Oleh orang-orang di Makassar, Sulawesi Selatan, tarsius disebut dalam bahasa mereka sebagai balau cangke atau ”tikus duduk”. Sekilas, tarsius mirip dengan tikus dari penampakan ekor dan telinga. Setidaknya, ada dua spesies tarsius yang dikenal di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, yaitu Tarsius pumilus dan Tarsius fuscus.
Pada laman Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, tarsius dapat ditemukan pada area berketinggian 45-626 meter di atas permukaan laut (mdpl). Adapun di kawasan taman nasional yang masuk wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan, tarsius bisa ditemukan di ketinggian hingga 1.200 mdpl. Sayangnya, tidak ada pengukuran pasti mengenai populasi tarsius di alam liar.
Menengok data dalam Daftar Merah Badan Konservasi Dunia (IUCN Red List), status konservasi Tarsius pumilus adalah kurang data (data deficient). Status ini diberikan kepada spesies yang sudah dievaluasi, tetapi masih kekurangan data untuk dimasukkan dalam salah satu kategori. Sementara untuk Tarsius fuscus, status konservasinya adalah rentan (vulnerable). Status ini diberikan kepada spesies yang rentan mengalami kepunahan.
”Sulawesi adalah pulau paling unik dan paling besar dalam kawasan Wallacea. Sekitar 70 persen mamalia di sana berkategori endemik. Adapun seluruh jenis primata di Sulawesi berjenis endemik,” ucap Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Supriatna dalam sebuah diskusi mengenai potensi kawasan Wallacea, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Tarsius adalah hewan yang aktif pada malam hari atau nokturnal. Primata kecil ini gemar sekali memakan serangga, terutama belalang. Ia memiliki suara melengking tinggi yang juga berfungsi sebagai penanda teritorial mereka.
Monyet hitam dare
Selain tarsius yang unik, Sulawesi Selatan juga punya primata endemik, yaitu Macaca maura atau dikenal sebagai monyet hitam dare. Jenis ini merupakan salah satu dari tujuh jenis macaca Sulawesi yang dikenal sejauh ini. Enam jenis lainnya adalah Macaca nigrescens, Macaca nigra, Macaca ochreata, Macaca tonkeana, Macaca hecki, dan Macaca brunnescens.
Macaca maura tidak punya jambul dan sebagian dari mereka memiliki bulu berwarna putih. Habitat monyet jenis ini ada di hutan primer di ketinggian 2.000 mdpl. Status konservasi yang diberikan pada primata tersebut adalah terancam (endangered). Status ini diberikan kepada spesies yang berisiko tinggi mengalami kepunahan di masa mendatang.
Menurut Manajer Program Yayasan Selamatkan Yaki Harry Hilser, monyet Sulawesi punya peran penting dalam sebuah ekosistem. Monyet-monyet tersebut membantu penanaman berbagai macam tumbuhan hutan lewat biji yang termakan dan dibuang bersama kotoran. Apabila populasi mereka di alam liar berkurang, bisa jadi jumlah tanaman di hutan bakal berkurang.
”Memang masih ada ancaman berupa perburuan ilegal dan kondisi habitat yang terus berkurang akibat perubahan alih fungsi. Ini yang patut diwaspadai. Satwa ini termasuk istimewa karena sifatnya yang endemik dan hanya bisa ditemukan di Sulawesi,” ujar Harry.