KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Perkebunan jagung di lahan kering Desa Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah, NTT, sangat bergantung pada hujan. Jagung ini ditanam di antara pohon kelapa dan jenis tanaman lain sebagai pelindung.

Pangan

Pertanian: Seremoni yang Semaikan Ironi

·sekitar 5 menit baca

Setiap menjelang bulan Agustus hingga Oktober, Tobias Basagole (54) menyiapkan lahan keringnya. Akhir November atau awal Desember, Tobias mulai menanam padi dan memberi pupuk. Januari hingga Februari menyiangi rumput, kemudian mulai Maret sampai April memanen.

Kini, siklus itu kacau. Curah hujan yang terbatas dan sporadis dalam beberapa tahun terakhir membuat Tobias, petani lahan kering di Desa Rua, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), tak berdaya karena lahannya sangat bergantung pada guyuran hujan.

Hasil pertanian ayah tujuh putra dan kakek dari lima cucu itu kini tidak mencukupi kebutuhan hidup selama setahun. Hasilnya hanya cukup untuk 1-2 bulan. Lahannya hanya menghasilkan singkong, kacang-kacangan, dan pisang. Padi gogo gagal total. Jagungnya tidak berbiji.

Untuk masyarakat setempat, bertani tanaman pangan adalah tradisi subsisten yang diturunkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Adapun untuk memenuhi kebutuhan lebih besar, seperti kesehatan, membangun rumah, biaya sekolah anak, atau kegiatan sosial, mereka mengandalkan, antara lain, hewan ternak.

Arnol Hiru (43), petani di Desa Kalembu Kurukuni, Kecamatan Kota Waikabubak, Sumba Barat, juga mengalami hal sama. Beberapa tahun ini ia terkecoh hujan lebat yang turun 2-3 kali kemudian berhenti 2-3 pekan.

“Saat hujan lebat, kami ramai-ramai menanam, tetapi setelah jagung dan padi tumbuh, tidak ada hujan sampai beberapa pekan. Akibatnya, tanaman kering. Kemudian hujan muncul lagi, berhenti lagi beberapa pekan. Apa yang harus kami buat? Padahal, bibit kami terbatas,” tutur Hiru.

Petani di Desa Lambu Napu, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur, juga mengalami hal sama. Menurut Robert Palurung (43), petani lahan kering di desanya kini malas menanam padi dan jagung. Mereka memilih memelihara ternak, seperti sapi, kerbau, dan kuda.

“Memelihara ternak sudah pasti hasilnya antara Rp 1 juta-Rp 10 juta per ekor, tergantung berat dan usia ternak. Uangnya bisa untuk biaya hidup sehari-hari dan sekolah anak,” kata Palurung.

Petani harus berjuang dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Yang di pesisir, mencoba melaut. Petani lain menjadi buruh bangunan atau menjual kayu bakar.

Sentra pangan

Topografi daratan Provinsi NTT berbukit-bukit. Luas lahan dengan kemiringan di atas 70 persen mencapai 50 persen sehingga pertanian sangat terbatas, baik lahan basah (padi sawah) maupun lahan kering (padi ladang).

Di Flores, dataran yang potensial untuk pertanian, antara lain, terdapat di Lembor, Kabupaten Manggarai Barat; Borong, Kabupaten Manggarai Timur; Mbay, Kabupaten Nagekeo; Mautenda, Kabupaten Ende; dan Magepanda, Kabupaten Sikka.

Namun, persawahan yang bisa mendapat irigasi teknis ataupun irigasi desa sederhana tidak banyak. Petani di utara Flores mengandalkan sawah tadah hujan setahun sekali. Sementara di wilayah Mbay, Nagekeo; atau Detusoko, Ende, yang beririgasi baik, bertanam padi bisa lebih dari sekali setahun.

Saat Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT menyusuri Pulau Flores, di sentra-sentra beras NTT, seperti di Mbay, Nagakeo, dan Lembor, Manggarai Barat, para petani hidup pas-pasan. Padahal, dataran luas itu terisi padang sabana, persawahan, dan ladang.

Berdasarkan Data Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Nagekeo tahun 2009, produksi padi sawah di Nagekeo mencapai 41.173 ton dari areal tanam 8.747 hektar. Produksi terbesar dihasilkan di kawasan Mbay, ibu kota Nagekeo, yaitu 32.868 ton. Namun, di Desa Waekokak, Kecamatan Aesesa, yang merupakan daerah pertanian terbesar di Nagekeo, belum lama ini petani gagal panen karena kurang curah hujan.

Petani Waekokak kini menjadi buruh tani, berjalan kaki ke Kelurahan Mbay I dan Mbay II yang berjarak sekitar 6 kilometer, dengan upah Rp 30.000 per orang per hari.

Masalah lain, buruknya infrastruktur yang menyebabkan tingginya biaya produksi. “Sekali angkut dengan mobil bak terbuka biayanya Rp 100.000 karena jalan rusak. Kalau jalan bagus, ongkos angkut hanya Rp 50.000-Rp 75.000,” kata Flori Seda, warga Kelurahan Olakile, Kecamatan Boawae, Nagekeo.

Petrus Lape Gae, Ketua Lingkungan Kampung Olakile, menuturkan, dari 60 hektar lahan padi sawah, 20 ha di antaranya terbengkalai karena irigasi rusak.

“Mulai tahun 1982, banyak lahan hilang. Kini tidak ada lagi karena irigasi rusak dan ekonomi makin sulit,” kata Petrus.

Butuh pendampingan

Luas lahan pertanian di NTT 2,8 juta hektar, 2 juta hektar di antaranya berupa lahan kering; sisanya lahan basah.

Pengamat pertanian NTT, Viator Parera, berpendapat, Pemerintah Provinsi NTT sebaiknya fokus pada pengembangan pertanian lahan kering yang cocok dengan kondisi geografis dan iklim di NTT. Pemprov dan pemerintah kabupaten harus melakukan pendampingan dan serius memfasilitasi petani. “Ironis kalau di sentra beras seperti Boawae jalan masih rusak,” kata Viator.

Sering kebijakan pemerintah daerah kurang tepat. Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Flores Ende, Sri Wahyuni, mencontohkan, ketika pemerintah pusat mendorong penggunaan bibit jagung hibrida, tanpa kajian mendalam pemda langsung menyalurkan ke petani. Padahal, jagung hibrida butuh banyak pestisida, pupuk kimia, dan air.

Akibatnya, petani gagal panen. Contohnya di Desa Waekokak, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo. “Di kawasan NTT yang beriklim semi kering seharusnya dikembangkan tanaman pangan bibit lokal yang tahan iklim setempat dan hasilnya bisa digunakan untuk bibit, bukan sekali pakai seperti jagung hibrida,” papar Sri.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan NTT Melkianus Adoe menilai pemerintah belum mampu memetakan potensi daerah dengan baik. Misalnya, masyarakat pesisir selatan Timor Tengah Selatan tidak mau menggarap ladang lagi karena di wilayah itu jarang turun hujan, tetapi pemerintah tidak punya program pemberdayaan masyarakat. “Akhirnya, mereka hanya mengumpulkan kayu bakar, memanen buah asam, dan menggali mangan. Padahal, potensi pertanian daerah itu masih ada,” kata Adoe.

Sekretaris Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Nagekeo, Thery Wula Nawa, menyatakan, saat ini pemkab fokus mengoptimalkan persawahan di Mbay Kanan dengan memperbaiki saluran irigasi primer. “Kami tetap mengupayakan pengembangan irigasi Mbay Kiri meski bertahap karena anggaran terbatas,” kata Thery.

Menurut dia, dinas pertanian juga menggulirkan pola usaha tani terintegrasi seperti pola padi-sapi atau jagung-sapi agar petani tidak hanya mengandalkan satu komoditas.

Tahun ini, Pemkab Nagekeo menyalurkan 35 ekor sapi potong kepada tiga kelompok tani di Kecamatan Boawae dan Mauponggo. Dalam waktu delapan bulan, sapi siap dijual. Hasilnya, 70 persen keuntungan untuk kelompok tani dan 30 persen disetor ke dinas. Dinas pertanian juga mengembangkan hijauan makanan ternak secara bertahap di Natatoto, Kecamatan Wolowae.

Bagi wilayah di Flores yang kurang menunjang untuk persawahan, masyarakat lebih menekuni perkebunan dengan komoditas seperti kemiri, kakao, cengkeh, dan kopi di daerah dingin dan sebagian besar lainnya jambu mete yang cocok untuk daerah tropis.

Pemerintah di jajaran Provinsi NTT harus lebih jeli mencari upaya meningkatkan produktivitas pertanian di tengah perubahan iklim dan berbagai kendala lain. Jika tidak, pertanian hanya menjadi seremoni yang menyemaikan ironi.

“Di Flores yang kurang menunjang untuk persawahan, masyarakat lebih menekuni perkebunan.”

Artikel Lainnya