Dalam perjalanan di Kabupaten Asmat, Papua, kami tak melewatkan kampung tanpa karya seni. Dari Kampung Er di Distrik Sawaerma sampai Kampung Atat di Distrik Pulau Tiga kami melihat begitu banyak ukiran indah tak hanya pada bangunan, bahkan juga di dusun sagu.
Untuk berpindah dari kampung ke kampung itu, semua perjalanan dilakukan di atas air. Daerah yang disebut Kota Seribu Papan itu memang didominasi pantai dan muara sungai. Untuk melakukan perjalanan kami harus menggunakan perahu cepat atau perahu bermotor, melintasi bibir pantai, ke tengah laut melawan ombak, atau memotong jalur sungai.
Seperti saat kami tiba di Kampung Er pada Rabu (13/10/2021) pagi. Saat itu masyarakat sedang ramai berkumpul di puskesmas pembantu untuk mendapatkan layanan vaksin bagi anak-anak, juga pemeriksaan kesehatan ibu dan anak oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat.
Begitu tiba, sebuah rumah panggung panjang menarik mata. Bangunan itu begitu megah bahkan jika dilihat dari jauh. Warna kayu begitu terang hingga memerah jika disengat sinar matahari. Tiang-tiang di teras bangunan begitu besar, diameternya mungkin sekitar 40-50 sentimeter.
Mereka bahkan mandi lumpur sambil bernyanyi. Mereka berkidung lirih karena kemurungan.
Awalnya kami mengira rumah adat, ternyata itu adalah gereja Katolik. Dari luar ukiran sudah menyapa dengan beragam pola. Begitu masuk ke dalamnya, nuansa rumah adat Asmat yang disebut jew sangat kental terasa. Di dalam gereja itu terdapat empat tungku api, yang tiang-tiangnya juga diukir. Di tengah-tengah ruangan terdapat mimbar dengan ukiran kepala burung nan megah.
Bangunan itu menggambarkan inkulturasi antara gereja dan kearifan lokal. Semuanya terbuat dari kayu. Semuanya dibuat persis seperti rumah adat namun jauh lebih megah dan bersih.
Herman Omordow (61) merupakan salah satu pengukir ulung di kampung itu. Ia ambil bagian dalam membangun gereja yang penuh ukiran itu bersama salah satu tokoh adat di Kampung Er, Rufus Sati (67). Keduanya begitu dikenal seantero Asmat bahkan hingga ke luar negeri karena ukiran kayunya yang begitu indah.
Keduanya bahkan diberi gelar wow cescu ipits atau seniman ukir. Gelar di Asmat tidak diberikan main-main, semuanya dinilai karena kualitas karya seninya.
Ukiran Asmat memang mendunia. Namun sejak pandemi Covid-19 menghadang, mereka yang bergantung pada penjualan ukiran kian redup. Festival Ukiran yang digelar tiap tahun ditiadakan. Ini membuat mereka tak punya tempat lagi untuk membuka lapaknya.
Sudah bukan barang baru jika ukiran Asmat yang dahulu begitu sakral karena nilai budaya kini bergeser menjadi mata pencaharian. “Sampai sekarang sebenarnya kami masih mengukir untuk acara pesta adat, tetapi tidak sedikit juga yang ukir hanya untuk menjual,” kata Rufus.
Beban perempuan
Pergeseran itu terjadi sejak pemerintahan masuk. Asmat menjadi begitu terbuka. Papua mulai menjadi wilayah pengekspor berbagai hasil hutan mulai dari kayu hingga emas dan tembaga. Para lelaki pun mulai pergi dari kampung dan mencari pekerjaan ke luar sehingga beban pekerjaan rumah, kebun hingga anak-anak dan orangtua mereka dilimpahkan ke perempuan.
Jika para seniman dikenal karena ukirannya, seniwati di Asmat dikenal karena anyamannya. Bukan hanya membuat tas tetapi juga tikar. Para penganyam tradisional itu disebut cescu cepes. Namun, banyak hal menarik tentang perempuan Asmat. Selama sepekan lebih di Asmat, kami mendapati pemandangan yang tak biasa tentang mereka.
Dalam perjalanan menggunakan perahu cepat, di tiap pengkolan sungai kami kerap bertemu para wanita, entah ibu-ibu hingga remaja perempuan mendayung ci, sebutan untuk sampan di Asmat. Mereka menjala ikan di sungai, beberapa sambil menggendong anak, sebagiannya lagi terlihat terlalu muda memegang dayung.
Saat tiba di Kampung Atat, perempuan yang sebagian besar berambut pendek selalu terlihat paling sibuk. Seperti saat kami bertemu dengan Martha Jip. Agak sulit menanyakan umur penduduk di Asmat, mereka hanya mengingat waktu lahir seperti saat sore, siang, atau malam hari, sedangkan untuk tanggal kelahiran mereka harus mencari kartu tanda penduduk yang mereka simpan di regel dinding rumah atau di bawah tikar atau di dalam noken yang digantung di dinding rumah.
Martha Jip merupakan istri dari Abraham Bar. Ia tinggal bersama 17 orang keluarganya di dalam rumah panggung itu, enam anaknya, cucu, dan menantu. Selain itu, ia juga tinggal bersama istri kedua suaminya yang bernama Agatha Beorpo, juga anak-anak Agatha, juga cucu-cucu mereka.
Rumah panggung mereka hanya memiliki dua kamar dengan dapur terpisah dari gedung utama. Rumah bantuan itu dibangun pada tahun 2018, dengan ukuran seperti tipe 36. Bisa dibayangkan 17 orang tinggal di dalamnya. Anak-anak Martha dan cucunya kerap tidur di dapur dekat tungku api pada malam hari.
Siang itu, pada Kamis (14/10), Martha Jip menggendong peralatan memangkur sagu di etini (sebutan untuk noken di Asmat) yang dililitkan di kepala. Tas yang terbuat dari serat daun sagu itu kemudian ia simpan di dasar perahu bermesin. Saya mencoba sendiri betapa berat bawaan Martha saat itu, tetapi terlihat mudah saat ia melakukannya.
Martha dan para perempuan mulai mengikis kulit dan mulai memangkur sagu. Butuh waktu seharian dan sekitar 27 orang untuk menyelesaikan satu pohon sagu. “Kalau banyak orang cepat, tapi kalau hanya sendiri bisa seminggu baru selesai pangkur sagu,” kata Martha.
Ketika Martha masih sibuk memangkur sagu, Abraham sudah selesai membuat penyaringan ragi sagu menggunakan pelepah pohon sagu. Abraham menyalakan rokok lalu menyesap kopinya.
Martha masih melanjutkan memangkur lalu memeras sendiri sagunya. “Biasanya kami tinggal di bivak (rumah sementara di hutan) itu pangkur sagu sambil cari ikan,” ungkapnya.
Sore itu, kami kembali ke kampung. Kami masih mengikuti aktivitas Martha. Sampai di rumah, Abraham sudah selesai mandi di sungai dan Martha langsung menuju dapur dan mulai sibuk memanggang sagu di tungku api. Sagu dipotong dan dibentuk seperti bola.
Sagu yang sudah matang berwarna kehitaman seperti gosong, kulitnya dibuka lalu dimakan. Sebelum menyantap semua anak dan cucu Martha berkumpul di dapur. Abraham tiba, duduk di dapur, lalu Martha memberikan sagu ke Abraham. Abraham yang baru datang yang punya wewenang membagi sagu ke istri-istri juga anggota keluarga yang lain.
Malam hari, saat mata kami mulai mengantuk Martha datang ke tempat kami menginap membawa sejumlah tas anyaman dari daun sagu. Setelah Martha, lalu datang Maria Esakam, Rosalina Tinik, dan banyak perempuan lain menawarkan tas anyaman mereka. Saat ditanya harga mereka agak bingung, lalu datang suami mereka yang langsung memasang harga Rp 50.000-Rp 100.000 per tas. Setelah kami membeli, mereka masih tetap berdatangan.
Ternyata hampir tiap wanita bisa menganyam dan menyimpan karyanya di rumah. Menunggu pengunjung datang untuk kemudian dapat menjualnya.
Dalam bukunya B Kuhlen Verlag; Asmat, Mencerap Kehidupan dalam Seni (2002), seniwati ini disebut cescu cepes. Tak semua wanita bisa mendapatkan gelar itu. Tetapi jika ada yang mendapatkan gelar itu, akan menjadi rebutan para lelaki untuk dipinang.
Dalam cerita-cerita mop di sekitar itu, perempuan Asmat identik dengan tiga tempat, yakni dapur, sungai, dan kasur. Itu seperti predikat yang melekat pada perempuan yang hidup di wilayah dengan budaya patriarki yang kental.
Verlag menyebutkan dalam bukunya, semua anyaman yang digunakan seniwati asmat dahulu kala digunakan untuk bisa mengenakan aksesoris khusus yang disebuttewerauts. Aksesoris ini berupa awer atau anyaman celana dari pucuk daun sagu, lalu ada juga kalung yang menggunakan gigi anjing, anting dari kulit siput, hingga tulang hewan yang ditindik di hidung.
Tujuannya satu, mendapatkan predikat perempuan hebat. Biasanya hanya istri dari kepala perang atau istri ketua adat yang mengenakannya. Jika sudah mendapatkan tewerauts, sudah pasti lelaki yang memegang jabatan akan meminangnya.
Perempuan Asmat sebagian besar berambut pendek. Bukan karena keinginan mereka memangkas rambutnya dengan model tertentu, tetapi rambut pendek melambangkan kesedihan.
Setiap mereka yang ditinggalkan anggota keluarganya, para perempuan memangkas habis rambutnya. Mereka bahkan mandi lumpur sambil bernyanyi. Mereka berkidung lirih karena kemurungan.
Soal kematian itu mengingatkan kami pada kejadian luar biasa di tahun 2018. Saat itu 71 anak meninggal karena gizi buruk dengan total kasus mencapai 627 kasus gizi buruk dan gizi kurang selama September 2017-28 Januari 2018. Aroma duka itu masih menyelinap hingga kini.
Walakin, para penganyam Asmat memiliki peran teramat penting bagi kehidupan keluarganya. Mereka menjaga anak, suami, mencari nafkah, hingga ikut memangkur sagu dan berburu. Sedangkan para lelaki yang jago berperang, terbatas pada mengukir, bekerja serabutan, atau hanya menganggur. (Sucipto/Dionisius Reynaldo Triwibowo)