KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Anak-anak bermain di halaman kampung adat Manola, Desa Tena Teke, Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (13/7/2019). Manola, yang memiliki sekitar 25 rumah adat di dalamnya, merupakan salah satu kampung yang masih memelihara nilai-nilai luhur tradisi nenek moyangnya.

Sumba

Janji Setia dari Uma Humba

Oleh Aris Prasetyo
·sekitar 5 menit baca

Tak ada catatan Alfred Russel Wallace mengenai Sumba dalam bukunya, The Malay Archipelago. Sebagai pulau yang masuk dalam zona Wallacea, Sumba yang luasnya sekitar 11.000 kilometer persegi punya keragaman hayati yang terbilang tinggi. Balutan budayanya mengisahkan orang Sumba punya hubungan erat dengan alam sekitarnya.

Paulus Tanggobera (50) dengan bertelanjang kaki menyusuri rumput dan bebatuan di sela-sela rumah di kampung adat Manola yang ada di Desa Tena Teke, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Di depan pelataran rumah adat tersusun rapi bilah-bilah batu yang berusia ratusan tahun. Di situlah para leluhur mereka dimakamkan.

”Rumah itu hangus terkena hantaman halilintar yang dikirim suku lain,” ujar Paulus sembari menunjuk puing-puing salah satu bekas rumah adat kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, pertengahan Juli lalu. Ia juga menjelaskan sejarah dan filsafat rumah adat Kampung Manola.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap kampung adat Prai Ijing, Kota Waikabubak, Sumba Barat, NTT, dipotret dari udara, Minggu (14/7/2019). Kampung adat yang masih terawat, baik bangunan maupun adat istiadatnya, merupakan salah satu penarik wisatawan untuk mendatangi pulau tersebut.

Manola adalah sedikit dari kampung adat yang masih bertahan di Sumba. Ada 34 rumah di kampung adat Manola yang didiami 42 keluarga dari 13 suku. Ke-13 suku itu adalah Wae Magho, Boka Bero, Umbu Taghila, Wella Ngodo, Mimira, Wegar Lola, Wegar Bodo, Wegar Paalli, Wegar Pakaa, Mamodo, Letekkena, Paghombu Zane, dan Umbu Koba. Saat ini, kampung adat Manola dipimpin oleh suku dari Wae Magho.

”Setiap suku punya keahlian masing-masing. Misalnya, ada suku yang ahli dalam bertempur, kebal dari tusukan maupun tebasan senjata lawan, menurunkan hujan, mengusir hama tanaman, atau mengirim petaka kepada suku lain,” ucap Paulus.

Di rumah adat itu pula, lanjut Paulus, semua masalah yang dihadapi warga atau anggota suku diselesaikan. Masalah yang dibahas bisa dari hal-hal yang ringan sampai hal terberat, seperti persoalan perkawinan, upacara kematian, ataupun tentang perselisihan antarsuku. Dalam setiap penyelesaiannya, orang-orang di Manola selalu meminta pendapat para leluhur.

”Caranya adalah dengan menyembelih ayam atau babi. Diperiksa bagian hatinya. Apabila bersih, itu pertanda leluhur kami setuju,” ujar Paulus yang terakhir kali meminta petunjuk leluhur dengan menyembelih ayam untuk meminta persetujuan mengganti tiang kayu penyangga rumah dengan beton. Menurut dia, para leluhur setuju lantaran sulit sekali mendapatkan batang kayu utuh sebagai penyangga rumah.

 

Secara umum, uma humba (rumah asli Sumba) terbagi menjadi tiga lapisan dengan bentuk yang sudah ditulis di atas. Bagian atas yang berupa menara menjulang adalah lapisan pertama. Fungsinya, selain sebagai tempat penyimpanan benda keramat, juga sebagai tempat bersemayam marapu. Marapu adalah kepercayaan asli orang Sumba terhadap alam roh, arwah leluhur, dewa atau dewi, dan sejenisnya.

Adapun lapisan kedua adalah bagian tengah rumah untuk aktivitas sehari-hari, seperti tidur, memasak, dan berbincang. Sementara lapisan ketiga atau yang paling bawah adalah tempat pemeliharaan binatang ternak atau kayu bakar. Uma humba yang berbentuk panggung memungkinkan adanya ruang dari permukaan tanah hingga ke atas ke lantai rumah.

Ikatan persaudaraan

Bagi pendiri Rumah Budaya Sumba di Kabupaten Sumba Barat Daya, Pastor Robert Ramone, rumah adat lebih dari sekadar tempat bernaung penghuninya. Rumah adat mencerminkan jati diri dan identitas sesungguhnya dari orang-orang Sumba. Jalinan ikatan persaudaraan antarsuku juga terwakili oleh keberadaan rumah-rumah adat tersebut.

”Bagi orang Sumba, rumah adat bukan hanya sekadar bangunan mati. Lebih dari itu, rumah adat adalah cerminan jati diri yang menandakan kesatuan sebagai suku. Tidak punya rumah adat sama saja dengan tidak memiliki jati diri sebagai orang Sumba,” kata Robert.

Di dalam rumah adatlah, lanjutnya, semua anggota keluarga akan merasa aman terlindungi. Di situ pula segala macam masalah atau persoalan diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya.

Jalinan kesetiaan keluarga terikat selama prosesi pembangunan rumah adat. Sanak saudara di perantauan akan kembali ke kampung halaman dan terlibat dalam mendirikan rumah. Tak hanya itu, anggota suku lain pun datang dan turut membantu.

”Jumlahnya bisa sampai ribuan orang yang terlibat. Itu kenapa perayaan mendirikan rumah adat, upacara kematian, dan sebagainya menjadi momen persatuan antaranggota keluarga dan suku. Di acara itu, kami semua bisa berkumpul,” tutur Robert.

Ungkapan lama Sumba berbunyi: iya lara wee, iya lara ghazu; lara ndakazanga, bina ndakaloga. Terjemahannya kira-kira: satu jalan air, satu jalan kayu; jalan tak bercabang-pintu tak terbongkar. Ungkapan tersebut untuk menggambarkan rumah adat yang mengandung makna sumpah atau janji persatuan hidup yang senasib sepenanggungan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Rumah Budaya Sumba di Tambolaka Sumba Barat Daya, NTT, Sabtu (13/7/2019). Rumah Budaya Sumba mengoleksi kain tenun, gerabah, patung, dan semua hal yang berkaitan dengan sejarah Pulau Sumba.

Kelangkaan

Pelestarian rumah adat di Sumba, menurut Robert, tengah menghadapi masalah serius. Beberapa di antaranya adalah ketersediaan bahan baku material rumah, yaitu alang-alang dan kayu bulat atau kayu utuh. Alang-alang, kendati tumbuh bebas di alam, tak mudah didapat. Sebabnya adalah atap alang-alang tidak bisa bertahan lama dan harus segera diganti untuk setiap 3-5 tahun.

”Satu ikat alang-alang untuk atap bisa seharga Rp 50.000 sampai Rp 75.000. Oleh karena itu, butuh biaya puluhan juta rupiah sampai lebih dari 100 juta rupiah untuk mengganti atap rumah adat yang asli. Angka itu bukanlah angka yang kecil di Sumba. Tak heran, banyak rumah asli Sumba yang berganti dengan atap seng yang lebih murah dan tahan lama,” tutur Robert.

Masalah ketersediaan bahan baku rumah adat, menurut Staf Ahli Menteri Pariwisata Bidang Arsitektur Anneke Prasyanti, bisa diatasi dengan keberpihakan regulasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Salah satunya adalah menetapkan hutan adat sebagai sumber atau penyedia kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat, misalnya untuk bahan baku rumah.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kampung adat Ratenggaro di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Minggu (14/7/2019). Kampung adat yang masih terawat, baik bangunan dan adat istiadatnya, merupakan salah satu penarik wisatawan untuk mendatangi pulau tersebut.

”Jadi, hutan tak melulu diproduksi untuk keperluan industri. Bisa juga ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adat. Itu bisa terwujud dengan dukungan regulasi pemerintah,” ucap Anneke.

Rumah adat, lanjutnya, selain memiliki daya tarik untuk wisata, juga punya fungsi lain yang sesuai dengan kondisi alam di Sumba yang cenderung bersuhu panas. Atap rumah yang rendah dan di bagian tengah berbentuk menara akan mendorong udara panas ke atas. Selain itu, udara panas juga akan diserap material bangunan rumah yang berbahan alami. Hal itu akan membuat suhu udara di dalam ruangan lebih dingin. (NIT/LUK)

Artikel Lainnya