Begh, begh, begh…. Suara kepakan sayap yang khas melintas di atas kepala. Seketika Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas menghentikan langkah dan menengok ke atas. Dipandu tiga petugas Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti, berpasang mata menyapu dahan-dahan pepohonan lebat di hutan Billa, Sumba, Juli lalu.
”Di sana,” bisik Dominggus Deni Nguru, salah satu pemandu dari taman nasional. Telunjuk kanannya mengarah ke salah satu dahan pepohonan di hutan. Tepat pada sosok julang sumba jantan yang tengah bertengger. Tak menunggu lama, kamera sibuk merekam gambar burung endemik Sumba itu.
Julang, di tempat lain dikenal sebagai rangkong, enggang, atau kangkareng, adalah jenis burung yang punya ciri khusus, yaitu paruh yang lebih besar dari kebanyakan paruh pada burung-burung lain. Selain ukuran tubuh juga lebih besar, jenis ini punya ciri tambahan balung pada bagian atas paruh. Kepakan sayapnya ketika terbang berbunyi mantap, begh… begh… begh….
Julang sumba punya nama Latin Rhyticeros everetti dan merupakan salah satu jenis endemik Indonesia selain julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan kangkareng sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus). Untuk jenis jantan, bulu sayap, dada, hingga ekor berwarna hitam, sedangkan kepala dan leher berwarna merah bata. Sementara yang betina mulai dari kepala sampai ekor berwarna hitam.
Dalam daftar merah badan konservasi dunia (IUCN), status konservasi julang sumba adalah rentan (vulnerable). Status ini diberikan kepada spesies yang rentan mengalami kepunahan. Dari survei pada 2004, populasi di alam liar di Sumba diperkirakan tak sampai 2.000 ekor. Julang sumba hidup di hutan-hutan primer di Sumba, Nusa Tenggara Timur, terutama di dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti (TN Matalawa).
”Julang dikenal sebagai petani hutan. Burung ini selalu menyebarkan biji-biji buah-buahan yang mereka makan. Biji tersebut tumbuh di mana ia dibuang. Menariknya, biji yang dibuang julang punya tingkat keberhasilan 99 persen untuk tumbuh,” ujar Koordinator Fauna Sumba pada Burung Indonesia Yohannis Balla Djawarai.
Pohon dan julang ibarat dua sisi mata uang. Julang membantu menyebarkan biji-bijian untuk tumbuh. Sebaliknya, julang sangat bergantung pada pohon-pohon besar, terutama jenis binong (Tetrameles nudiflora). Pohon ini berfungsi sebagai sarang yang penting untuk perkembangbiakan si julang.
Adakalanya julang harus berebut sarang dengan sesama julang ataupun burung jenis lain, seperti kakatua atau nuri. Burung-burung jenis tersebut memanfaatkan lubang pada batang pohon yang menjulang sebagai sarang. Oleh karena itu, semakin berkurangnya tutupan hutan akibat alih fungsi atau penebangan liar berpengaruh langsung bagi perkembangbiakan burung, termasuk julang sumba.
Meski demikian, julang sumba tak benar-benar aman hidupnya. Menurut Kepala Balai TN Matalawa Maman Surahman, salah satu ancaman serius terhadap populasi julang sumba adalah perburuan liar. Umumnya, perburuan dilakukan oleh pemburu babi hutan yang kadang tak segan menembak atau menangkap julang ketika dijumpai di hutan.
”Selain itu, penyempitan habitat juga bisa mengurangi populasi julang. Habitat mereka di hutan berkurang lantaran kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak,” ucap Maman.
Di hutan Selandia Baru, sekitar 70 persen tanaman tumbuh dari biji-bijian yang disebarkan burung tui (Prosthemadera novaeseelandiae). Selain menumbuhkan berbagai jenis tanaman, burung juga punya peran vital sebagai pembasmi hama jenis belalang. Nyaris punahnya burung gereja di China pada awal 1960 akibat perburuan besar-besaran menyebabkan negara itu gagal panen sehingga jutaan warganya mati kelaparan. Gagal panen di China ketika itu disebabkan melimpahnya populasi belalang lantaran predator mereka, yakni burung gereja, amat sangat langka.
Setia sampai mati
Julang sumba, menurut Kepala Bagian Tata Usaha TN Matalawa Hastoto, menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan saat berkunjung ke Sumba. Turis yang datang ke TN Matalawa lebih banyak berwisata pengamatan burung (bird watching). Selain julang, kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) dan nuri bayan (Eclectus roratus) adalah beberapa jenis burung paling digemari wisatawan di TN Matalawa.
”Selain wisata pengamatan burung, ada juga obyek air terjun menjadi tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Matalawa,” ujar Hastoto.
Burung jenis ini dikenal punya sifat monogami, yaitu hanya berpasangan sekali seumur hidupnya. Apabila salah satu pasangan mereka mati, julang tidak akan mencari pasangan baru sampai akhir hayatnya. Jantan punya peran penting bagi kelangsungan pasangannya, terutama saat si betina mengerami telur.
Saat mengerami telur, julang betina berjaga di sarang yang berada di dalam batang pohon yang dilubangi. Ia tidak pernah keluar meninggalkan sarang dan telurnya sampai benar-benar menetas. Adalah tugas julang jantan yang memberi makan kepada si betina.
”Apabila julang jantan tertangkap pemburu atau ditembak mati, ia tidak bisa memberi makan kepada si betina. Si betina tidak bisa pergi dari sarang lantaran lubang di pohon ditutup dengan lumpur dan menyisakan lubang yang cukup untuk paruh saat makanan diantar oleh si jantan,” tutur Yohannis.
Julang sumba hanyalah satu dari 515 spesies burung endemik yang ada di Indonesia. Berdasarkan catatan Burung Indonesia, sebagai bagian dari zona Wallacea, Sumba memiliki 214 spesies burung, 115 spesies kupu-kupu, dan 23 spesies mamalia. Data dari TN Matalawa, ada 12 spesies burung endemik di Sumba, yaitu julang sumba, punai sumba, walik rawamanu, pungguk sumba, gemak sumba, myzomela sumba, pungguk wengi, sikatan sumba, burung madu sumba, sikatan coklat sumba, sikatan rimba sumba, dan cabai sumba. (NIT/LUK)