak terlupa dengan kecewa.

Esok paginya, seekor burung kapasan menyambut kami di demarga. Ia melompat-lompat dan bercericit di atas sebuah tonggak, bak menari dan bernyanyi dengan riang. Seolah ingin menghibur saya yang sedih melihat awan hitam kembali bergulung di langit.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Soleman Hamberi (36) di depan rumahnya yang berhias gambar hiu paus di Kampung Kwatisore, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, Sabtu (24/4/2021). Masyarakat di Kampung Kwatisore kini berdampingan hidup dengan Hiu Paus yang ada di Teluk Cenderawasih.

Tak berapa lama, Ditto bergabung sambil membawa kamera mirrorless-nya. “Wah mendung, Mas,” ujarnya menggenapkan kekecewaan saya.

“Kita harus turun nih, Dit. Soalnya masih kurang banget gambar hiu pausnya,” ajak saya pada Ditto agar mau berenang di laut.

Kesempatan yang mustahil

Cuaca masih tidak bersahabat saat kami tiba di penginapan. Hari itu adalah hari terakhir kami di Teluk Cendrawasih. Hanya sekali kami berkesempatan melihat hiu paus. Rasa kecewa rupanya kembali muncul di wajah kami.

“Sudah, enggak papa. Foto bawah airnya bisa pakai foto gue,” ujar ILO mencoba menenangkan. Sore itu kami berencana kembali ke kota untuk melanjutkan agenda lainnya.

Melihat kami kecewa, Pak Bram tiba-tiba menawari kami untuk bermalam satu hari lagi di resornya. “Kalian ganti biaya makan saja,“ ujar Bram.

Tawaran ini sulit dipercaya pada awalnya karena biaya menginap yang cukup mahal per orang. Tidak menunggu lama, ILO menyanggupi. Malam itu, kami kembali bermalam di Kali Lemon. Dalam gelap pesisir Teluk Cendrawasih, kami berharap semesta mendukung usaha kami di esok hari.

Keesokan paginya, kami kembali menyusuri satu persatu bagan di tengah debur suara ombak. “Sepertinya benar ucapan Pak Bram, cuaca buruk membuat hiu paus enggan menampakkan diri,” pikir saya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Nelayan melihat Hiu Paus di salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021). Hiu Paus di kawasan Taman Nasioal Teluk Cendrawasih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Dalam waktu tertentu hiu paus tersebut mencari makan di sekitar bagan dan wisatwan dapat melihatnya dari dekat.

Pagi itu, semua orang tidak banyak bicara. Hanya ada bising suara mesin dari kapal yang tengah bersusah payah membawa kami melewati ombak tinggi dan terpaan angin. Baju kami basah oleh empasan air yang masuk ke kapal.

“Kita coba bagan terakhir ya,” ujar Pak Bram sambil menunjuk ke satu tempat. Sudah semua bagan kami kunjungi. Bagan itu adalah yang ketujuh setelah di bagan-bagan lain yang kami datangi hasilnya nihil.

“Ah sudahlah, kami gagal,” saya meratapi nasib.

Penyesalan karena tidak ikut turun ke laut pada hari pertama, kembali mengusik pikiran. “Harusnya jangan gantungkan pada hari esok. Eksekusi sebanyak mungkin pada kesempatan pertama. Karena esok hari adalah misteri,” kecamuk di pikiran saya bersahutan atas kebodohan yang saya lakukan.

Saya hanya berharap muncul keajaiban. Namun, perut saya terasa mual karena terpaan ombak pada kapal. Rasa mual ini semakin membuat pikiran tak karuan. Terpaan ombak saya rasakan bak menghancurkan semua harapan yang ada, tak tersisa sedikitpun.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Hiu Paus bermain di sekitar salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021).

“Hiu paus…hiu paus!” seru seorang anak buah kapal tiba-tiba.

Kami pun sontak terjaga. Ombak membuat kapal harus sandar dengan susah payah ke bagan. Namun, kemudian muncul keanehan.

Ketika ILO dan Pak Bram menceburkan diri ke laut untuk menyelam, dan saya mulai ber-snorkeling dengan sisa sisa semangat, laut berubah menjadi tenang.

Awan kelabu yang sedari pagi menemani kami, menghilang. Perubahan cuaca itu juga dirasakan teman-teman lainnya. “Ajaib,” sayapun sibuk memotret dengan kamera aksi.

“Ayo KEL, FLO, Ditto, nyebur! Keren banget ini,” ajak saya pada rekan-rekan.

Walaupun keberanian kami tak ada seujung kaku nenek moyang yang tak takut menerjang ombak, berani menempuh badai dan samudera luas, kami bersyukur mendapat warisan sikap tak mudah menyerah.

Mereka masih terlihat khawatir. Namun setelah mengetahui saya begitu menikmati suasana surgawi tersebut, mereka tak tahan untuk ikut bergabung. “Setidaknya dicoba dulu,” teriak saya menyemangati.

Dengan jaket pelampung yang terpasang erat, kami berlima menggenapkan perjalanan pencarian hiu paus. Ketakutan karena tidak bisa berenang, terbawa arus atau hilang di laut lepas, tak lagi dirasa.

Setelah cukup mengambil foto dan video untuk kebutuhan liputan, kami pun bersenang-senang di laut. “Anggap saja liburan!” teriak saya yang disambut tawa anggota tim.

Fabio yang awalnya takut, tiba-tiba seperti seorang ahli berenang walaupun tangannya tidak bisa lepas dari bambu bagan. Sesekali terdengar teriakannya karena badan yang tiba-tiba tersenggol oleh hiu paus.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan menyelam bersama hiu paus di dekat salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021).

Ditto yang mengaku trauma, berkali-kali minta difoto sambil bergaya dengan latar belakang laut lepas atau hiu paus. Sementara Kelvin sibuk meluncur dari satu bambu ke bambu lainnya.

Alih-alih menikmati pemandangan hiu paus, ia menggunakan kesempatan itu untuk memperlancar kemampuan berenang. Mungkin ia berencana kembali ke tempat itu untuk berenang bersama hiu paus tanpa rasa takut.

Tak ada lagi yang bersedih. Semuanya gembira. Namun, waktulah yang kemudian memutus kegembiraan kami. Karena tidak ingin terjebak cuaca buruk yang biasa muncul di sore hari, kami segera kembali ke penginapan untuk kemudian kembali ke kota.

Terngiang kembali lagu Nenek Moyangku karya Ibu Sud. Walaupun keberanian kami tak ada seujung kaku nenek moyang yang tak takut menerjang ombak, berani menempuh badai dan samudera luas, kami bersyukur mendapat warisan sikap tak mudah menyerah.

Setidaknya tidak menyerah saat harus mencari “si besar” di habitat aslinya. Demi berbagi kisah tentang salah satu keanekaragaman hayati di timur Indonesia ini. Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan.

Terima kasih Tuhan! Terima kasih laut! Terima kasih hiu paus! Terima kasih Papua! Terima kasih telah mengajarkan arti kesabaran dan persahabatan, yang kami perlukan untuk menjalani kehidupan setelah kami kembali pulang. (Bahana Patria Gupta)