KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Penenun menunjukkan kain tenun Sumba yang didominasi dengan motif-motif hewan saat Festival Tenun Sumba di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/7/2019). Hewan sering dijadikan motif dalam kain tenun karena sarat makna bagi masyarakat Sumba.

Sumba

Pesan Lestari dari Selembar Kain Tenun Sumba

·sekitar 5 menit baca

Keindahan Sumba, Nusa Tenggara Timur, tak hanya tergambar pada luasnya padang savana. Tenunnya pun menyimpan sejuta cerita. Dari jalinan benangnya terekam kearifan lokal yang menyiratkan pesan lestari kekayaan alam Sumba.

Mama Karini Hara (52) membentangkan kain tenunnya. Kain berukuran 2 meter x 4 meter itu bergambar kakatua jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocirstata). Warnanya merah menyala berpadu dengan oranye dan biru tua. Corak dan warna kain itu mengundang mata memandangnya. Selain indah, motifnya pun tergolong rumit.

”Saya menenunnya sejak enam bulan lalu. Motif kakatua menjadi motif turun-temurun. Motif ini diajarkan ibu, nenek, dan pendahulu kami,” tutur Mama Karini dalam Festival Tenun Sumba di Waingapu, Sumba Timur, Juli lalu.

Kakatua dalam kain itu digambarkan hinggap di ranting berhias bunga berkelopak empat dan delapan. Garis-garis dengan motif kotak turut menghias kain. Warna cerah mendominasi seperti cerminan warna jingga pada jambul kakatua.

Mama Karini merekam betul wujud kakatua Sumba. Menurut dia, kakatua sering dijumpai di ladang semasa ia kanak-kanak. Burung itu biasa datang bergerombol dan memakan jagung di ladang. Bagi masyarakat Sumba, kakatua jambul jingga menjadi lambang kebersamaan dan musyawarah.

”Kakatua itu hidup berkelompok dan nuri hidup berkawan. Sama dengan kita, manusia, tak bisa hidup sendiri. Harus berkelompok dan bersama-sama,” kata Mama Karini.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Penenun menyelesaikan pembuatan kain tenun Sumba yang didominasi dengan motif-motif hewan pada Festival Tenun Sumba di Waingapu, Sumba Timur, NTT, Kamis (11/7/2019). Hewan sering dijadikan motif dalam kain tenun karena sarat makna bagi masyarakat Sumba.

Kakatua mengingatkan masyarakat pada kebijakan bermusyawarah, hukum tertinggi dalam adat Sumba. Tetua adat Kampung Billa, Sumba Timur, Katanga Pei Pekuai (70), mengatakan, setiap kali ada persoalan, musyawarah antartetualah yang diutamakan. Hasil musyawarah akan ditaati warga. Pengaruhnya lebih kuat ketimbang aturan atau hukum negara.

Manutata atau ayam hutan juga menjadi motif yang paling sering ditemui dalam lembaran kain tenun Sumba. Di antara motif fauna, manutata adalah motif yang paling banyak dipakai. Manutata bisa digambarkan sedang berjalan, menunduk sambil mematuk tanah, atau melebarkan sayapnya.

Manutata bagi penenun dianggap istimewa karena mengandung makna yang tinggi dalam agama Marapu, agama asli masyarakat Sumba. Manutata menggambarkan sosok yang tinggi yang mengayomi kehidupan sekitarnya. Manutata seolah seperti pembimbing, kokoknya mengingatkan pagi, dan setiap bagiannya memberi arti ekonomi dan religi.

Dalam setiap upacara adat, hati ayam digunakan sebagai sarana untuk melihat masa depan. Gambar dan patung ayam juga menghiasi makam-makam pemimpin Marapu. Hal itu menggambarkan betapa pentingnya manutata dalam hidup orang Sumba.

Julang juga menghiasi wajah tenun Sumba. Julang sumba (Rhyciteros everetti) dikenal sebagai nggokaria dalam bahasa Sumba. Nggokaria adalah lambang petani hutan. Ia terbang sambil menyebar biji agar tumbuh tanaman baru dalam hutan. Dalam kisah rakyat Sumba, julang merupakan penjelmaan dari Raja Ndelu atau Maramba Ndelu. Ia berhasil naik ke langit tingkat delapan. Namun, ia meninggal dan hidup kembali sebagai julang yang pulang membawa biji jagung untuk kemakmuran rakyatnya.

Kisah julang itu turut diabadikan dalam selembar tenun. Julang ditenun dengan warna kuning pucat dengan sayap biru tua dengan paruh berwarna merah. Motifnya mengingatkan rakyat Sumba tentang Sang Raja yang mengayomi rakyatnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Julang sumba (Rhyticeros everetti) bertengger di salah satu pohon di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti, Sumba Timur, NTT, Rabu (10/7/2019). Julang ini merupakan burung endemik Pulau Sumba.

Kakatua jambul jingga, julang, dan ayam hutan hanya sedikit satwa yang direkam dalam tenun Sumba. Masih banyak motif lain yang bercerita tentang kekayaan ragam fauna, di antaranya raja udang atau kahiku, bebek atau randi, kuda atau njara.

Penenun Sumba membuatnya dengan penuh ketekunan dan sepenuh jiwa. Mereka memulainya dengan memilin benang, mengikat kain, mencelup, menyimpan kain, hingga meresap, serta menenun sesuai dengan motif yang direncanakan.

”Bagaimana tidak sepenuh jiwa, kami menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat kain tenun ini,” kata Mama Karini.

Dari kain itu, ribuan penenun Sumba menggantungkan hidup dari hasil karya mereka. Saat pariwisata Sumba menggeliat, kampung-kampung penenun seperti Kambera, Kapunduk, Rindi, Lewa Tabundung, dan Tidas menjadi hidup. Kain dan motif uniknya memberi manfaat ekonomi kepada perajinnya.

Kunci budaya

Selembar kain tenun Sumba tak hanya memberi nilai ekonomi. Lebih dari itu, kain bermotif satwa juga menjadi pengikat batin warga dengan alam sekitarnya. Dari motif tenun, ada kearifan lokal yang diwariskan. Setidaknya, ada 35 burung yang menjadi motif kain tenun Sumba. Sumba adalah bagian dari kawasan Wallacea yang punya keragaman fauna cukup tinggi, termasuk jenis kakatua.

Kakatua menjadi pengingat akan pentingnya burung itu dalam semesta Sumba. Jauh sebelum ditetapkan sebagai satwa dilindungi oleh negara, kakatua menjadi salah satu burung yang dilarang untuk diburu di Sumba. Larangan menangkap kakatua ada dalam aturan adat Sumba.

Salah satu pesannya adalah ambu kutu dunja mata da kaka, lakandoaka, ambu hambulunja nggoru da buti lunggu ana. Artinya, janganlah menggendong burung kakatua dalam sarangnya dan jangan iri pada seekor monyet yang sedang menggendong anaknya. Penghormatan pada satwa-satwa itu berpengaruh terhadap habitat mereka.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pergam hijau (Ducula aenea) bertengger di salah satu pohon di kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti, Sumba Timur, NTT, Rabu (10/7/2019).

Di hutan Billa yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti (Matalawa), tempat kakatua jambul jingga dan julang sumba banyak terlihat, warga sangat menghormati hutan. Di kawasan ini, setiap kali warga hendak menebang satu pohon di hutan, mereka harus meminta izin adat. Musyawarah pun digelar untuk memberi keputusan.

”Warga Sumba terbiasa patuh pada adat. Mereka percaya, siapa pun yang melanggar akan kena hukum alam. Bisa terkena musibah, bahkan meninggal seketika,” kata Yeremias Halakudu (45) warga Billa, Sumba Timur.

Kearifan lokal itulah yang menjadikan alam Sumba selaras hingga saat ini. Maman Surahman, Kepala Balai Taman Nasional Matalawa, mengatakan, kearifan lokal punya peran penting dalam upaya konservasi. Dengan adanya satwa sebagai kunci budaya, upaya konservasi bisa terjembatani. ”Ada keselarasan di dalamnya,” ucapnya.

Sumba dengan budaya tenunnya mencipta keseimbangan lingkungan. Warga tahu, jika sekali hutan berkurang atau hilang, keberadaan flora dan fauna pun terancam. Jika itu terjadi, berbagai satwa hanya bisa dilihat lewat jalinan tenun semata. (SIWI YUNITA/ARIS PRASETYO/LUKI AULIA)

Artikel Lainnya