Masyarakat lokal di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, punya acara unik untuk menjaga hubungan kekeluargaan antara masyarakat yang tinggal di pegunungan dan pesisir pantai. Melalui kegiatan pertukaran hasil bumi di Pasar Mambunibuni, masyarakat saling melengkapi kebutuhan sehari-hari sambil menjaga indahnya silaturahmi.

Pasar Mambunibuni yang buka setiap Sabtu, terletak di antara lembah dan hulu sungai di Distrik Kokas, Fakfak. Lokasinya berjarak 60 kilometer dari pusat kota Fakfak. Menuju pasar ini dapat dilakukan dengan melintasi sungai/laut maupun jalur darat.

Bagi masyarakat lokal di daerah pesisir, mereka menuju ke pasar menggunakan perahu “johnson” –begitu nelayan setempat menyebut perahu mesin tempel– sambil membawa hasil tangkapan nelayan. Dengan memakai perahu seperti ini, Sabtu ketiga bulan Juni 2021, tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas menuju pasar Mambunibuni dari rumah warga tempat kami menginap di Kampung Masina, Kokas. Perjalanan sekitar 45 menit menyusuri pantai yang saat itu bercuaca cerah dan laut teduh.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga menurunkan ikan asap dari perahu untuk dijual di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Saat langit masih gelap di hari itu, Ghani Taruma (70) juga sudah berangkat dari tempat tinggalnya di Kampung Darembang, Distrik Kokas. Ia menempuh dua jam perjalanan menggunakan perahu sederhana.

Di perahunya, ia membawa hasil tangkapan nelayan, seperti ikan sembilang, ikan mangiwang, dan siput laut. Sekitar pukul 07.00, Ia tiba di pasar. Ia segera mencari tempat strategis untuk memasarkan hasil laut.

Ghani kemudian menata hasil tangkapan nelayan di atas terpal. Ikan dihitung dan diikat menggunakan karet, kemudian ditata. Sebagian ikan sudah diasar atau diasapkan. Ada juga ikan segar dan ikan asin. Semua ikan yang dibawa ke pasar merupakan hasil tangkapannya.

Mereka tetap menjaga sistem barter agar saling bertemu. Mereka bertemu untuk saling menghidupkan.

“Saya menangkap menggunakan jaring. Setelah ditangkap, ikan diasar. Hari Sabtu dibawa ke sini untuk dibarter. Hari lain saya tidak berjualan, hanya Sabtu saja,” katanya.

Ghani sudah sudah puluhan tahun berjualan di pasar barter mengikuti tradisi leluhur. Di dekatnya, pedagang lain juga membawa hasil bumi. Mereka yang tinggal di daerah pantai membawa berbagai jenis ikan. Sementara warga lokal yang tinggal di pegunungan membawa hasil kebun, seperti pisang, sayuran, keladi (umbi-umbian), sirih, dan pinang.

Tepat pukul 09.00, kepala pasar Phillipus Muri, yang dipercaya sebagai pengomando, memberi tanda dimulainya barter menggunakan bahasa lokal. “Pheh rangge!,” teriaknya sambil mengangkat tongkatnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Barter atau saling tukar barang antarwarga di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Artinya, “Bersiap, sudah mulai saling tukar!” Tanpa tanda itu, tidak ada yang berani memulai proses barter. Begitu tanda dibunyikan, pasar yang tadinya riuh berubah sunyi karena semua orang berkonsentrasi pada kegiatan tukar-menukar.

Dengan cepat, setandan pisang bertukar dengan ikan asar. Ada juga yang menukarkan keladi dengan ikan segar, atau hasil perkebunan lainnya dengan hasil laut. Tidak ada ketentuan kualitas dan kuantitas hasil bumi yang ditukarkan. Semua tergantung dengan kesepakatan para pedagang. Mereka mengukur sendiri kondisi barang yang hendak ditukar.

Ghani memandang terpalnya. Dalam waktu kurang dari satu jam, hasil tangkapannya sudah pindah tangan. Kini terpalnya dipenuhi dengan sayur dan pisang. Ia tersenyum melihat semua barangnya laris.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Barter atau saling tukar barang antarwarga di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

“Nanti pisang buat saya makan sendiri, atau kalau masih sisa saya jual di kampung,” katanya.

Hasil bumi terbaik

Nurbaya Taruma (45) mengatakan, tidak ada aturan tertulis mengenai jenis atau jumlah hasil bumi yang hendak ditukar. Namun, para pedagang sudah tahu hanya hasil bumi yang terbaiklah yang boleh ditukarkan. Selain itu, ikan asap harus ditukar dengan sayuran.

Ia menjelaskan, zaman dahulu masyarakat pesisir membawa ikan asap ke desa-desa di daerah pegunungan agar saudara-saudara mereka bisa menikmati hasil laut. Dalam perjalanan ke daerah gunung, mereka akan menolak apabila ada yang ingin membeli ikan asap dengan uang tunai. Lain halnya dengan ikan segar boleh dijual dengan uang tunai karena jenis ikan ini cepat rusak atau membusuk.

“Ikan asap kan tahan lama. Kalau dijual, nanti saudara-saudara di gunung tidak bisa makan ikan. Makanya tidak boleh dijual, harus ditukarkan dengan sayuran,” katanya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Proses barter atau saling tukar barang di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Tradisi itu masih berlangsung meskipun sekarang nelayan sudah tidak naik ke gunung untuk menukarkan hasil tangkapan mereka. Sekarang ada pasar barter yang menjadi jembatan pertemuan masyarakat lokal dari daerah pegunungan dan pesisir pantai. Lokasi pasar barter yang strategis, di tengah, membuat masyarakat gunung dan pantai senang datang ke sini.

Fani Tigtigweria (27), warga Kampung Mandoni, ikut menjual hasil kebunnya di Pasar Mambunibuni. Saat itu, ia hanya membawa tiga ikat bayam dan dua tandan pisang untuk dibarter. Hasilnya, ia mendapat tiga ikan asap dan dua plastik kerang.

“Itu saya harus tanya harga dulu, pas tidak kah, baru mulai tukar,” kata Fani

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga Mambubuni dan sekitarnya dari pegunungan dan dari pesisir melakukan jual beli dengan cara barter, tukar menukar barang, di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Ia menyampaikan, harga ikan yang dibawa nelayan beragam, mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 20.000. Karena itu, jika dia ingin menukar pisangnya yang seharga Rp 20.000 misalnya, buah itu tidak boleh ditukar dengan ikan seharga Rp 10.000.

“Nanti, saya yang rugi. Kalau saya punya hasil kebun bagus, harus ditukar juga hasil nelayan yang bagus. Jadi, ada nilai yang pas, baru kita sepakat tukar,” ucap Fani.

Kepala pasar Phillipus Muri mengatakan, di Semenanjung Onim, yang membentuk wilayah di Kabupaten Fakfak, pasar barter biasanya disebut dengan gona atau pheh. Dulunya, ada beberapa lokasi pasar barter, seperti di Kampung Kayuni dengan siklus enam harian (pasar panjang) dan di wilayah Pertuanan Pikpik yang punya siklus lima harian (pasar pendek).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga membawa pulang aneka barang hasil membeli maupun barter di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Namun, kedua pasar itu kini sudah tutup karena sempat ada konflik. Pasar kemudian dipindahkan ke Mambunibuni. Pasar ini sudah ada sejak tahun 1990-an, tapi sistem barter yang digunakan sudah berlangsung ratusan tahun. Tradisi barter muncul, menurut Phillipus, karena pada dasarnya setiap manusia hidup saling melengkapi.

“Macam Bapak dong (mereka) begini kan tidak mungkin pergi cari ikan. Makanya orang yang tinggal di pantai, di laut, datang bawa ikan, kitong (kita) datang dari gunung bawa hasil gunung. Hasil nelayan ditukar dengan hasil kebun, jadi saling melengkapi,” katanya.

Kegiatan barter biasanya dilakukan tepat pukul 09.00. Sebelum waktu yang disepakati itu, tidak boleh ada yang memulai pertukaran. “Kalau tanya harga saja boleh, lalu kasih tinggal saja. Nanti setelah saya teriak, baru boleh ambil,” katanya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga Mambubuni dan sekitarnya duduk santai menunggu dimulainya barter atau tukar menukar barang di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Menurut Phillipus, hal ini dilakukan untuk menjaga ketertiban dan untuk saling menghargai. Sistem barter, menurutnya, sangat baik untuk masyarakat Fakfak karena ini berarti masyarakat baku tukar atau saling melengkapi dalam hidup sehari-hari.

Raja Pertuanan Wertuar, Musa NP Heremba mengatakan, meskipun sistem jual beli sudah berkembang menggunakan uang tunai, aktivitas pertukaran hasil bumi dengan sistem barter masih bertahan di Fakfak. Menurutnya, ada hal yang tidak bisa digantikan uang, yaitu pertemuan antara manusia gunung dan pantai.

“Mereka tetap menjaga sistem barter agar saling bertemu. Mereka bertemu untuk saling menghidupkan,” katanya.

Musa menjelaskan, sejak dahulu tidak ada aturan baku mengenai jenis atau volume barang yang ditukarkan. Semua pedagang mengukur nilai hasil bumi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan ukuran ini, mereka menentukan nilai barang. Proses tukar-menukar dijalani dengan asas kekeluargaan dan saling percaya.

“Tidak ada paksaan. Prinsipnya saling menukarkan agar sama-sama senang,” jelasnya.

Dengan sistem perdagangan yang unik ini, menurut Musa, pasar barter bisa dikembangkan dan dijadikan objek wisata. Namun, ntuk mengembangkannya perlu proses yang tak mudah mengingat lokasi yang terpencil dan akses ke pasar tersebut cukup menantang.

Menurut Bupati Fakfak Untung Tamsil, pasar barter di Mambunibuni merupakan fenomena masyarakat yang sangat menarik. Hal ini dilakukan untuk menjaga hubungan kekeluargaan di antara mereka yang tinggal di gunung dan di pantai.

“Sistem ini harus tetap dijaga dan dilestarikan karena ini merupakan fenomena yang baik untuk menjaga silaturahmi,” kata dia. (Denty Piawai Nastitie/Nikolaus Harbowo)