Hidup segan, mati tak mau. Demikian kondisi perkebunan teh nasional dua dasawarsa terakhir. Jikalau semuanya memang harus berakhir, Kertowono akan selalu diingat sebagai benteng di timur. Sementara Sirah Kencong dan Wonosari akan tercatat sebagai penghasil ”diva” dalam sejarah industri emas hijau Nusantara.
Akhir Juli 2019, Kompas bertemu dengan tiga pensiunan pegawai Kebun Kertowono di rumah dinas Kepala Afdeling Kamar Tengah, sekitar 5 kilometer dari Pabrik Kertowono di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka adalah Nari (109), Tambari (104), dan Supikso (100).
Di ruang tamu, ketiga ”veteran” kebun teh itu bercerita, sekaligus bernostalgia, tentang Kertowono di masa lalu, layaknya kakek mendongeng kepada cucu-cucunya menjelang waktu tidur. Selain Kompas, ikut duduk menyimak sejumlah pegawai Kebun Kertowono.
Nari membuka pembicaraan tentang Kebun Kertowono yang awalnya adalah hamparan kina, kayu manis, dan kopi. ”Diganti teh tahun 1917,” kata pria yang mengalami lima pergantian mandor berkebangsaan Belanda itu.
Kebun Kertowono awalnya adalah perkebunan kina yang dibuka Perusahaan Perkebunan NV Ticdeman Van Kerchen (TVK) pada 1875. Guna diversifikasi produk perkebunan, NV TVK pada 1910 mulai menanam teh berikut pembibitannya. Memasuki 1917, sebagian besar tanaman lama sudah diganti dengan teh. Sejumlah hamparan kina dan kopi masih dipertahankan sampai saat ini.
Di era pendudukan Jepang, sebagian tanaman teh dibongkar untuk diganti rami dan jagung. Pasca-Jepang hengkang, tanaman teh dipulihkan kembali dan dikembangkan terus hingga melintasi periode nasionalisasi tahun 1957.
Supikso, bekas mandor pemelihara, melanjutkan dengan cerita yang masih seputar Kertowono di era Hindia-Belanda. Saat itu, pucuk teh yang telah dipanen, lantas dikirim dari Afdeling Kamar Tengah ke pabrik pengolahan teh hitam yang lokasinya di dataran lebih rendah. Karung berisi pucuk teh diangkut ke bawah menggunakan katrol dan sling baja sepanjang sekitar 4 kilometer (km).
Teh hasil olahan pabrik, menurut Supikso, kemudian dikirim dan disimpan ke Gedung Sukodono di Lumajang. Baru setelah ada perintah pengiriman, teh dikirim melalui Surabaya untuk dipasarkan ke pasar domestik atau luar negeri.
Dari semua kisah tentang Kebun Kertowono, memori favorit ketiga mantan pegawai Kebun Kertowono itu adalah tentang masa jaya perkebunan. Selama 1960-1975, misalnya, terjadi banyak pengangkatan buruh harian menjadi pegawai tetap. Upahnya cukup. Ditambah lagi, setiap pegawai mendapat jatah bulanan berupa 7 kg beras, 2 kg gula, dan 1 liter minyak tanah.
Perkebunan, menurut Tambari, dulu sangat sibuk. Mobil pegawai dan truk pengangkut lalu lalang di kompleks perkebunan. ”Dulu, truk dan mobil di sini banyak. Ada juga Mercy (Mercedes-Benz),” ujar Tambari, bekas mandor keamanan itu penuh antusias.
Siang itu, Tambari, Nari, dan Supikso membawa kami dalam mesin waktu. Ketiganya membawa ke masa lalu Kertowono yang tenteram kerta raharja. Namun, pada saat yang sama, mereka juga mengempaskan kami pada dua gravitasi: realitas mutakhir yang sulit dan mimpi tentang renaisans perkebunan teh Nusantara.
Lebih kurang dua dasawarsa terakhir, Kebun Kertowono mengalami tekanan berat sebagaimana halnya dialami perkebunan teh lainnya di Indonesia. Ini tampak jelas dari berbagai indikator yang anjlok.
Sampai dengan 1985, misalnya, Pabrik Kertowono menerima pasokan pucuk teh basah sekitar 30 ton per hari. Namun, sejak tahun 2000 sampai kini, pasokan pucuk teh basah maksimal hanya 5 ton per hari.
Manajer Kebun Kertowono, Yongki Artha Wijaya, Minggu (23/02/2020), menyatakan, keberlanjutan Kebun Kertowono layak terus diperjuangkan. Sebab, dengan areal teh terluas di Jatim, Kertowono bisa memberi nilai tambah kepada perusahaan dan pegawai-buruh perkebunan.
”Tantangannya sekarang adalah menyikapi perubahan dengan bijaksana. Perubahan itu mulai dari industri, sistem produksi, sistem pemasaran, hingga perubahan kondisi masyarakat. Berubah atau mati,” kata Yongki.
Anak bawang
Kertowono adalah bagian dari areal perkebunan teh di Jawa Timur yang dikelola PTPN XII. Kebun lain di bawah PTPN XII adalah Gunung Gambir di Jember, Kebun Wonosari di Malang, dan Kebun Bantaran di Blitar. Total luasnya adalah 2.893 ha dengan produksi 5.596 ton teh kering di 2017.
Ditambah perkebunan swasta dan perkebunan rakyat, Jawa Timur secara agregat memiliki kebun teh seluas 3.997 ha dengan produksi 6.898 ton teh kering atau 6 persen dari produksi nasional di 2017. Performa ini menempatkan Jawa Timur sebagai produsen teh terbesar ke-5 dari 10 provinsi produsen teh di dalam negeri.
Direktur Operasional PTPN XII Anis Febriantomo, Kamis (25/7/2019), mengatakan, areal perkebunan PTPN XII terbilang kecil sehingga volume produksinya pun juga kecil. Oleh sebab itu, PTPN XII fokus pada peningkatan kualitas, mulai dari perawatan di kebun hingga pengolahan di pabrik. Ini pun tak mudah dilakukan dengan anggaran yang terbatas.
Namun, pada apsek pemasaran dan penjualan, Anis punya kritik. Di lingkungan BUMN perkebunan terdapat ketentuan bahwa pemasaran dan penjualan seluruh produk dilakukan oleh PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).
Perusahaan patungan BUMN perkebunan itu awalnya dibentuk agar tiap-tiap PTPN tidak saling mendahului dan terdapat standar harga yang sama. Melalui model ini, PTPN juga didorong untuk fokus pada produksi dan kualitas.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, sentralisasi pemasaran dan penjualan itu dianggap tak memberikan harga jual maksimal kepada PTPN. Ini merupakan pandangan umum pegawai dan pejabat PTPN di Jawa.
Jejak ”diva”
Sejalan dengan fokus mengejar kualitas, PTPN XII punya modal, yakni teh hitam jenis crush, tear, curl (CTC) dari Afdeling Sirah Kencong, dan teh hitam D1 dari Kebun Wonosari. Dua produksi itu memiliki rekam jejak sebagai ”diva” di pasar lelang. Harganya pernah melambung di atas 3 dollar AS per kg.
Asisten Kepala Kebun Bantaran Bramantya Admaja menyatakan, pihaknya berharap teh hitam jenis CTC kategori PF-1 dari Afdeling Sirah Kencong bisa kembali menjadi ”diva” di pasar. Sekalipun dengan berbagai keterbatasan, manajemen berusaha bangkit.
Jika Sirah Kencong punya CTC PF-1, Kebun Wonosari di Malang juga punya diva-nya sendiri. Kebun teh di kaki Gunung Arjuno itu dikenal sebagai penghasil teh hitam D1 terbaik. Upaya untuk menjaga kualitas terus dilakukan. Harapannya, harga teh hitam D1 dari Wonosari akan terus merangkak naik.
Ketua Dewan Teh Indonesia Rachmad Gunadi menyatakan, persoalan perkebunan teh nasional adalah persoalan inefisiensi. Biaya terus melambung setiap tahun sehingga
makin senjang dengan harga komoditas yang stagnan rendah. Sudah begitu, tidak ada insentif dari pemerintah guna membangkitkan dan mengembangkan industri teh nasional.
”Mestinya pemerintah bisa memfasilitasi. Sekarang ini, pemerintah tidak berperan. Pemerintah justru membuat banyak peraturan yang membelenggu. Vietnam, misalnya, harga jual teh-nya sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, bisa separuh dari harga teh Indonesia. Kok bisa? Artinya ada insentif dari pemerintahnya,” kata Gunadi.
Di tengah kompleksnya persoalan, Gunadi optimistis, industri teh nasional bisa bangkit lagi. Alasannya, potensi, sumber daya, dan pasarnya bagus. ”Teh itu tumbuh terus permintaannya. Preferensi terhadap jenisnya saja yang berubah-ubah. Kalau kita mau membangkitkan industri teh nasional, penting sekali strategi nasional. Ini saatnya duduk bersama, integrasikan mulai hulu sampai hilir,” kata Gunadi.
Hidup segan, mati tak mau. Tak ada perkebunan teh yang bisa mengingkari klise itu. Namun, Kertowono ingin lebih dari sekadar diingat sebagai benteng perkebunan teh di timur. Sementara Sirah Kencong dan Wonosari juga tak ingin sebatas berhenti dalam catatan sejarah sebagai kebun yang pernah menghasilkan ”diva”.
Akhirnya, memang tak ada yang abadi di bawah kolong langit. Musim akan selalu berganti. Bahkan, romantisisme sekalipun akan mati. Namun, di Kertowono, Sirah Kencong, dan Wonosari, pucuk-pucuk teh masih bersemi pagi ini.
FX LAKSANA AS & AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO