Bagai sebuah anomali di tengah sistem sosial yang selama ini ada di Tanah Air, Suku Korowai tidak memiliki sistem kepemimpinan tetap, seperti kepala suku, panglima perang, ataupun raja. Masyarakatnya hidup tanpa pelapisan sosial, tanpa sekat perlakuan antara perempuan dan laki-laki, apalagi antara ‘si miskin’ dan ‘si kaya’.

“Kepala suku hanya ada di kampung karena itu aturan pemerintah,” ujar Ndahi Dayo (50), tetua suku Korowai,saat ditemui, di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Rumah pohon yang dikelilingi hutan di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Hutan adalah sumber penghidupan. Bagi Suku Korowai, kelaparan tidak akan terjadi sepanjang mereka menjaga hutan dengan baik. KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kata pemimpin memang tidak ada dalam kosakata bahasa Korowai. Mereka hanya mengenal kata ‘khabean’ yang berarti kepala sebagai anggota tubuh. Ketiadaan sosok pemimpin tak menjadikan kehidupan suku Korowai berantakan. Mereka tetap hidup harmonis selama ratusan tahun.

Baca juga : Derita Warga Sima Setelah Hutan Sirna

Sistem pemerintahan modern baru muncul ketika pemerintah masuk sekitar dekade 1980 -an. Saat itu, pemerintah membentuk kampung-kampung di pinggiran Sungai Deiram untuk memobilisasi Suku Korowai yang tinggal berjauhan di dalam hutan. Setiap kampung mempunyai kepala kampung.

Uniknya, kendati tanpa sosok pemimpin, tetapi ada pengakuan dan penghormatan akan hak milik pribadi. Pengakuan hak milik pribadi ini berlaku untuk siapa pun baik laki-laki atau perempuan, anak atau orang tua. Tak ada hukum adat tertulis, pengakuan atas hak pribadi diwarisi turun-temurun dari nenek moyang.

“Kami tidak boleh memanen tanaman milik orang lain, memburu hewan yang bukan milik kami. Jika dilakukan, alam biasanya yang akan membalas,” kata Ndahi, yang berbincang sembari menidurkan anak bungsunya, Debi (4), Maret 2020 silam.

Berbagi peran

Kesetaraan nampak jelas dalam kehidupan sosial Suku Korowai. Ndahi menggendong Debi (4), anak bungsunya, sampai tertidur. Dia tak sungkan mengerjakan tugas-tugas domestik yang kerap dilakukan perempuan pada umumnya. Dia dan istrinya, Dinggok Dayo (40), bergantian mengurus anak di rumah.

Biasanya, Ndahi mengurus anak ketika istrinya pergi menokok sagu, membuat perangkap ikan, atau mencari bahan makanan. Setelah sang istri tiba di rumah, dia bergantian pergi ke hutan untuk berburu dan mencari bahan makanan. Pembagian peran domestik ini sudah turun-temurun.

“Justru kalau laki-laki akan sangat memalukan kalau tidak mau gendong anak,” ujar Ndahi sambil terkekeh.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anak-anak Korowai sedari kecil diajak berburu ke hutan di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Jumat (6/3/2020). Warga masih berpola hidup berburu dan meramu. KOMPAS/AGUS SUSANTO

Prinsip kesetaraan terpatri sejak dini. Anak-anak biasanya melihat kebiasaan orangtua, tanpa harus diajari langsung. Dian Hanai (11) misalnya, sudah terbiasa menokok sagu, mencari ikan di sungai, atau mencari ulat sagu ke hutan.

Semua keahlian Dian untuk bertahan hidup tidak pernah diajarkan orangtuanya. Dia hanya memerhatikan keseharian ibu dan bapaknya. Seiring bertambahnya usia, Dian juga memahami prinsip kesetaraan dan pengakuan hak milik pribadi. Semua hal boleh dilakukan asal tidak menyinggung orang lain. “Saya hanya melihat dan mengamati,” kata Dian dalam Bahasa Indonesia lancar.

Dalam kehidupan dewasa, perempuan dan laki-laki terbiasa membagi beban tanggung jawab sejak awal. Perempuan bisa mengerjakan apa saja yang dikerjakan laki-laki, atau sebaliknya, kecuali hal-hal yang sifatnya biologis.

Rhidian Yasminta Wasaraka, peneliti dan penulis buku “Perempuan Perkasa: Belajar Praktik Kesetaraan dalam Budaya Suku Korowai” menuturkan, Suku Korowai sangat menghormati perempuan di tengah budaya patriarki yang kuat. Pewarisan nama keluarga diberikan ke anak laki-laki, tetapi tidak mendiskreditkan nama perempuan.

“Dalam pesta ulat sagu, pembagian hak waris, bahkan dalam hak reproduksi, seorang perempuan Korowai bisa memilih punya anak atau tidak, melanjutkan kehamilan atau tidak, tanpa harus berdiskusi dengan suami,” tutur Rhidian.

Baca juga : Melindungi Rimba dari Masa ke Masa

Orang tua Korowai tak pernah memperkarakan anak perempuan atau laki-laki. Dalam kehidupan dewasa, perempuan dan laki-laki terbiasa membagi beban tanggung jawab sejak awal. Perempuan bisa mengerjakan apa saja yang dikerjakan laki-laki, atau sebaliknya, kecuali hal-hal yang sifatnya biologis.

“Di Korowai teori Karl Max bukan lagi teori. Korowai tidak mengenal sistem kepemimpinan tetap, tetapi mengenal kepemimpinan tidak tetap yang disebut milon,” kata Rhidian.

Milon adalah pemimpin pesta ulat sagu yang digelar pada momen-momen tertentu. Milon bertugas menebang pohon sagu pertama kali. Nantinya, sagu diambil dan dipersembahkan ke altar persembahan, pelepah daunnya juga akan diambil untuk membuat obor yang diikat pada tiang utama.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara aktivitas menokok sagu di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Sagu (Metroxylon sagu Rottb) adalah tanaman asli Nusantara dengan cadangan terbesar dunia ada di Papua. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua, luas areal sagu di Papua mencapai 6,2 juta hektar, terbesar di dunia. Sejumlah 4,7 juta hektar merupakan hutan sagu. KOMPAS/AGUS SUSANTO

Dari hasil penelitiannya, kata Rhidian, Suku Korowai memiliki prinsip yang sama. Bahkan, manusia dan alam dalam posisi yang setara. Prinsip ini tercermin ketika Suku Korowai berburu. Setelah berhasil menangkap hewan buruan, mereka akan mengucapkan terima kasih kepada alam dan roh hewan karena dianggap bersedia menjadi sumber penghidupan.

Kehidupan Suku Korowai ini sejatinya mengajarkan banyak hal pada manusia modern. Mulai dari soal kesetaraan, kepedulian pada lingkungan, hingga hidup yang tidak berlebihan, orang Korowai sudah menerapkannya turun-temurun. (Karina Isna Irawan/Mohamad Final Daeng)