KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Mobius Tanari, dosen dan peneliti maleo dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.

Sulawesi Utara

Mobius Tanari: Bapak Asuh Maleo

·sekitar 5 menit baca

Perjumpaan Mobius Tanari (52) dengan maleo 18 tahun lalu membawanya mengarungi jalan perjuangan yang kelak menjadi misi besar dalam hidupnya. Mobius bertekad melepaskan satwa endemik Sulawesi itu dari bayang-bayang kepunahan.

Hujan sejak pagi masih saja awet saat Kompas berbincang dengan Mobius di Maleo Center, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Rabu (26/6/2019) siang. Fasilitas konservasi maleo milik PT Donggi-Senoro LNG (DSLNG) itu terletak di pesisir Desa Uso, Kecamatan Batui, sekitar satu jam perjalanan mobil arah barat daya Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai.

Mobius adalah tenaga ahli yang dilibatkan PT DSLNG dalam mengelola fasilitas konservasi ex situ (di luar habitat alami) maleo seluas 2.000 meter persegi tersebut. Kiprah Mobius berlangsung sejak awal pendirian fasilitas itu pada 2013.

Jauh sebelum itu, dosen Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako (Untad), Palu, tersebut telah mendalami studi soal maleo (Macrocephalon maleo) saat menempuh pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2001. Maleo pun menjadi topik disertasinya dengan judul ”Karakterisasi Habitat, Morfologi dan Genetik, serta Pengembangan Teknologi Penetasan Ex Situ Burung Maleo” yang rampung pada 2007.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Mobius Tanari, dosen dan peneliti maleo dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.

Lembaga Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan maleo dalam daftar merah satwa yang berstatus terancam punah (endangered). Status ini hanya berada dua level sebelum punah total. Jika itu terjadi, bukan hanya Indonesia yang kehilangan, melainkan seluruh dunia karena hewan mengagumkan ini hanya terdapat di Sulawesi.

Dari survei organisasi konservasi Birdlife International pada 2016, populasi hewan ini diperkirakan hanya tersisa 8.000-14.000 ekor di alam liar dengan kecenderungan terus menurun. Habitat maleo tersebar di seluruh Pulau Sulawesi, kecuali di Sulawesi Selatan.

Ancaman tinggi

Kembali ke disertasi Mobius, salah satu poin penting yang dikemukakannya adalah konsep konservasi maleo secara ex situ dengan teknologi inkubasi untuk penetasan telur. ”Tekanan terhadap maleo di alam sangat tinggi,” ujarnya.

Dari penelitian selama 2 tahun untuk disertasi itu, Mobius menemukan bahwa tingkat keberhasilan penetasan telur maleo di alam sangat kecil karena tingginya ancaman, yakni hanya 20-37 persen. Maleo bertelur di kawasan pantai berpasir atau di hutan yang memiliki sumber panas bumi (geothermal). Induk maleo menggali hingga kedalaman sekitar 60 sentimeter untuk meletakkan telurnya lalu dikubur kembali. Setelah itu, proses pengeraman hingga penetasan diserahkan sepenuhnya kepada alam. Sejak menetas, anak maleo sudah mandiri.

Kondisi itu memunculkan risiko besar. Salah satu ancamannya adalah perburuan, baik yang dilakukan manusia maupun predator alami, terutama biawak. Selain itu, ada pula ancaman faktor cuaca yang tak menentu. Telur maleo membutuhkan suhu dan kelembapan udara tertentu agar bisa menetas. Jika cuaca terlalu panas, telur bisa gagal menetas, begitu pula saat musim hujan ketika suhu terlalu rendah. ”Kondisi ini membuat proses regenerasi maleo menjadi lambat,” kata Mobius.

Penelitian Mobius pun menemukan suhu ideal untuk penetasan telur maleo, yakni pada rentang 32-36 derajat celcius dengan tingkat kelembapan nisbi 70 persen. Kondisi itu dapat dicapai dengan teknologi inkubasi.

Konsep ex situ dengan bantuan inkubator yang digagas Mobius itulah yang kemudian diadopsi PT DSLNG dalam konservasi di Maleo Center. Mobius meyakini konservasi ex situ adalah model yang paling tepat. “Saat ini, langkah terpenting dalam upaya pelestarian maleo adalah menambah populasinya,” ucapnya.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pekerja memeriksa suhu inkubator penetasan telur maleo di pusat penangkaran Maleo Center yang dikelola PT Donggi Senoro LNG di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Rabu (26/6/2019). Telur-telur yang ditetaskan merupakan hasil sitaan dari masyarakat yang dilakukan oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng. Anak maleo yang menetas akan dilepasliarkan kembali ke Suaka Margasatwa Bangkiriang. Keberhasilan mesin inkubator ini mencapai 90 persen.

Melalui inkubasi, Mobius menambahkan, tingkat keberhasilan penetasan telur di Maleo Center mencapai 90 persen. Telur-telur yang ditetaskan di Maleo Center diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng, hasil sitaan dari pemburu liar. Maleo yang ditetaskan kemudian dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Bakiriang, salah satu habitat alami maleo di Banggai. Hingga kini, Maleo Center telah melepasliarkan 85 ekor maleo yang berusia rata-rata satu bulan.

Saat ini, Maleo Center juga memelihara sebanyak 16 ekor maleo yang ditetaskan dari proses inkubasi, terdiri dari 5 betina dan 11 pejantan. Hal itu untuk tujuan pengembangbiakan. ”Akhir tahun lalu ada yang bertelur, tapi sayang telurnya pecah saat ditemukan,” ujar Mobius.

Pengeraman dengan inkubator, menurut Mobius, juga memiliki keunggulan lain, yakni hanya membutuhkan waktu berkisar 60 hari. Hal itu lebih cepat jika dibandingkan dengan proses secara alami yang memakan waktu 70-90 hari. Konsep ini menjadi alternatif sekaligus pelengkap dalam upaya pelestarian maleo yang juga dilakukan berbagai pihak lain dengan model in situ di tempat berbeda.

Domestikasi

Selain mengawasi proses inkubasi, Mobius juga terus melakukan penelitian tentang seluk-beluk satwa itu di Maleo Center. Di antaranya seputar morfometri dan pertumbuhan maleo, identifikasi jenis kelamin maleo berdasarkan perbedaan morfologi, penentuan umur pubertas maleo yang dipelihara secara ex situ, serta kajian hormonal dan tingkah laku maleo.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Burung maleo (Macrocephalon maleo) menggali pasir untuk menaruh telur dan kemudian ditimbun kembali di salah satu wilayah konservasi maleo di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Kamis (27/6/2019).

Jika populasi maleo bisa terus bertambah secara signifikan sehingga dapat lepas dari status terancam punah dan dilindungi, kata Mobius, tidak tertutup kemungkinan maleo bisa didomestikasi seperti jenis unggas lain.

Mobius mengatakan, maleo berpotensi memiliki manfaat besar bagi manusia karena ukuran telurnya yang besar. Berat telur maleo berkisar 200 gram atau lima kali lebih besar daripada telur ayam dan tiga kali lipat telur bebek. ”Ini bisa menjadi sumber protein dan sumber ekonomi baru bagi masyarakat setempat,” ujarnya.

Selain di Maleo Center, Mobius juga masih terus mengajar di Untad. Saat ini, dia mengasuh mata kuliah Satwa Endemik dan Satwa Harapan di Fakultas Peternakan dan Perikanan. Maleo menjadi salah satu topik penting dalam kedua mata kuliah tersebut.

Ia pun berharap bisa menumbuhkan minat generasi peneliti muda di kampus untuk meneruskan kajian-kajian soal maleo. ”Masih banyak misteri yang belum terpecahkan dari satwa ini,” ujarnya. (ENG/LUK/APO)

 

Artikel Lainnya