Pendakian gunung bukan perjalanan yang tergesa-gesa, apalagi sekadar menunjukkan kejemawaan fisik untuk segera menggapai puncak. Sikap jemawa kerap mengakibatkan pendaki gagal mencapai puncak sebab lebih dulu terserang penyakit gunung atau mountain sickness.
Portir dan pemandu wisata Gunung Kilimanjaro (5.792 meter), Tanzania, amat paham dengan itu semua. Pesan mereka cuma satu kepada semua pendaki, “Berjalanlah pelan-pelan”. Dalam bahasa Swahili, pole- pole. “Pole-pole mpaka Mandara,” kata Morgan, pemandu pendakian, kepada Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri di jalur menuju puncak Kilimanjaro, Rabu (28/7). Artinya, mendakilah pelan-pelan sampai pemondokan (hut) Mandara.
Mandara terletak di ketinggian 2.720 meter-hampir setinggi puncak Merapi di Yogyakarta. Mandara merupakan penginapan pertama dari jalur Desa Marangu, gerbang Taman Nasional Kilimanjaro. Mandara, yang berupa pondok-pondok kayu berbentuk limas segitiga, dapat digapai setelah pendakian minimal tiga jam dari Marangu.
Sebenarnya anggota tim ekspedisi juga paham prinsip mendaki pelan- pelan. “Biar tubuh tidak kaget dengan perubahan suhu yang semakin dingin akibat bertambahnya ketinggian,” kata Ardhesir Yaftebbi, ketua tim pendaki, sebelum memulai pendakian.
Remi Tjahari dan Iwan Abdurrahman, pendaki senior Wanadri, mengutarakan hal senada.”Kalau nanti saat mendaki berasa pusing dan mengantuk, sebaiknya berhenti dulu beristirahat daripada malah sakit,” kata Kang Remi, diamini Abah Iwan.
Martin Rimbawan, anggota tim ekspedisi, menambahkan, berjalan pelan-pelan mengurangi risiko kram dan sakit yang menyerang kaki, lutut, dan tumit. Pemuda ini dikenal jago kebut gunung. Dia mampu mendaki Gunung Gede, Jawa Barat, kurang dari satu jam tanpa membawa beban. Pendaki biasa rata-rata butuh enam sampai tujuh jam.
Tim ekspedisi dibagi menjadi dua regu. Regu pertama beranggotakan lima pendaki ekspedisi, Abah Iwan, Kang Remi, dan wartawan Kompas. Pendaki ekspedisi selain Ardhesir dan Martin, yaitu Gina Afriani dan Fajri Al Luthfi. Regu kedua beranggotakan pendaki ekspedisi Iwan Irawan (Kwecheng), wartawan MetroTV Bambang Hamid, juru kamera Popo, dan pendaki senior Wanadri, Henricus Mutter.
Regu pertama berangkat pukul 12.05 waktu setempat. Abah Iwan (63) dan lima pendaki ekspedisi berjalan lebih cepat. Wartawan Kompas mengiringi Kang Remi (65) dan Morgan si pemandu yang lebih suka pole- pole alias pelan-pelan.
“Rugi kalau cepat-cepat karena bisa cepat lelah dan kehilangan kenikmatan melihat pemandangan,” kata Kang Remi yang senang bercanda.
Benar juga. Dengan pole-pole, napas tetap teratur dan tubuh tak cepat lelah meski detak jantung lebih cepat.
Karena pole-pole juga, Morgan bisa dikorek informasinya. Dia adalah bapak dari empat anak. Sudah 20 tahun dia bekerja sebagai portir dan pemandu (guide). Sudah 80 kali dia menggapai puncak Kilimanjaro (bahasa Swahili) yang berarti gunung yang bercahaya.
Dengan pole-pole, portir mampu mendaki dengan beban 25 kilogram. Kebanyakan barang ditaruh di kepala.
Sekitar 1,5 jam pendakian, hingga titik peristirahatan Kisambioni (2.200 meter), jalur yang dilalui teduh dinaungi pohon-pohon besar. Saat makan siang di Kisambioni, kami dikejutkan satu gagak hitam besar. “Manuk tapi gedena siga hayam (burung tapi besarnya seperti ayam jantan),” kata Abah Iwan.
Sekitar satu jam dari Kisambioni, jenis pohon-pohon tidak terlalu rindang, tetapi dipenuhi lumut. Sebagian pendaki beruntung sebab melihat monyet berbulu biru memakan pucuk pakis di tepi jalur pendakian. “That’s blue monkey,” kata Morgan.
Kehadiran binatang itu memaksa Kang Remi menjeprat-jepret dengan kamera sakunya. Kram kaki yang dideritanya agak menghilang setelah melihat polah monyet biru itu.
Sekitar pukul 21.00 WIB (pukul 17.00 waktu setempat), semua anggota tim tiba di Mandara. Kami beristirahat. Pendakian dilanjutkan Kamis ke pemondokan Horombo, sekitar lima jam pendakian dari Mandara. Pole-pole lagi, deh.