”Namaste,” sapa hangat seorang warga menyambut turis saat memasuki Namche Bazaar (3.440 meter di atas permukaan laut). Salah satu desa terpadat di kaki Pegunungan Himalaya, Nepal, ini menjadi gerbang sebelum mendaki puncak Everest.
Namaste, kata sapaan dalam bahasa Nepal tersebut, lazim terdengar sejak tiba di Bandara Internasional Tribhuvan, Kathmandu. Sapaan ini kian sering terdengar tatkala kami meniti jalur Pegunungan Himalaya karena budaya ramah masyarakat setempat.
Puncak Everest yang menjulang setinggi 8.848 mdpl dan menjadi titik tertinggi di bumi, dapat terlihat dari atas Namche. Desa berbukit ini kerap menjadi tempat persinggahan bagi pendaki yang ingin menapak Everest maupun puncak-puncak tinggi lainnya di Himalaya.
Deretan bangunan bertingkat dengan jendela-jendela yang rapi tersusun mendominasi pemandangan saat kami tiba di Namche Bazaar, pertengahan Mei lalu. Puluhan penginapan dan toko-toko yang berjajar mengepung setiap sudut desa yang dihuni suku Sherpa, Rai, dan Tamang ini.
Namun, jangan berharap menemukan kendaraan bermotor di Namche. Satu-satunya deru mesin yang terdengar berasal dari genset milik warga yang digunakan untuk menghidupkan listrik. Alhasil, daerah ini pun masih terbebas dari asap knalpot.
Jalanan di desa-desa di kaki Pegunungan Himalaya sengaja tidak dibangun oleh Pemerintah Nepal. Alasannya, keberadaan kendaraan bermotor justru dapat mengancam pendapatan masyarakat lokal. Transportasi darat hanya menggunakan kuda dan yak (sejenis kerbau berbulu tebal yang tinggal di pegunungan).
Di awal pagi, lalu lalang porter dan warga lokal memadati jalan-jalan berbatu Namche membawa berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti sayuran, tabung elpiji, dan kayu. Mereka mengangkat beban yang beratnya puluhan kilogram dengan keranjang yang didesain seperti tas. Uniknya, mereka memikul keranjang itu dengan tali yang dikaitkan ke kepala.
Marak penginapan
Meskipun tanpa kendaraan, pariwisata memang mengubah wajah Namche. Ladang-ladang kentang beralih menjadi penginapan dan jalan berbatu yang tadinya sepi kini ramai oleh toko-toko peralatan pendakian, cendera mata, hingga kafe. Perekonomian warga pun tumbuh.
Nawang Serep (31), warga Namche, mengungkapkan, puluhan penginapan yang dibangun di Namche kebanyakan dulunya berupa kebun kentang. Kini, warga yang ingin menanam kentang harus pergi ke desa lain atau mencari lahan di lokasi yang lebih tinggi.
Anu Sherpa (53), pemilik Himalayan Lodge dan salah satu tokoh masyarakat di Namche, bercerita, Namche mulai berkembang sejak 1981 yang ditandai dengan berdirinya penginapan dan toko. ”Penginapan (lodge) pertama yang berdiri adalah milik istri saya yang dinamai Khumbu Lodge,” ujar Anu.
Pada 1984, terdapat lima penginapan di Namche dan jumlahnya terus berkembang seiring kian banyaknya pendaki yang datang ke Himalaya. Saat ini, lebih dari 60 penginapan ada di Namche Bazaar. ”Perekonomian kami memang tergantung dari Himalaya,” tambah Anu.
Setiap tahunnya, Namche Bazaar dipadati turis pada bulan April-Juni saat musim pendakian Everest dan bulan Oktober-November saat musim trekking. Pada periode itu pula toko-toko di Namche buka, sedangkan pada bulan lainnya kebanyakan di antaranya tutup. ”Saat bulan-bulan sepi, biasanya saya gunakan untuk memanen kentang,” kata Ang Pura Sherpa (33), pemilik toko cendera mata di Namche.
Kebanyakan warga Namche memang mengumpulkan penghasilan saat turis-turis berdatangan. Dawa Sherpa (30), pemilik kafe, misalnya, bisa meraup penghasilan hingga 30.000–40.000 rupee (setara dengan Rp 3,3 juta – Rp 4,4 juta) per hari saat musim kedatangan turis. Adapun pada bulan biasa omzetnya sekitar Rp 1 juta per hari.
Namche yang terletak di Distrik Solukhumbu memang punya daya tarik yang begitu besar. Dengan keindahan alam Himalaya, keramahan sikap masyarakat lokal, dan budaya Buddha Tibet yang unik, Namche selalu dipadati turis dan pendaki dari seluruh dunia.
Soal makanan tak perlu repot. Menu makanannya tak jauh dari restoran di Indonesia pada umumnya, seperti nasi goreng, mi rebus, ataupun steak. Hanya saja sebagian menu menggunakan daging yak.
Saat musim panas, cuaca di Namche berkisar 5-15 derajat celsius. Adapun pada musim dingin bisa menembus minus 5 derajat celsius. Namun, tak perlu khawatir karena mayoritas penginapan menyediakan selimut dan fasilitas mandi air panas.
Masyarakat Namche yang kebanyakan bermigrasi dari Tibet berperawakan mirip dengan orang-orang China, yakni bermata sipit, berkulit pucat, dan tinggi badan rata-rata 160 sentimeter. Mereka juga ramah, murah senyum, dan terkenal bertenaga kuat seperti suku Sherpa yang terbiasa membantu menyukseskan ekspedisi ke Everest.
Jejak Hillary
Namche Bazaar dan desa-desa di kaki Himalaya mulai dikenal dunia luar setelah pendaki Selandia Baru, Edmund Hillary, bersama dengan seorang Sherpa, Tenzing Norgay, berhasil menjadi manusia pertama yang menapak puncak Everest pada 29 Mei 1953. Ekspedisi yang didanai Inggris tersebut tercatat sebagai prestasi yang dikenang dunia.
Usai keberhasilannya, Hillary tidak langsung kembali ke negaranya. Dia menggalang dana untuk pembangunan sekolah, rumah sakit, pasar, dan beberapa fasilitas tempat ibadah. Tak heran, jika Edmund Hillary dipuja layaknya raja oleh warga setempat atas kontribusinya. ”Sebelum Hillary datang kesini tidak ada rumah sakit dan sekolah di Distrik Solukhumbu di kaki Himalaya ini,” ujar Anu.
Oleh karena itu pula jejak Hillary mudah ditemukan di kawasan ini seperti monumen patung yang terlihat di dalam sebuah SMA di Desa Khumjung dan dikenal dengan nama Hillary School. Nama Hillary dan Tenzing juga diabadikan sebagai nama bandara di Lukla.
Untuk menuju Namche Bazaar, Anda dapat menaiki pesawat jenis Twin Otter ataupun Pilatus berkapasitas sekitar 18 orang dari Bandara Domestik Kathmandu menuju Bandara Tenzing-Hillary di Desa Lukla yang berketinggian 2.850 mdpl.
Dari Lukla, perjalanan menuju Namche ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 7-8 jam. Saat berjalan di ketinggian sebaiknya tidak terlalu cepat karena menjadi bagian dari proses aklimatisasi. Dengan begitu, tubuh mampu menyesuaikan diri dengan semakin rendahnya tekanan udara dan tipisnya oksigen.
Jika perjalanan tidak terburu-buru, para pendaki atau backpacker umumnya menginap di Phakding (2.610 mdpl) sebelum akhirnya melanjutkan ke Namche yang dapat ditempuh sekitar 4-6 jam.
Sepanjang jalan dari Lukla menuju Namche dipenuhi pemandangan rumah-rumah yang berjajar rapi di tepi Sungai Dudh Kosi, yak dan porter silih berganti melintasi jalan setapak sembari membawa barang muatan, serta jembatan besi penghubung antardesa yang terpisah oleh bukit dan sungai. Pemandangan yang menyegarkan mata.
Pada umumnya, turis maupun pendaki yang melintasi jalur trekking Himalaya menggunakan pemandu lokal. Agen perjalanan menyediakan jasa pemandu dengan harga paket, yang mencakup izin pendakian, jasa porter, biaya penginapan, dan konsumsi.
Untuk mencapai base camp Everest dari Namche setidaknya dibutuhkan 3-4 hari berjalan kaki. Pendaki atau backpacker dapat singgah di beberapa desa untuk bermalam seperti di Tyangboche (3.960 mdpl), Periche (4.250 mdpl), dan Gorak Shep (5.140 mdpl), sebelum tiba di base camp Everest (5.364 mdpl).
Setelah tiba di base camp Everest, turis yang sekadar trekking biasanya langsung turun kembali ke desa usai mengambil beberapa foto. Adapun untuk para pendaki dapat singgah di base camp Everest untuk aklimatisasi sembari menunggu cuaca baik sebelum melakukan pendakian ke puncak.
”Banyak tempat dan pemandangan yang menyenangkan di sini. Gunung, udara segar, dan budaya yang menakjubkan,” ujar Adrian (47), pengelana asal Romania yang datang ke Nepal bersama putranya.
Seperti kata salah satu pendaki. ”Jika sudah ke Himalaya, Anda selalu ingin kembali lagi.”