KOMPAS/C WAHYU HARYO PS

Kelompok tani di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, berhasil keluar dari belenggu kemiskinan melalui usaha ternak sapi asal Australia. Ternak sapi itu awalnya bantuan dari pemerintah yang mereka kelola secara kolektif. Tampak warga tengah membenahi pagar untuk kandang sapi, pertengahan Mei lalu *** Local Caption *** Kelompok tani di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, berhasil memberdayakan diri dan keluar dari belenggu kemiskinan melalui usaha ternak sapi Australia. Ternak sapi itu awalnya bantuan dari pemerintah dan mereka kelola secara kolektif. Tampak warga tengah membenahi pagar untuk kandang sapi, pertengahan Mei lalu.

Pangan

Peternakan: Pelajaran dari Timlico dan Besipae

·sekitar 3 menit baca

Cita rasa daging sapi Nusa Tenggara Timur yang kenyal dan gurih tidak hanya meramaikan pasaran dalam negeri. Daging sapi NTT sempat diekspor ke Hongkong dan Singapura tahun 1960-an.

Kini NTT memiliki 832.228 hektar (ha) lahan berpotensi untuk usaha peternakan. Padang sabana terluas, 215.000 ha, ada di Kabupaten Sumba Timur, menyusul Kabupaten Kupang (159.526 ha), Timor Tengah Selatan (TTS/114.000 ha), Timor Tengah Utara (TTU/86.339 ha), dan Sumba Barat (83.635 ha).

Era 1970-1990-an di Timor pernah hadir dua perusahaan peternakan skala besar, yakni PT Timor Livestock Company (Timlico) dan proyek pertanian terpadu berbasis peternakan sapi di Besipae, Kabupaten TTS.

Pengembangan sapi potong PT Timlico dipusatkan di Asasu, Kabupaten TTU. Perusahaan patungan investor dari Jakarta dan Australia itu dimulai tahun 1971 dengan padang pendukung seluas 90.000 ha dan memelihara 10.000 sapi.

“Perkembangannya sangat pesat sampai menghasilkan sapi berberat badan hidup di atas 350 kilogram,” kata Lambert Lopo (71), mantan kleder ekspor sapi ke Hongkong dan Singapura tahun 1960-an, mengenang.

Tahun 1977, PT Timlico mengantar pulaukan 200 sapi standar ekspor per triwulan. Penduduk sekitar ikut menikmati rezeki karena sapi mereka laku dengan harga tinggi. Sejumlah warga dilibatkan sebagai pekerja atau penggembala.

Sejak tahun 1980-an Timlico hancur perlahan. Kini, peternakan tak tersisa, sebagian padang penggembalaan menjadi perkampungan dan kebun warga.

“Ranch lenyap. Sapinya hilang tak berbekas,” kata Frans Skrera, anggota DPR periode 1987-1997, yang beternak sapi di Maubesi, TTU.

Sumber daya manusia

Sejumlah tetua Maubesi masih mengingat, kehancuran peternakan di Asasu terjadi setelah pengelolaan usaha dialihkan dari pihak Australia ke pihak Indonesia.

Sumber kehancuran itu, antara lain, disiplin kerja yang kendur. Manajemen perusahaan tidak lagi transparan sehingga memancing kecurigaan karyawan dan berbagai pihak terkait. Tugas-tugas tidak dilakukan dengan tanggung jawab penuh sehingga roda proyek macet.

Nasib serupa menimpa proyek pertanian terpadu berbasis peternakan sapi di Besipae, Kabupaten TTS. Di lahan 4.000 ha itu pernah berkembang 3.000 ekor sapi. Proyek kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia tahun 1982-1992 itu mengawali kegiatan dengan membangun 14 embung penampung air hujan, dilanjutkan berbagai kegiatan, seperti usaha tanaman semusim, penanaman hijauan makanan ternak, penggembalaan sapi, dan pembangunan pasar ternak.

Proyek itu berbiaya Rp 7,5 miliar, yaitu, Rp 1,870 miliar dari Pemerintah Indonesia dan Rp 5,7 miliar pinjaman dari Pemerintah Australia. Warga Desa Mio, Polo, Linamnutu, dan Oekam selain dapat menikmati air minum, juga sempat menikmati lauk ikan air tawar dari budidaya di embung.

Leonard Padja (69), mantan staf proyek Besipae yang kini di Kupang, mengisahkan, Besipae mulai terbengkalai sejak tim Australia meninggalkan proyek tahun 1992. Pemerintah Daerah NTT tidak memiliki kemauan kuat melanjutkan proyek itu. Padahal, pengelolaannya berteknologi sangat sederhana. Pembangunan embung, misalnya, hanya berlapiskan lumpur lokal yang kedap air sehingga biayanya sangat murah.

“Dari 14 embung tersisa 2 unit di Desa Mio. Itu pun tidak terurus. Manusia dan sapi langsung masuk kolam. Selain itu terjadi pendangkalan hingga setengah kedalaman embung,” kata Padja.

Seiring kehancuran Timlico dan Besipae, usaha peternakan sapi di NTT merosot. Populasi sapi NTT hingga tahun 1990 berjumlah 726.440 ekor, tetapi tahun 2009 tinggal 566.464 ekor. Berat sapi pun merosot, rata-rata hanya 200 kilogram pada usia 2,5-3 tahun.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang bertekad mengembalikan pamor NTT sebagai gudang sapi nasional menawarkan potensi peternakan NTT kepada investor nasional dan luar negeri. Asisten III Sekretariat Daerah NTT Ans Takalapeta sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Peternakan NTT pada Oktober lalu memantapkan negosiasi dengan calon investor asal Thailand untuk usaha peternakan di Timor.

Frans Skrera, Leonard Padja, dan Lambert Lopo menghargai upaya Pemerintah Provinsi NTT. Mereka hanya mengingatkan pentingnya kesungguhan, displin, dan transparansi. Jika tidak, upaya itu hanya mengulang kegagalan di Besipae dan Timlico.(ANS)

Artikel Lainnya