Kompas/Yuniadhi Agung

Jawa Tengah dan Yogyakarta

Harta Karun dari Keraton

·sekitar 6 menit baca

 

Para pegiat teh mulai sadar tentang pentingnya narasi untuk mengangkat nilai teh Nusantara. Mereka lalu menggali-gali khasanah klasik untuk dijadikan rujukan membangun narasi tersebut. Di Jogjakarta, tradisi minum teh berikut sederet pakem dan ritualnya sudah berlangsung lama. Ini menjadi harta karun narasi teh.

Haris Firdaus dan Mohammad Hilmi Faiq

Dua orang abdi dalem Keraton Yogyakarta duduk bersila di depan Sumur Nyai Jalatunda. Di hadapan mereka, terhidang sesaji berupa buah-buahan dan kembang setaman. Tak berselang lama, salah seorang abdi dalem membakar kemenyan, lalu merapalkan doa-doa. Tradisi pembuatan teh yang sudah berlangsung turun-temurun di Keraton Yogyakarta itu pun dimulai.

Kompas/Yuniadhi Agung

Prosesi pembuatan minuman teh untuk raja di Keraton Yogyakarta. Sabtu (13/7/2019). Ritual Patehan yang dipertahankan hingga sekarang ini telah menjadi atraksi wisata bagi pengunjung keraton.

Para abdi dalem tersebut lalu berbagi tugas. Salah seorang mengambil air dari Sumur Nyai Jalatunda, sementara seorang lain menyalakan api di tungku berbahan bakar arang. Di atas tungku itu kemudian diletakkan cerek besar berisi air yang diambil dari Sumur Nyai Jalatunda. Seorang abdi dalem dengan setia mengipasi tungku tersebut agar api terus menyala.

Sabtu (13/7/2019) pagi itu, para abdi dalem Keraton Yogyakarta tengah menjalankan rutinitas harian mereka untuk menyiapkan teh. Ruang tempat pembuatan teh itu disebut Gedhong Patehan, sementara orang-orang yang terlibat menyiapkan minuman itu dipanggil abdi dalem Patehan.

Dalam struktur organisasi di Keraton Yogyakarta, abdi dalem Patehan berada di bawah Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Purayakara yang bertugas menyiapkan perlengkapan untuk acara-acara keraton.

Sesepuh Abdi Dalem Patehan Keraton Yogyakarta, Mas Riyo Reso Dinomo, menuturkan, salah satu tugas abdi dalem Patehan adalah menyiapkan teh untuk upacara penyajian teh yang digelar rutin dua kali dalam sehari di keraton. Reso menyebut tradisi penyajian teh itu sebagai “patuh”. “Ini namanya patuh, patuh itu harus dilaksanakan,” tuturnya.

 

Saat menyiapkan teh, para abdi dalem Patehan memang terikat dengan sejumlah aturan yang mesti dipatuhi. Salah satunya, air untuk membuat teh mesti diambil dari Sumur Nyai Jalatunda yang ada di Gedhong Patehan. Selain Sumur Nyai Jalatunda, di Gedhong Patehan sebenarnya juga terdapat Sumur Kiai Jalatunda, tetapi sumur itu hanya digunakan untuk aktivitas mencuci.

Prosesi pembuatan teh itu juga harus dilakukan dengan peralatan khusus yang disiapkan. Selain itu, teh yang diseduh untuk upacara tersebut juga selalu sama dari waktu ke waktu. “Setahu saya, tehnya dari dulu itu selalu sama,” kata Reso.

Reso menuturkan, upacara penyajian teh di Keraton Yogyakarta dilakukan pada pukul 06.00 dan 11.00 setiap hari. Oleh karena itu, sebelum jam-jam tersebut, para abdi dalem Patehan mesti menyiapkan teh yang ditata dalam satu set rampadan atau peralatan minum. Selain itu, para abdi dalem tersebut juga mesti membuat kopi dan menyiapkan air putih panas.

“Untuk teh yang disajikan jam 6 pagi, kami sudah memulai proses pembuatan sejak jam 4 pagi. Setelah itu bikin baru lagi untuk teh yang disajikan jam 11,” tutur Reso.

Yuniadhi Agung

Salah satu tahapan Prosesi pembuatan minuman teh untuk raja di Keraton Yogyakarta. Sabtu (13/7/2019).

Pada jam yang telah ditentukan, minuman-minuman itu akan diambil para abdi dalem Keparak yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Total ada lima orang abdi dalem Keparak yang bertugas dalam upacara penyajian teh. Dari lima orang itu, tiga di antaranya membawa perlengkapan minum berisi teh, kopi, dan air panas.

Adapun satu abdi dalem lain bertugas membawa teko khusus yang disebut klemuk. Klemuk berisi air yang telah didiamkan selama satu malam. Sementara itu, satu abdi dalem lainnya bertugas membawa payung untuk melindungi klemuk. Teh dan minuman lainnya itu lalu dibawa ke Gedhong Prabayeksa di kompleks Keraton Yogyakarta.

 

Perubahan

Reso mengatakan, dirinya tak tahu sejak kapan tradisi penyajian teh di Keraton Yogyakarta dimulai. Yang jelas, menurut Reso, tradisi tersebut sudah ada saat dirinya pertama kali menjadi abdi dalem di Keraton Yogyakarta pada tahun 1984. “Tahunnya sejak kapan, saya kurang tahu soalnya saya di sini juga belum lama, baru dari tahun 1984,” katanya.

Berdasarkan informasi di situs resmi Keraton Yogyakarta, upacara penyajian teh itu berawal dari tradisi minum teh harian raja-raja Keraton Yogyakarta di masa lalu. Namun, tradisi minum teh itu mulai berubah sejak masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Sebab, selain menjadi Raja Keraton Yogyakarta, Sultan HB IX juga pernah menduduki sejumlah jabatan di pemerintah pusat sehingga ia lebih sering berada di Jakarta.

Sejak masa itu, tradisi minum teh di Keraton Yogyakarta mengalami perubahan. Pembuatan teh oleh para abdi dalem Patehan tetap dilakukan dua kali dalam sehari, tetapi teh yang telah jadi itu tidak lagi disajikan kepada raja.

Oleh para abdi dalem Keparak, teh dan minuman lain itu dibawa ke Gedhong Prabayeksa, lalu didiamkan hingga tiba waktunya diganti dengan yang baru. Hingga sekarang, tradisi penyajian teh ke Gedhong Prabayeksa itu masih dipertahankan.

Kompas/Yuniadhi Agung

Berdoa

Saat ini, penyajian teh dari Gedong Patehan ke Gedhong Prabayeksa juga menjadi salah satu aktivitas yang menarik minat para wisatawan yang datang ke Keraton Yogyakarta. Tiap kali iring-iringan abdi dalem Keparak berjalan kaki keluar dari Gedhong Patehan, para wisatawan segera berduyun-duyun datang untuk mengambil foto dan video aktivitas itu.

Apalagi, di bagian depan Gedhong Patehan juga terdapat museum yang berisi berbagai perlengkapan minum yang pernah dipakai oleh para raja dan keluarganya. Museum tersebut terbuka dikunjungi oleh para wisatawan. Namun, aktivitas pembuatan teh di Patehan tidak terbuka untuk umum. Wisatawan hanya bisa melihat sekilas kegiatan tersebut dari sebuah pintu di bagian belakang museum.

 

Acara resmi keraton

Penghageng II KHP Purayakara, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Danukusumo, mengatakan, selain menyiapkan minuman untuk upacara penyajian teh rutin, para abdi dalem Patehan juga bertugas membuat teh saat pelaksanaan hajad dalem atau acara resmi keraton. Contoh hajad dalem adalah upacara Ngabekten yang digelar pada hari pertama dan kedua Hari Raya Idul Fitri.

Prosesi Ngabekten diikuti oleh para kerabat dan abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan tujuan menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada raja yang bertahta. Dalam prosesi itu, para abdi dalem dan kerabat keraton diharuskan menghadap Sultan dengan cara berjalan jongkok. Setelah itu, mereka harus mencium lutut Sultan yang tengah duduk.

Saat Ngabekten, hadir pula pimpinan Kadipaten Pakualaman yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam. Namun, prosesi Ngabekten yang dijalani Paku Alam berbeda dengan para kerabat dan abdi dalem keraton.

Menurut KRT Danukusumo, teh untuk hajad dalem disajikan dengan peralatan yang berbeda-beda, bergantung pada kedudukan orang yang dilayani. “Kalau kita melayani hajad dalem, tempat untuk teh itu berbeda-beda, tergantung siapa yang dilayani. Untuk Ngarsa Dalem (Sultan), sudah ada rampadan (peralatan minum khusus) sendiri, untuk Kanjeng Gusti Paku Alam sudah ada rampadan sendiri, rayi-rayi dalem (adik-adik Sultan) ada rampadan sendiri,” ujarnya.

Saat Ngabekten, misalnya, teh untuk Sultan mesti disajikan dalam rampadan yang berbeda dengan kerabat keraton lain. Berdasarkan informasi di website Keraton Yogyakarta, untuk Ngabekten hari pertama di pagi hari, rampadan untuk Sultan terdiri dari nampan perak, satu set teko dari perak dengan motif bunga, satu set cangkir keramik warna merah muda dengan gambar wajah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, serta sendok emas.

Sementara itu, rampadan untuk permaisuri Sultan terdiri dari nampan emas, teko keramik motif bunga dengan gagang emas, set cangkir berwarna merah muda dengan gambar wajah permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dan sendok emas. Adapun rampadan untuk Paku Alam terdiri dari nampan perak, teko keramik motif bunga dengan gagang perak, set cangkir berwarna merah muda, serta sendok perak.

Kompas/Yuniadhi Agung

Menyiapkan air

Perbedaan peralatan minum itu merupakan bagian dari upaya untuk mengakui dan menghormati hierarki yang ada di Keraton Yogyakarta. Perbedaan itu juga menjadi bagian dari tradisi penyajian teh di Keraton Yogyakarta yang punya sejarah panjang sekaligus cerita unik.

Kekuatan narasi

Proses penyajian teh yang sekilas tampak kompleks itu adalah harta karun. Di negara lain seperti Jepang dengan Chanoyu-nya atau Inggris dengan afternoon tea-nya, ritual minum teh bahkan bisa lebih kompleks dan sakral. Justeru di situlah letak nilai lebihnya.

Ritual tersebut menjadi narasi yang kemudian dijual ke dunia. Inggris yang tak memiliki kebun teh, jauh lebih dikenal daripada beberapa negara lain yang memiliki ribuan hektar kebun teh.

Dengan kata lain, ritual Patehan di Keraton Yogyakarta ini dapat menjadi titik berangkat untuk membangun narasi teh Indonesia. Narasi tersebut dilekatkan pada jenama-jenama teh Indonesia sehingga mempunyai nilai lebih.

Daerah-daerah lain pun perlu untuk menggali khasanah tradisi terkait minum teh. Lalu mengembangkannya menjadi narasi lokal yang diidentikkan dengan teh setempat. Cara-cara kreatif ini perlu dicari untuk memuliakan sekaligus meningkatkan pamor teh Nusantara.

 

 

Artikel Lainnya