Ukiran Asmat semakin kerdil. Dulunya besar-besar, terus jadi kecil,” ujar Erik Sarkol. Ketika ditanya soal penyebab perubahan pada karya seni orang Asmat di Papua. Kepala Museum Kebudayaan Asmat di Agats, Papua itu melanjutkan, “Ya instan to, masyarakat Asmat sudah makan makanan instan,” katanya sambil terkekeh-kekeh pada Senin (11/10/2021).
Hal itu ia perhatikan sejak pertama kali bertugas di museum tersebut mulai tahun 1974. Di antara 700-an koleksi patung dan ukiran di museum, Erik menunjukkan beberapa karya masyarakat Asmat yang saat ini jamak dijumpai dalam ukuran yang lebih kecil.
Misalnya, patung mbis atau patung roh. Karya yang terbuat dari batang kayu mangrove itu di masa silam tingginya mencapai 10 meter. Ukiran itu membentuk sosok manusia yang saling menopang hingga ke ujung atas.
Bentuknya boleh mengecil, tetapi keagungan dan nilai luhur ukiran Asmat harus terus hidup dan menghidupi.
Erik menjelaskan, patung tersebut digunakan oleh masyarakat Asmat pada upacara adat untuk mengenang leluhur. Sosok manusia yang diukir melambangkan tokoh kampung berpengaruh yang sudah meninggal. Hanya orang-orang yang dinilai penting dan disegani di kampung yang diukir menjadi mbis.
Kini, ukiran menyerupai mbis mudah ditemukan dengan ukuran yang lebih kecil. Ada yang membuatnya dengan tinggi kurang dari tiga meter. Menurut pengamatan Erik, perubahan itu terjadi lantaran adanya permintaan dari pembeli atau kolektor.
Salah satu alasan meminta ukuran lebih kecil yaitu agar memudahkan pengiriman. Ketika ukiran dalam ukuran lebih kecil, biaya pengiriman ke luar Asmat pun akan lebih murah.
Hubungan kolektor dan penjual karya seni dengan pengukir Asmat setidaknya terjalin sejak 1981, tahun pertama festival budaya Asmat. Kegiatan tahunan itu menyeleksi sekaligus memperlombakan seni ukir Asmat. Para kolektor dari dalam dan luar negeri datang untuk membeli dan melelang ukiran. Bahkan, dari gelaran tersebut, sejumlah pengukir berkesempatan pameran di Amerika Serikat dan Jerman (Kompas, 6/1/2006).
Karya-karya yang tak lolos kurasi dijual di tepi-tepi jalan. Di saat itu, sejumlah pembeli memesan langsung kepada para pengukir. Beberapa meminta desain dan karakter yang mereka inginkan.
Dari interaksi tersebut, perlahan dan pasti para wow cescu ipits (sebutan pengukir Asmat) tak melulu berpaku kepada guratan, cukilan, dan motif seperti yang diwariskan leluhur. Beberapa ukiran menampilkan karakter yang sebelumnya tak ada, seperti naga atau huruf-huruf.
Di satu sisi, festival tahunan itu membantu mengenalkan ukiran Asmat ke dunia. Para pengukir jadi bisa menjual dan melombakan ukirannya. Belakangan, bahkan setiap kepala dinas di Asmat menyiapkan anggaran untuk memeriahkan lelang ukiran pada festival. Pada 2006, sebuah ukiran bisa laku hingga Rp 30 juta.
Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM menilai, ciri komersial ukiran kemudian tampak. Para pengukir ingin menjual ukirannya dengan harga terbaik dan sesuai selera pasar. Namun, setelah momen festival usai, para wow cescu ipits kembali menemukan kendala.
“Dalam kehidupan sehari-hari sejumlah warga mencoba mengukir untuk mendapatkan uang. Namun, pemasaran di sini agak susah,” ujarnya.
Sebenarnya, banyak sekali pengukir andal di Asmat. Hal itu terlihat dari ukiran yang lolos kurasi saat festival.
Pada 2019, setidaknya ada 200 seni ukir yang lolos kurasi untuk dilombakan dan lelang. Namun, sejumlah faktor membuat karya-karya itu tak terserap pembeli di luar gelaran festival. Misalnya, letak geografis Asmat yang sulit dijangkau. Untuk menuju Agats, pusat pemerintahan Kabupaten Asmat, pengunjung perlu naik pesawat ke Bandar Udara Ewer, kemudian naik perahu cepat sekitar 1 jam.
Kunjungan turis dari luar daerah dan luar negeri pun tak selalu ada. Di luar festival, beberapa orang yang berkunjung ke sana yaitu pejabat provinsi atau perwakilan pemerintah pusat. Akibatnya, banyak seni ukir yang tak terjual karena minimnya pesanan dan kunjungan turis.
Hal itu berkelindan dengan persoalan ekonomi warga. Sebagian besar orang Asmat merupakan peramu. Sejumlah warga yang minim pendidikan dan keahlian mengandalkan hidup dari bantuan langsung tunai atau bantuan sembako pemerintah.
Oleh karena minim pengunjung dan ukiran tak terdistribusi, sejumlah pengukir menawarkan ukirannya kepada Uskup Agats atau imam katolik yang bertugas di kampung-kampung. Murwito bercerita, kerap didatangi tiba-tiba sejumlah warga yang menawarkan ukiran. Beberapa ukiran dikerjakan dengan baik, sisanya seperti dibuat terburu-buru, terlihat dari guratan yang belum dihaluskan.
“Kadang, malam-malam, ketika sudah tak ada tamu, ada yang datang menawarkan ukiran. Beberapa beralasan karena uang sudah habis,” ujar Murwito.
Salah satu tokoh pengukir Asmat dari Distrik Sawaerma, Rufus Sisomor Sati, prihatin dengan kondisi tersebut. Ia menilai, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk mengangkat kualitas hidup para wow cescu ipits di Asmat.
“Saya pribadi menangis. Kita harus berbuat banyak untuk bisa menguntungkan kita ke depan yang berhubungan dengan nilai adat. Bekerja sama dengan gereja dan pemerintah,” kata pria berusia 68 tahun itu.
Nilai-nilai baru
Di samping persoalan kesejahteraan pengukir, ada nilai-nilai yang menguat dan berkembang dalam kebudayaan Asmat. Rufus tidak khawatir dengan adanya sejumlah adaptasi bentuk dan motif yang ada di ukiran Asmat.
Menurutnya, itu untuk menunjang perkembangan kebudayaan di sana. Ia yakin bahwa motif, guratan, dan corak khas Asmat akan selalu ada pada ukiran-ukiran karya masyarakat Suku Asmat.
Sebab, sebagian besar kemampuan mengukir di Asmat diperoleh turun-temurun. Kehidupan masyarakat Asmat sebagai peramu selalu menjadi tema-tema utama para pengukir. Para wow cescu ipits juga mendokumentasikan sejumlah flora dan fauna yang ada di alam rawa Asmat, tempat hidup mereka.
Saat Kompas berkunjung ke Kampung Er, tempat Rufus tinggal, hampir di setiap rumah terdapat ukiran. Misalnya, tameng kayu dengan tinggi mencapai dua meter terdapat di beberapa rumah warga. Meskipun sudah tak ada perang, ukiran tameng masih dibuat untuk sejumlah kegiatan adat atau kegiatan budaya.
Menurut Rufus, banyak hal bagus yang berkembang dengan masuknya budaya dan nilai baru. Misalnya, di masa silam ukiran manusia dibuat untuk mengenang sanak keluarga yang tewas dibunuh saat perang suku. Patung tersebut dibuat keluarga yang hidup untuk mengingat kematian orang terdekat dengan maksud membalaskan dendam.
Setelah masuknya intervensi dari gereja dan pemerintah, setidaknya mulai tahun 1950-an, urusan balas dendam yang menghiasi motif pada ukiran perlahan bergeser. Nilai-nilai baru yang masuk ke Asmat ikut ambil bagian dalam meredam konflik antarsuku yang kerap menimbulkan korban jiwa.
Sebelumnya, hanya ikatan warga satu kampung yang kuat sehingga konflik dengan warga kampung lain kerap terjadi. Saat ini, antarkampung memiliki hubungan yang semakin erat dengan adanya kegiatan bersama, seperti pagelaran budaya atau hubungan jual-beli. Nilai-nilai itu kemudian meresap pada seni ukir Asmat dewasa ini.
“Zaman sudah maju. Jadi, (ukiran) tidak lagi untuk balas-membalas (dendam), hanya untuk mengenang yang sudah tiada. Itu membentuk jati diri, sebagai modal dasar menanamkan persatuan,” kata Rufus.
Sekelumit persoalan ukiran Asmat itu menunjukkan kebudayaan Asmat terus bergerak sekaligus memiliki permasalahannya sendiri. Seperti yang Rufus bilang dan Kompas jumpai, kedekatan Suku Asmat dengan alam masih tetap terpancar dalam seni ukir.
Namun, kekhawatiran Erik Sarkol agaknya bisa dijadikan pijakan untuk menyejahterakan para wow cescu ipits. “Bentuknya boleh mengecil, tetapi keagungan dan nilai luhur ukiran Asmat harus terus hidup dan menghidupi,” katanya. (Sucipto/Dionisius Reynaldo Triwibowo)