KOMPAS/ARIS PRASETYO

Buku ”Inspirasi dari Wallacea” yang diterbitkan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia.

Sumba

Inspirasi dari Wallacea

Oleh Aris Prasetyo
·sekitar 3 menit baca

Kawasan Wallacea, yang meliputi kepulauan di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi sekaligus unik. Sayangnya, kekayaan sumber daya hayati tersebut terus terancam akibat perburuan liar, perdagangan ilegal, ataupun alih fungsi kawasan konservasi. Beberapa upaya penyelamatan justru datang dari hukum adat setempat.

Demikian yang mengemuka dalam peluncuran buku berjudul Inspirasi dari Wallacea, Rabu (9/10/2019), di Jakarta. Buku setebal 261 halaman tersebut diterbitkan oleh Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia dan berisikan kumpulan kisah pelestarian keragaman hayati di zona Wallacea. Buku itu juga berisi foto-foto menarik satwa langka yang ada di daerah Wallacea, seperti tarsius, burung maleo, dan berbagai jenis burung paruh bengkok.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Suasana diskusi dalam peluncuran buku berjudul Inspirasi dari Wallace, Rabu (9/10/2019), di Jakarta. Buku tersebut diterbitkan oleh Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia.

Salah satu hukum adat dalam hal pelestarian alam yang dipatuhi oleh masyarakat Maluku bernama sasi. Penegakan sasi dilaksanakan oleh kepala kewang. Kewang adalah lembaga adat yang mengawasi penegakan sasi. Beberapa wilayah di Maluku di mana sasi berjalan efektif ada di Pulau Haruku dan Pulau Buano.

”Penegakan sasi di Buano cukup efektif. Kini, tak ada lagi pengeboman ikan, penebangan pohon bakau, ataupun perburuan penyu,” ucap Petrus W Wairissal, Penanggung Jawab Organisasi pada Lembaga Partisipasi Pembangunan Masyarakat (LPPM) Maluku. LPPM Maluku adalah salah satu lembaga lokal yang terlibat dalam Program Kemitraan Wallacea yang dimotori Burung Indonesia dan The Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF).

Selain sasi, ada pula hukum adat lain di Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang dinamakan muro. Suatu wilayah, baik hutan maupun perairan laut, yang ditetapkan sebagai muro, maka ada larangan untuk mengambil secara ilegal sumber daya hayati di wilayah tersebut. Penegakan muro dilakukan di Teluk Hadakewa, Lembata.

”Sejak muro dihidupkan kembali, mulai 2017 tidak ada lagi penyu yang diburu secara ilegal di Teluk Hadakewa. Sebelumnya, setidaknya ada dua atau tiga penyu yang ditangkap setiap bulan di teluk itu,” kata Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat) Benediktus Bedil. Barakat adalah salah satu lembaga yang terlibat dalam Program Kemitraan Wallacea.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Eliza Kissya, kepala kewang di Pulau Haruku, Maluku, saat merawat telur-telur burung gosong di penangkaran yang ia kelola di pekarangan rumahnya, 1 Mei 2019.

Direktur Eksekutif Burung Indonesia Dian Agista mengatakan, tingginya tingkat keragaman hayati di kawasan Wallacea sejalan dengan tingginya ancaman di wilayah tersebut. Aset bangsa Indonesia berupa keragaman hayati di zona Wallacea kerap terpinggirkan atau terlupakan. Padahal, dampak hilangnya keragaman hayati apabila dihitung secara ekonomi sangat besar nilainya.

”Angka kerugian dari perdagangan flora dan fauna di Indonesia hanya kalah dari nilai perdagangan senjata dan narkotika,” ujar Dian.

Sementara itu, bagi Olivier Langrand, Direktur Eksekutif CEPF, tanggung jawab melestarikan zona Wallacea menjadi tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali. Apalagi, zona Wallacea menjadi salah satu dari 36 wilayah biogeografi dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi di dunia. Ancaman yang harus diperhatikan di zona Wallacea adalah perburuan liar, perdagangan ilegal flora dan fauna dilindungi, serta perubahan alih fungsi kawasan.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Patung Alfred Russel Wallace berdiri di kawasan jalan masuk Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (18/6/2019). Patung ini dibuat untuk menghormati jasa naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, yang banyak berjasa mengidentifikasi satwa Nusantara.

Berdasar data buku Inspirasi dari Wallacea, zona Wallacea terdiri atas 7.452 pulau dengan kekayaan 813 spesies burung, 201 spesies mamalia (kecuali paus dan lumba-lumba), serta 188 spesies reptil. Dari 813 spesies burung di zona Wallacea, sebanyak 359 spesies atau 44 persen adalah burung endemik atau hanya bisa ditemukan di wilayah tersebut.

Zona Wallacea diambil dari nama naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, yang menjelajahi Nusantara pada periode 1854 sampai 1862. Wallace dikenal sebagai salah satu peletak dasar teori seleksi alam dan pakar biogeografi. Hasil perjalanannya di Nusantara tersebut dibukukan dalam The Malay Archipelago yang terbit pada 1869. Wallace wafat pada 1913.

Artikel Lainnya