Pahlawan sering kali lahir dari kekacauan. Begitu juga di dunia pertehan. Ketika teh di Jawa Barat kalut oleh beragam masalah, pegiat teh, terutama teh rakyat, berupaya mencari jalan terang.
Jawa Barat adalah teh. Itu saking luasnya perkebunan teh di wilayah ini, yang mencapai 84.630 hektar atau setara dengan 77 persen dari seluruh luas perkebunan teh di Indonesia. Kebun itu dikuasai rakyat, swasta, dan negara atau PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
PTPN VIII mengelola kebun seluas 19.342 hektar yang terbagi dalam 23 perkebunan dan tersebar di 6 kota dan kabupaten. Hasil kebun ini diolah di 23 pabrik. Kondisi sebagian besar pabrik PTPN VIII sudah demikian usang dan butuh perbaikan serius. Salah satunya adalah pabrik teh Malabar di Kabupaten Bandung.
Pabrik ini dibangun Karel Albert Rudolf Bosscha pada 1896. Memasuki pabrik ini, pencahayaannya remang-remang, banyak bagian ruangan menghitam seolah tak terurus. Ada lantai yang dibiarkan berlubang karena ubinnya pecah atau hilang.
Kondisi pabrik teh Malabar ini bisa mewakili mayoritas pabrik teh milik PTPN VIII. Rata-rata tidak efisien. Seorang karyawan PTPN VIII pernah meneliti tingkat efisiensi pabrik dan menguatkan hal itu. Nilai Overall Equipment Effectiveness (OEE) di bawah 90 persen. Bahkan, ada yang hanya 57 persen. ”Saya masuk (ke PTPN VIII), geleng-geleng kepala dan alhamdulillah masih ada yang mau minum teh dengan kondisi pabrik begitu,” kata Wahyu, yang sejak Oktober 2018 menjadi Direktur Utama PTPN VIII.
Tahun lalu dia menargetkan dapat memperbaiki lima pabrik. Namun, karena biayanya terlalu mahal, hanya pabrik di Rancabali, Kabupaten Bandung, yang diperbaiki dengan dana sedikitnya Rp 1,7 miliar.
Inefisiensi itu juga terjadi di kebun. Pertama menyangkut jumlah karyawan yang terlalu banyak, mencapai 19.000 orang hampir setara dengan satu karyawan satu hektar kebun. Berkaca pada perkebunan teh di Taiwan, kata Wahyu, satu karyawan bisa memegang 20 hektar kebun.
Kondisi kebun juga setali tiga uang. Pemupukan dan pemeliharaan tidak maksimal menyebabkan produktivitas kebun teh rendah, hanya 0,9 sampai 1,8 ton per hektar. Padahal, Pusat Penelitian Teh dan Kina menghitung, kebun teh yang bagus bisa sampai 5 ton per hektar.
Sementara itu, kondisi teh rakyat yang ada di Garut, Sukabumi, dan Cianjur juga banyak yang hancur. Maksimal produksinya hanya 1,5 ton per hektar. Bahkan, ada yang cuma 0,6 ton per hektar. Keluhan petani antara lain kesulitan mendapat pupuk yang bagus dengan harga terjangkau.
Selain itu, harga pucuk segar juga tidak pernah lebih dari Rp 2.400 per kilogram, itu kalau petani mau dibayar sepekan kemudian. Jika menggunakan sistem timbang-bayar, habis ditimbang langsung dibayar, harganya bisa tinggal Rp 2.000 per kilogram. ”Harga itu tidak cukup untuk merawat kebun karena biaya bibit, pupuk, dan lainnya bisa sampai Rp 3.000 per kilogram,” kata Ketua Asosiasi Teh Rakyat Garut H Alo.
Petani teh di Cisurupan, Kabupaten Garut, Dede (30) merawat teh di lahannya seluas 150 tumbak atau setara dengan 6.150 meter persegi. Setiap dua pekan sekali dia memanen sekitar 200 kilogram (kg) pucuk teh yang cuma laku Rp 480.000. Uang itu masih kurang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, apalagi jika harus beli pupuk atau pestisida. Akhirnya, kebun tehnya dia biarkan.
Belum lagi petani yang terjerat utang ke tengkulak. Mereka tak berdaya ketika tengkulak menentukan harga seenaknya, di bawah harga pasar.
Tengkulak pun sebenarnya kerap pusing dengan keuangan lantaran pabrik tempat dia menyetor pucuk segar dari petani tidak bersedia segera membayar. ”Bisa menumpuk sampai ratusan juta,” kata H Alo.
Siasat
Sementara itu, pabrik teh rakyat yang berkapasitas kecil sekitar 5 sampai 10 ton, juga sering kelabakan oleh permainan kartel. Untuk dapat memotong rantai distribusi atau menghindari broker, mereka berupaya menjual langsung hasil produksinya ke pabrik minuman teh besar di Jawa Tengah. Biasanya hanya berhasil sekali dan maksimal empat kali. Setelah itu, mereka akan dihalang-halangi makelar atau kartel dengan melarang pabrik besar itu menerima barang dari pabrik rakyat.
Akhirnya barang terbengkalai, uang tidak berputar, dan pabrik rakyat mati lemas. ”Permainan seperti itu sudah diketahui banyak orang,” kata Sobar Hidayafullah (44), pemilik pabrik teh rakyat Sukabumi, yang menampung pucuk segar dari sekitar 60 petani.
Permainan kartel tersebut menyebabkan harga tak kunjung membaik. Misalnya teh hijau yang diproduksi Sobar hanya laku dijual Rp 12.000 per kg, sedangkan biaya produksinya Rp 13.000 per kg. Untuk mengejar keuntungan, mereka mencampur teh hijau kualitas bagus dengan kualitas rendah yang hanya seharga Rp 8.000 per kg. Lumayan bisa untung sekitar Rp 1.500 per kg.
Di sebuah pabrik milik Yusuf (46) di Sukabumi, sebuah truk datang membawa pohon teh dari akar sampai pucuk. Rupanya ada kebun yang diremajakan, lalu teh tuanya dicabut dan diborong Yusuf. Di bagian belakang pabrik, sebuah alat penyaring memisahkan batang besar dengan ranting. Ranting ini lalu dipotong-potonguntuk dicampur daun teh.
Inilah produksi teh hijau kelas rendah yang nanti dicampur dengan teh hijau kualitas bagus seperti dilakukan Sobar tersebut. Dalam sehari, Yusuf setidaknya menghasilkan 20 ton teh hijau kelas rendah.
Hilirisasi
Para pegiat teh mulai menyadari bahwa sulit maju jika bergantung pada teh curah yang dijual lewat tengkulak atau lelang. Pelan-pelan mereka mencari inisiatif untuk lebih mandiri. PTPN VIII mempelajari pasar dan menemukan sebuah merek terkenal menjual teh orange pekoe (OP) Malabar dan OP Taloon. Harganya mencapai Rp 500.000 per kilogram. OP merupakan teh premium yang selama ini dijual maksimal Rp 65.000 per kilogram. Di bawahnya ada 19 jenis lagi.
Dirut PTPN VIII Wahyu bertekad meningkatkan produksi OP dan BOP (broken orange pekoe) untuk menggenjot pendapatan. Jika mampu memperoleh 20 persen dari sekitar 40.000 ton produksi teh kering per bulan selama ini, lalu menjualnya seharga Rp 500.000, itu akan sangat membantu keuangan PTPN VIII. Jika ini berhasil, PTPN VIII bukan saja mampu memperbaiki pabrik dan kebun, juga meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Sekarang PTPN tengah menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan swasta seperti Eiger, Asep Stroberi dan Picnic Dodol Garut untuk memasok teh premium secara khusus dan terbatas. Selain itu, bekerja sama dengan PT Mandiri Maslahat Masagi, PTPN VIII membuat merek Teh Warga Bandung (TWB). Sekarang ini sudah ada puluhan racikan (blending) dengan beragam rasa. Tampilannya juga menarik mulai warna biru cerah sampai merah muda. Kreasi ini antara lain dapat dinikmati di kedai Thee Huis di Bandung.
Di kabupaten Bandung, sekelompok petani dan pemetik teh berhimpun di rumah olahan Arafa Tea yang diinisiasi oleh Ifah Syarifah. Mereka berlatih menciptakan produk turunan teh mulai dari bubuk teh hijau, sabun, masker, kerupuk, sampai cokelat berbahan teh. Beberapa anggotanya sudah berhasil mandiri menciptakan produk-produk turunan dari teh
Strategi agak lain diambil oleh sekelompok petani di Pasir Canar, Kabupaten Cianjur. Adalah Ferri Kurnia (41) yang semula mendapat tawaran pasokan teh khas (specialty tea) kualitas premium dari seorang eksportir berdarah Rusia seharga Rp 350.000 per kg. Dia lalu melatih petani teh rakyat mulai dari cara menanam sampai petik, antara lain, tidak memetik dengan gunting atau pisau, harus dengan tangan.
Sekarang ini sudah ada 50 petani yang terhimpun dan merasakan manfaatnya. ”Dengan cara seperti yang Kang Ferri ajarkan, kami bisa memetik setiap minggu. Biasanya hanya dua minggu sekali. Artinya putarannya lebih cepat. Harganya juga lebih mahal,” kata Yan Yan (46) salah satu petani.
Impitan teh begitu besar. Namun, selalu ada peluang untuk bebas dari impitan itu. Memang apa yang mereka lakukan belum seberapa dari sisi jumlah jika dibandingkan dengan produksi teh di Jawa Barat yang mencapai 100 ton per tahun. Namun, Ifah, Ferri, dan pegiat teh lain di negeri ini muncul sebagai orang-orang mencari jalan terang dari gelap yang menyelubungi teh.