Sinar matahari mulai meredup dan hari berganti gelap saat jam tangan menunjukkan hampir pukul 23.30 di Kahiltna, kamp utama Denali, Alaska, Amerika Serikat. Hawa dingin tetap menusuk hingga ke tulang meski tubuh sudah dibungkus tiga lapis pakaian.
Malam itu, di lokasi dengan ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut (mdpl), suhu mencapai minus 18 derajat celsius. “Banyak pendaki bilang Denali merupakan gunung terdingin di dunia,” ujar Kurt Hicks (28), pemandu dari American Alpine Institute (AAI).
Setelah makan malam, para anggota Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia mulai menyusup ke dalam tenda masing-masing sesaat sebelum gelap tiba. Mereka menggunakan pakaian berlapis-lapis dan kantong tidur yang mampu menahan suhu hingga minus 40 derajat celsius.
Makan malam harus dinikmati agak larut karena mereka baru mendarat di gletser Kahiltna pada Rabu (27/4) malam dengan pesawat jenis Otter berkapasitas 10 penumpang dari Talkeetna. Dengan jasa pemandu dari AAI, mereka bersiap mendaki Denali (6.194 mdpl), gunung tertinggi di Amerika bagian utara.
Hamparan padang putih nan beku yang menyambut tim seolah menegaskan predikat Denali sebagai gunung terdingin. April dan Mei merupakan peralihan dari musim gugur ke musim panas di Alaska sehingga hawa dingin masih menggigit. Hari juga terasa panjang sekali karena matahari bersinar hingga 19 jam sehari.
Menuju kamp satu
Setelah berlatih seharian di Kahiltna pada Kamis, tim yang beranggotakan Ardeshir Yaftebbi, Fajri Al Luthfi, Iwan Irawan, Martin Rimbawan, dan Nurhuda bersama wartawan Metro TV Popo Nurakhman, saya, serta manajer tim Yoppi Rikson bergerak menuju kamp satu esok siangnya.
Sepanjang hari kami berjalan dengan teknik bergerak bersama (moving together). Satu anggota dan anggota lain terhubung oleh tali. Dengan napas terengah-engah karena tipisnya udara, energi tubuh seperti terkuras setelah delapan jam membawa beban lebih dari 30 kilogram melewati padang bersalju. Embusan angin bercampur bulir-bulir salju terasa cukup menyengat saat menerpa wajah.
Perjalanan menuju kamp satu dari Kahiltna sepanjang sekitar 6,5 kilometer tersebut melewati medan cukup landai dan terbilang mudah untuk dilalui. Namun, dalam kondisi temperatur rendah, terpaan angin kencang, dan setiap pendaki harus membawa sendiri barang bawaannya karena tidak terdapat jasa porter, perjalanan menjadi terasa lebih panjang.
Setelah semalam menginap di kamp satu dan menimbun sebagian logistik serta peralatan, tim kembali ke kamp utama. Perjalanan ini seolah menjadi pemanasan bagi tim karena mereka baru mulai mendaki pada Senin (2/5) waktu setempat atau Selasa di Jakarta. Alaska dan Jakarta berbeda 15 jam.
Selama pendakian mereka akan menginap sehari di kamp satu sebelum bergerak ke kamp dua. Pendakian menuju puncak Denali diperkirakan memakan waktu 14 hari dan tujuh hari untuk turun. Asumsinya, tim mengalokasikan waktu untuk menggapai puncak dari kamp terakhir selama enam hari. “Kami akan cari waktu yang terbaik untuk mendaki ke puncak saat kondisi cuaca sedang bagus,” kata Ardeshir, ketua pendaki.
Kurt Hicks mengakui, pendakian menuju puncak Denali sangat bergantung pada cuaca dan suhu. Cuaca buruk yang ditandai hujan salju tebal dapat menghambat pergerakan tim. Angin kencang yang membuat suhu turun drastis mencapai minus 40 derajat celsius juga bakal menyulitkan.
Denali memang tidak bisa disamakan dengan gunung lain di muka bumi ini. Medan, cuaca, dan suhunya sungguh menggetarkan. “Lebih sulit dari apa yang saya bayangkan,” ujar Josef Hafner (44), pendaki asal Santa Cruz, AS, yang akhirnya membatalkan pendakiannya saat baru saja tiba di kamp satu.
Rute West Buttress
Suku Athabaskan yang merupakan orang asli Alaska menamainya Denali yang berarti ‘yang tinggi’. Pada tahun 1897 seorang petambang emas sukses, Wiliam Dickey, mencoba mengganti nama gunung tersebut menjadi Mckinley setelah William Mckinley asal Ohio berhasil menjadi salah seorang kandidat presiden AS saat itu.
Pendaki pertama yang berhasil mencapai puncak tertinggi Denali adalah Hudson Stuck, Harry Karstens, Walter Harper, dan Robert Tatum pada 7 Juni 1913. Mereka mendaki ke puncak Denali melalui rute utara lewat gletser Muldrow.
Jalur lain tidak dapat dilalui sampai pertengahan 1951. Seorang peneliti sekaligus fotografer AS, Bradford Washburn, berhasil merintis jalur pendakian ke puncak Denali melalui sisi barat yang dinamakan West Buttress, juga dikenal dengan rute Washburn, yang akhirnya populer.
Berdasarkan buku Denali: Summit of North America, Harry Kikstra menuliskan, jalur West Buttress setidaknya digunakan 80-90 persen pendaki setiap tahun. Dalam setahun hanya 900-1.000 orang yang tercatat mendaki Denali. Sebagai gambaran, pada 2011 ini terdapat 939 pendaki yang telah mendaftarkan diri untuk mendaki Denali pada musim pendakian yang dibuka mulai akhir April hingga Juli.
Saat ini kelima pendaki bersama Popo sedang berjibaku melawan dinginnya Denali dengan mendaki menggunakan jalur West Buttress. Mereka berupaya mengulang kesuksesan pendakian di empat gunung sebelumnya, Aconcagua di Argentina (6.962 mdpl), Elbrus di Rusia (5.642 mdpl), Kilimanjaro di Tanzania, Afrika (5.895 mdpl), dan Carstensz Pyramid di Papua (4.884 mdpl).
Sementara itu, Selasa (3/5) di Jakarta, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, bertemu tim Mahasiswa Pencinta Alam (Mahitala) Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Julius Mario, Manajer Tim Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar, mengatakan, saat ini empat anggota tim Mahitala (Sofyan Arief Fesa, Xaverius Frans, Janathan Ginting, dan Broery A Sihombing) sudah di base camp dan bersiap-siap menuju puncak Everest (ketinggian 8.848 mdpl). “Ini akan menjadi puncak keenam kami,” katanya.
Ketinggian base camp Everest sekitar 5.360 mdpl, lebih tinggi daripada puncak tertinggi di Indonesia, yang juga satu dari tujuh puncak tertinggi di tujuh benua, yaitu puncak Carstenz di Papua. (AIK)