KOMPAS/JOHNNY TG

Sekelompok kuda yang digembalakan dengan cara di lepas di padang gembalaan melintas di daerah Kahiri, Desa Watu Hadangu, Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, NTT, Sabtu (30/10).

Pangan

Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Menggairahkan Kembali Padang Sabana

·sekitar 4 menit baca

Hamparan padang sabana yang diselingi pohon rindang dan kubangan air di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, mencirikan pulau itu sebagai daerah peternakan. Boleh dibilang, hampir seluruh warga Sumba asli memiliki ternak.

Kini, padang sabana itu sepi dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya. Penyakit surra, menurut Kepala Dinas Peternakan Sumba Barat Petrus Taguboro, menyerang ternak sapi, kuda, dan kerbau di Sumba. Sejak Mei 2010 hingga sekarang belum bisa dibasmi tuntas. Vektor pembawa penyakit adalah lalat ternak yang berkeliaran di seluruh Sumba.

“Anggaran kami sangat terbatas untuk membeli obat pembasmi penyakit surra, antraks, dan penyakit ngorok pada ternak,” kata Taguboro di Waikabubak.

Ironisnya, NTT sebagai salah satu gudang ternak nasional justru kekurangan dokter hewan. Hal itu dikatakan Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan NTT Maria Geong.

Menurut dia, saat ini di Provinsi NTT hanya ada 83 dokter hewan. Itu pun terbanyak di lingkungan pemerintah provinsi. Rata-rata dokter hewan di kabupaten/kota hanya dua orang, padahal idealnya satu dokter hewan menangani 2.500 ternak.

Pada tahun 2008, di empat kabupaten di Sumba total terdapat 2.532.531 ekor ternak, yaitu kuda 145.760 ekor, kerbau 187.560 ekor, sapi 184.471 ekor, dan babi 1.681.420 ekor. Populasi ternak terbanyak di Kabupaten Sumba Timur, yakni 1.036.627 ekor.

Jumlah ini menurun dibandingkan dengan tahun 2000 yang mencapai 3.238.748 ekor. Jumlah itu terdiri atas kuda 214.540 ekor, kerbau 250.518 ekor, sapi 232.480 ekor, dan babi 2.541.210 ekor.

Bupati Sumba Barat Daya Kornelis Kodi Mete menduga sepinya padang akibat penjualan ternak besar-besaran ke luar pulau. “Setiap pekan, ratusan ternak, seperti kuda, kerbau, dan sapi dibawa ke luar pulau melalui Pelabuhan Waikelo, Sumba Barat Daya,” kata Kodi Mete.

Selain itu, banyak padang penggembalaan berubah fungsi menjadi permukiman penduduk atau sawah. Hal itu ditambah kemarau panjang, serangan penyakit ternak, dan maraknya budaya pesta adat yang mengorbankan puluhan hingga ratusan ekor ternak.

Tidak ada yang salah dengan penjualan ternak ke luar daerah ataupun konsumsi ternak besar-besaran. Masalahnya, budaya beternak penduduk setempat belum seiring dengan tingginya kebutuhan ternak.

Ekstensif

Lebih dari seabad lalu Sumba terkenal sebagai pusat pengembangbiakan kuda sandel dan sapi sumba ongole. Namun, sampai kini sebagian besar warga Sumba belum menganggap kuda, sapi, dan kerbau sebagai barang ekonomi, melainkan sebagai lambang kekayaan. Ternak tidak dijual jika tidak perlu uang.

Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur John Radamuri, sistem pemeliharaan ternak di Sumba umumnya masih ekstensif. Sapi, kerbau atau kuda dilepas di padang. Saat musim kemarau, mereka tak tergerak mencarikan pakan ternak. Akibatnya, ternak sangat kurus pada musim kemarau dan malas kawin.

Suatu siang di padang penggembalaan Desa Petawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT bertemu Umbu Melkianus Hunggu Andung (65). Pria yang sedang menunggu ternak bersama anaknya ini mengaku memiliki 45 ekor kerbau. Ia tidak khusus mengembangbiakkan kerbau dan tidak menjual kerbau jika tidak perlu uang. Dalam setahun, ia hanya menjual 1-2 ekor kerbau, harganya Rp 6 juta-Rp 7 juta per ekor. Untuk hidup sehari-hari, ia mengandalkan padi dari 1 hektar sawah, hasil ladang jagung dan sayuran, dan ternak babi dan ayam.

Namun, ada pula yang mulai berorientasi ekonomi, seperti Ngelu Ranjawali (52) yang tahun 2006 mendapat pembagian sapi dua ekor dari pemerintah. Kini, ia sudah mengembalikan tiga ekor sapi dan sapinya sudah menjadi 22 ekor. Dia bisa membeli sapi dari keuntungan menjual sapi. Sapi jantan ia jual Rp 5 juta per ekor untuk membeli sapi betina Rp 2,5 juta-Rp 3 juta. Dalam kelompoknya ada lima peternak, tetapi yang berkembang hanya dua peternak.

Perdagangan ternak antarpulau tetap berjalan. Di Sumba Timur, ada sekitar 10 pedagang ternak antarpulau. Salah satunya Johnny (24), pemilik PT Bintang Baru di Kecamatan Melolo. Lulusan Jurusan Ekonomi Universitas Widya Mandala Surabaya tahun 2009 ini mewarisi usaha dagang dari ayahnya.

Setiap minggu Johnny mengirim 20-40 ekor sapi potong ke Jakarta via Surabaya. Kadang ada pesanan kuda untuk daerah wisata di Malang. Bisnisnya pernah anjlok, hanya mengirim 10 ekor sebulan, saat Menteri Pertanian mengizinkan impor sapi dari Australia beberapa waktu lalu.

Upaya meningkatkan produktivitas ternak, demikian John Radamuri didampingi Kepala Bidang Produksi Dinas Peternakan Sumba Timur Dominggus Ara, antara lain, adalah dengan intensifikasi kawin alami. Peternak diimbau menjaga keseimbangan jumlah ternak jantan-betina, memberi hormon penyerentak berahi, seleksi dan kalin (membuang ternak yang kurang bagus dari kelompok, dikastrasi atau dijual sebagai sapi potong). Selain itu ada perbaikan padang penggembalaan, pembuatan kebun hijauan makanan ternak di sejumlah kecamatan, pembuatan embung, dan sumur air tanah dalam di padang penggembalaan. Dalam jumlah terbatas juga dilakukan inseminasi buatan.

“Pengembangan inseminasi buatan terhambat sikap peternak yang kurang responsif, padahal gratis. Mereka enggan mengikat ternak. Karena itu, hanya dilakukan di sekitar ibu kota kabupaten, seperti Waingapu, Kambera, Pandawai. Selain itu ada keterbatasan pengadaan semen beku sapi dan nitrogen cair,” kata Radamuri.

Pengubahan pola pikir masyarakat dilakukan lewat penyuluhan bekerja sama dengan Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Kehutanan (BP4K). Saat ini penggaduhan ternak sudah mencapai 10.000 peternak dari 4.000 peternak pada awal program tahun 2000.

Untuk menyediakan bibit ternak unggul di Sumba Timur dinas peternakan mendirikan pusat pembiakan (breeding center/BC). Sayangnya, di BC masih melakukan intensifikasi kawin alami dengan pemberian hormon penyerentak berahi, belum lewat inseminasi buatan sehingga peningkatan jumlah ternak belum secepat yang diharapkan.

Menurut Radamuri, untuk mempertahankan keseimbangan jumlah dan bibit ternak dilakukan pembatasan pengeluaran ternak dari Sumba. Sapi jantan kurang dari tiga tahun, sapi betina kurang dari 13 tahun, dan kuda betina kurang dari 11 tahun dilarang dibawa keluar Sumba.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan produktivitas ternak. Hal itu hanya bisa berhasil apabila dilakukan secara benar dan serius. Selain itu orientasi warga terhadap ternak perlu diubah sehingga impian menjadi pemasok ternak serta tetap menyemarakkan padang penggembalaan bisa terwujud. (KOR/SEM/ATK)

Artikel Lainnya